Unduh
0 / 0
561619/05/2012

Wali Menetapkan Syarat Agar Jangan Menggaulinya Sebelum Tercatat Secara Resmi

Pertanyaan: 178630

Saya telah melangsungkan akad nikah secara syar’i, yaitu dengan kehadiran wali, para saksi, imam (ustaz) yang menikahkan kami dan walimah serta kami telah tentukan maharnya. Kedua orang tua saya menetapkan syarat kepada suami saya agar jangan menggauli saya sebelum akan kami tercatat secara resmi dan suami saya setuju. Akan tetapi, problemnya adalah bahwa suami saya orang Prancis yang telah masuk Islam sejak lama. Agar pernikahan kami tercatat, membutuhkan sejumlah dokumen yang membutuhkan waktu lama, karena suami saya masih berusaha mencari pekerjaan yang halal. Di Prancis urusannya sulit seperti kalian ketahui. Akan tetapi, Alhamdulillah, rizki di tangan Allah. Problemnya adalah bahwa suami saya memiliki problem keuangan sehingga tidak dapat memulai mengurus pencatatan resmi akad pernikahan kami. Akibatnya waktu untuk itu lebih lama sedangkan dia tidak dapat menahan keinginan untuk berhubungan suami isteri, khususnya sejak dua tahun lalu dia tidak menggauli seorang wanita, karena sebelumnya dia telah berkeluarga dan mencerai isterinya. Sehingga akibat kuatnya keinginan tersebut dia melakukan masturbasi. Aku sudah katakan kepadanya bahwa perkara tersebut diharamkan dan dia telah berusaha untuk meninggalkannya. Dia orang yang membaca Al-Quran dan kitab-kitab ilmiah sehingga mengetahui bahwa pernikahan yang syar’i itu tidak harus dilakukan pencatatan resmi. Pencatatan resmi tujuannya hanya untuk menjamin terpenuhinya hak. Dia mengatakan kepada saya, bahwa saya memiliki hak yang merupakan kewajibannya secara syar’i, karena kami adalah sepasang suami isteri.

Pertanyaannya, apakah dia berhak menggauli saya sebelum pencatatan resmi agar terhindar dari perkara haram? Ataukah dia harus berpedoman kepada syaratnya untuk tidak melakukan hal tersebut sebelum pencatatan resmi?

Pertanyaan kedua; Apakah jika dia melihat saya tanpa hijab, atau mencium saya atau meraba saya, hal tersebut diharamkan? Apakah jika saya mendapatkan visa, lalu saya berangkat ke negerinya dan tinggal bersamanya hingga dia mendapatkan pencatatan resmi, boleh atau tidak? Karena jika telah mendapatkan pencatatan resmi, kami ingin tinggal di negeri Islam insya Allah. Dia memberikan saya beberapa usulan, di antaranya adalah apa yang saya sebutkan dalam pertanyaan seputar masalah visa. Alasan kedua, dia ingin tinggal di negeri Islam untuk belajar agama dan Bahasa Arab. Dia berkata kepada saya bahwa saya wajib menyusulnya ke negeri tersebut dan melakukan pencatatan resmi akad pernikahan kami jika memungkinkan sebab yang penting akad kami tercatat, tidak penting di Negara mana tercatatnya. Akan tetapi saya bingung antara suami saya dan bapak saya, saya tidak tahu yang mana yang harus saya ta’ati? Terima kasih, semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua. Aamiin.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama: Jika wali menetapkan syarat
agar sang suami tidak menggauli puterinya kecuali setelah pencatatan resmi
dan sang suami menerima syarat tersebut, maka dia harus patuh pada syarat
itu, berdasarkan riwayat Bukhari (2721) dan Muslim (1418), dari Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, 

أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا
بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ

“Syarat yang paling berhak dipenuhi adalah syarat yang
menyebabkan dihalalkannya kemaluan (syarat dalam pernikahan).”

Di sebutkan dalam kitab Al-Mudawwanah (2/176), “Saya katakan,
bagaimana jika isterinya masih sangat kecil dan orang-orang seusia dia belum
dapat digauli sementara sang suami ingin menggaulinya sedangkan wali anak
tersebut mengatakan bahwa kami tidak mengizinkannya karena anda tidak dapat
menjimaknya?

