Ketika seseorang menjauhi sebagian hal-hal yang diharamkan bukan karena takut kepada Allah Azza Wajalla; akan tetapi takut kepada manusia dan dia sendiri menetapkan bahwa dia melakukannya karena orang lain, sebagai contoh : ketika seseorang menjauhi dan menghindari tempat-tempat hiburan, tempat disko dan tempat dunia gemerlap yang haram, dengan tujuan agar orang-orang tertentu tidak melihatnya, dan bukan karena Allah ‘Azza Wajalla sedang dia sadar betul ketika melakukan yang demikian itu, apakah hal ini termasuk Syirik kecil ? atau apa ? Dan bagaimana dengan anak-anak yang mereka melaksanakan agar mendapatkan keridhahan orang tua mereka dan bukan karena Allah ‘Azza Wajalla ?
Apakah Akan Diberikan Pahala Bagi Seorang Muslim Yang Meninggalkan Kemaksiatan Di Setiap Kondisi ??
Pertanyaan: 180814
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
..
Yang pertama : Apabila seseorang meninggalkan perbuatan maksiat, maka meninggalkannya ini tidak terlepas dari beberapa kondisi:
·Kondisi Pertama : Dia meninggalkan maksiat karena takut kepada Allah Ta’ala, dalam hal ini akan mendapatkan pahala dari meninggalkan maksiat ; sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di dalam Hadits Qudsi :
( وَإِنْ تَرَكَهَا – أي : السيئة – مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً … ) رواه البخاري (7501)
Artinya : (Dan tatkala ia meninggalkannya – yang dimaksud disini adalah keburukan- karena Aku, maka tuliskanlahlah baginya satu kebaikan…)
Hadits Riwayat Al Bukhari ( 7501).
· Kondisi Kedua : Meninggalkan maksiat karena Riya’ terhadap manusia dan menginginkan pujian dari mereka, tentu saja pola seperti ini tidak akan mendapatkan pahala dalam meninggalkannya bahkan akan mendapatkan dosa ; karena sesungguhnya meninggalkan maksiat itu merupakan ibadah, dan ibadah itu tidak dilaksanakan melainkan hanya karena Allah semata.
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah berkata : “Adapun jika dia berkeinginan melakukan kemaksiatan kemudian meninggalkannya karena takut kepada sesama makhluk, atau karena sikap Riya’ kepada mereka, maka dalam kasus semacam ini dikatakan kepadanya : sesungguhnya dia akan disiksa karena meninggalkannya dengan niat semacam ini ; karena telah mendahulukan perasaan takut kepada sesama manusia dari pada takut kepada Allah adalah suatu hal yang diharamkan, demikian pula bentuk meninggalkan kemaksiatan dengan maksud riya’ kepada sesama makhluk adalah haram hukumnya, karena dia telah menyetarakan meninggalkan maksiat yang semestinya hanya karena Allah, kepada dan untuk selain Allah maka dia layak mendapatkan siksa dalam hal ini ”. Diambil dari kitab : “ Jami’ul ‘Ulum wal Hikam ” ( 2/321 ).
Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata : “Dan yang kedua : Sebagaimana orang yang meninggalkan maksiat karena selain Allah bukan semata-mata karena Allah, maka dia layak mendapatkan siksa karena telah meninggalkan demi sesuatu selain Allah sebagaimana dia layak mendapatkan siksa ketika melakukan amalan untuk selain Allah. Sesungguhnya meninggalkan dan pencegahan sebuah amalan merupakan salah satu bentuk dari perbuatan hati, maka jika dia menghamba kepada selain Allah sungguh dia telah layak mendapatkan siksa ”. Diambil dari kitab : “ Syifaaul ‘Alil ” halaman : 170.
· Kondisi Ketiga : Apabila dia meninggalkan maksiat karena malu kepada sesama manusia, maka dalam hal ini dia tidak mendapatkan dosa, bahkan kadang dia akan mendapatkan pahala pada saat meninggalkan maksiat tersebut, jika dia menyertakan tujuan yang Syar’i dari apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala, sebagaimana para Da’i dan para Pemuka agama yang meninggalkan maksiat karena khawatir apabila masyarakat memiliki anggapan buruk kepada mereka jika mereka melakukan kemaksiatan.