Dia berkata, “Imam Malik berkata tentang seorang laki-laki
yang menikahi seorang wanita namun disyaratkan kepadanya agar tidak
menggaulinya selama setahun. Beliau  berkata, ‘Jika mereka menetapkan syarat
tersebut karena wanita tersebut masih kecil sedangkan suaminya orang asing
dan ingin menggaulinya sedangkan keluarganya ingin agar dia dapat menikmati
hubungan tersebut pada waktunya, maka syarat tersebut bersifat mengikat.
Jika alasannya selain itu, maka syaratnya batal. Maka hal ini menjadi
petunjuk bagi pertanyaan anda, yaitu bahwa mereka berhak mencegahnya untuk
menggaulinya hingga dia berusia baligh.”

Ulaisy rahimahullah berkata, “(Hendaknya ditunda) maksudnya
bagi isteri. Maksudnya suami yang sudah menyerahkan mahar dan ingin
menggaulinya boleh dipaksa menundanya hingga sang isteri baligh dan mampu
berjimak (selama setahun jika telah ditetapkan syarat) dalam akad. Baik
syarat itu bersumber dari isteri atau dari keluarganya, jika alasannya akan
dibawa merantau ke negeri lain yang bukan negeri sang isteri atau karena
usianya masih kecil yang belum mungkin untuk digauli. Jika tidak disyaratkan
hingga masa setahun misalnya dari akad dan baru disebut sesudahnya atau
ditetapkan syarat tersebut tapi bukan karena dia akan dibawa ke negeri asing
atau karena usianya masih kecil, maka batallah syarat tersebut dan sang
suami tidak dapat dipaksa untuk memenuhinya.” (Manhul Jalil, 3/426)

Jika dibolehkan mensyaratkan ditundanya menggauli jika sang
suami akan mengajaknya safar ke negeri lain dan karena keluarganya ini
menikmati bersamanya, maka kebolehan menundanya untuk melakukan pencatatan
resmi dan menjaga hak-haknya lebih diutamakan.

DR. Naif bin Ahmad Al-Hamad, hakim di pengadilan kota Ramah
pernah ditanya sebagai berikut; “Sebelum akad pernikahan, wali mempelai
wanita menetapkan syarat agar saya tidak menggaulinya sebelum selesai
pengurusan passport isteri untuk pergi ke negeri asing tempat tinggal sang
suami. Karena sang suami menikah dengan wanita yang tidak berasal dari
negerinya (dengan tegas wali perempuan berkata ‘Saya tidak ingin terjadi
hubungan sebelum selesai urusan visanya, lalu sang suami berkata ‘setuju’.
Beberapa hari kemudian akad terlaksana namun syarat tersebut tidak
disebutkan dalam akad, hanya diucapkan secara lisan sebelum akad). Apakah
syarat seperti ini dianggap sah dalam kitabullah? Apakah sang suami wajib
memenuhinya? Apa yang ditanggung suami apabila dia melanggar syarat tersebut
dengan menggauli isterinya? Apakah disyaratkan sebuat syarat disebutkan saat
pencatatan akad secara resmi? Mohon penjelasannya.

Beliau menjawab,

“Syarat seperti ini sah dan seorang suami wajib menaatinya,
berdasarkan hadits Uqbah bin Amir radhiallahu anhu, dia berkata, ‘Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أحق الشروط أن توفوا به ما استحللتم به
الفروج
 (رواه البخاري، رقم 2572، ومسلم،
رقم 1418)

“Syarat yang paling berhak dipenuhi adalah syarat yang
menyebabkan dihalalkannya kemaluan (syarat dalam pernikahan).”

Jika sang suami tidak menaati syarat tersebut, maka sang
isteri berhak menuntut pembatalan pernikahan jika dia ingin. Umar bin Khatab
radhiallahu pernah mewajibkan seorang laki-laki untuk mentaati syaratnya.
Maka orang itu berkata, ‘Kalau begitu mereka (para isteri) dapat mentalak
kami, Maka Umar radhiallahu berkata, “Pemenuhan terhadap hak-hak, terkait
dengan pemenuhan syarat-syarat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 3/499, Said bin
Manshur, 1/211, Al-Baihaqi, 7/249)

Tidak disyaratkan syarat tersebut disebutkan saat akad,
seandainnya mereka telah sepakat tentang hal tersebut sebelum akad.
Sebagaimana hal tersebut dinyatakan para ulama. Lihat Ar-Raudhul Murbi
(524), wallahu a’lam.” (Kupulan fatwa di situs Islamtoday.net)

Dengan demikian, anda dapat ketahui bahwa suami anda
diperintahkan untuk menepati syarat tersebut, maka tidak dihalalkan baginya
menggauli anda sebelum pernikahan tercatat dalam pencatatan resmi. Kemudian
sang isteru boleh mencegah sang suami menggaulinya hingga sang suami
menyerahkan maharnya yang bersifat tunai, hal ini merupakan pendapat
mayoritas ulama. Maka tidak ada landasannya perkataan suami anda bahwa dia
berhak menggauli anda karena anda telah menjadi isterinya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika sang isteri mencegah
suami menggaulinya hingga sang suami menyerahkan maharnya, dan maharnya
adalah mahar tunai, maka hal itu boleh baginya. Ibnu Munzir berkata, ‘Telah
menyepakati orang yang kami percaya keilmuannya bahwa seorang isteri berhak
untuk menolak suami menggaulinya sebelum diberikan maharnya (jika maharnya
adalah mahar tunai).

Kemudian Ibnu Qudamah rahimahullah menambahkan, “Tapi jika
maharnya bersifat hutang, sang isteri tidak berhak melarang suaminya untuk
menggaulinya walaupun maharnya belum dia terima, karena ketika dia ridha
maharnya dihutang, maka diapun ridha menyerahkan dirinya sebelum maharnya
diterima, seperti halnya bayarang yang ditunda dalam jual beli. Walaupun
telah berlalu waktu yang dijanjikan untuk menyerahkan maharnya, sang
isteripun tetap tidak boleh melarang suami untuk menggaulinya, karena telah
wajib baginya untuk menyerahkan dirinya dan telah berlaku sebelum menerima
maharnya, maka dia tidak boleh mencegahnya. Jika sebagian maharnya bersifat
tunai dan sebagian lainnya bersifat hutang, maka dia boleh mencegah suaminya
menggauli dirinya apabila mahar yang tunai belum dia terima,  bukan mahar
yang hutang, jika seluruh maharnya bersifat tunai, maka dia dapat mencegah
suaminya menggauli dirinya sebagaimana telah kami sebutkan.” (Al-Mughni,
7/200)

Kedua:

Anda harus taat kepada orang tua anda pada perintahnya yang
bersifat ma’ruf, mentaatinya saat ini didahulukan, karena taat kepada suami
diwajibkan setelah anda pindah ke rumahnya. Lihat soal no.


119469

Anda selayaknya mempertimbangkan kekhawatiran dan perhatian
orang tua anda kepada anda, kami tidak mencelanya atas syarat yang telah dia
tetapkan, karena suami anda belum membayar maharnya dan belum mendapatkan
kerja, diapun belum punya harta. Berhati-hati dalam masalah ini penting.
Bagi suami hendaknya bersungguh-sungguh untuk melakukan pencatatan resmi
akadnya dan hidup bersama isterinya meskipun mereka dilarang berhubungan
intim sebagai upaya mentaati syarat tersebut. Hendaknya dia menghindari
segala sesuatu yang dapat menggiringnya pada perbuatan jimak, lebih  utama
berhati-hati karena sulitnya mengendalikan diri dalam masalah ini di antara
kalian berdua.

Ketiga:

Jika memungkinkan melakukan pencatatan resmi di negeri lain,
hal itu tidak mengapa. Tapi hendaknya hal ini atas sepengetahuan dan
pengawasan orang tua anda. Kami khawatir anda terbawa perasaan sehingga
mengundang problem yang akan anda sesali di kemudian hari.

Nasehat kepada suami anda hendaknya memperbanyak baca
istighfar dan memohon karunia Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala maha kaya
dan perbendaharaannya selalu penuh tak pernah habis.

.
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً
يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ
وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَاراً (سورة نوح:
10- 12)

Kami memohon kepada Allah Ta’ala semoga suami anda diberi
rizki yang baik dan anda berdua diberi kemudahan untuk hidup bersama dengan
tenang dan harmomis.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android