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah berkata : – Pada kondisi ini sebagai pembeda dengan kondisi yang sebelumnya – : “Maka jikalau dipertanyakan bagaimana bisa tidak mendapatkan siksa, orang yang meninggalakan maksiat karena malu dengan sesama manusia dengan tetap mempertahankan status mereka di kalangan masyarakat dan takut dari mereka apabila mereka menghinakannya, dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencela apalagi melarang hal yang demikian, bahkan dikatakan : Tidak terdapat keraguan lagi bahwasannya dia tidak akan mendapatkan siksa atas hal yang demikian, akan tetapi yang akan mendapatkan siksa adalah orang yang meninggalkan maksiat karena demi mencari keridloan manusia dan mendapatkan sanjungan dari mereka, seakan-akan dia meninggalkan maksiat karena takut kepada Allah dan karena merasa diawasi oleh Allah padahal apa yang mereka tampakkan bertentangan dengan situasi batin mereka, maka berbeda kondisinya dengan orang yang meninggalkan maksiat karena ingin mendekat kepada manusia dan mendapat sanjungan dari mereka, dengan orang yang meninggalkan maksiat yang bersumber dari perasaan malu kepada sesama manusia dan takut akan caci maki mereka serta hinanya status mereka di mata masyarakat, maka hal atau kondisi semacam ini tidak akan mendapatkan siksa bahkan bisa jadi akan mendapatkan pahala apabila maksud dan tujuannya adalah semata-mata ingin mendapatkan dan demi kecintaan kepada Allah, dengan senantiasa menjaga kewibawaan dan kedudukan dakwah kepada Allah serta penerimaan masyarakat terhadap keberadaan mereka dan seterusnya. Dari kitab “ Syifaaul ‘Alil ” halaman : 170.
· Kondisi Keempat : Apabila keinginan meninggalkan maksiat itu hanya semata-mata karena tidak menyukainya, dan bukanlah sebab meninggalkannya karena takut kepada Allah atau karena seseorang dari makhluknya, maka hal semacam ini tidak mendapatkan pahala dan juga tidak berdosa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata : “ Maka adakalanya meninggalkannya karena khawatir dan takut kepada Allah atau meninggalkannya karena sebab yang lain, jika meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah akan mencatatkan baginya sebagai bentuk kebaikan yang sempurna di sisi-Nya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Hadits Nabi, dan yang terdapat dalam sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang lain :
(( اكتبوها له حسنة فإنما تركها من أجلي ، أو قال : من جرائي
(Maka tuliskanlahlah baginya satu kebaikan, karena sesungguhnya dia meninggalkan keburukan sebab takut kepada-Ku, atau dalam riwayat lain : Karena mengharap pahala dari-Ku …). Adapun bagi orang yang meninggalkannya karena sebab yang lain ; maka tidak ditulis baginya satu keburukan, sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits yang lain :
( فإن لم يعملها لم تكتب عليه )
(Dan jika dia melakukannya bukan karena Allah maka tidak dituliskan baginya suatu apapun ).
Dari sini kita bisa pahami bahwasannya kedua Hadits di atas memiliki makna yang saling melengkapi ”. Dari kitab “ Majmu’ Al Fatawa ” ( 10/ 738 ).
Yang kedua :
Ibadah seorang Muslim tidak akan pernah diterima oleh Allah Ta’ala melainkan dengan dua Syarat :
Pertama : Ikhlas niat karena Allah Ta’ala, yaitu apabila seorang hamba bertujuan dalam segala ucapannya dan amal perbuatannya baik yang dzahir maupun yang batin hanya mencari keridloan Allah Ta’ala semata tanpa mengharap dari yang lain.
Kedua : Menyesuaikan antara amal perbuatan dengan Syari’at yang Allah telah memerintahkan agar tidak menyembah melainkan hanya kepada Dia, dan yang demikian itu dengan mengikuti risalah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang beliau emban, dan meninggalkan menentang ajaran beliau dengan tidak mengada-adakan aturan Ibadah yang baru atau dengan bentuk ibadah-ibadah baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, dan dalil dari dua syarat tersebut adalah Firman Allah Ta’ala :
( فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً ) الكهف/110.
Yang artinya : “ Maka barang siapa yang mengharap untuk bertemu dengan Tuhannya ; maka hendaknya dia beramal dengan amalan yang shaleh dengan tidak menyekutukan Allah sedikitpun dalam ibadahnya”. Alkahfi/110.
Atas dasar inilah, jika seorang anak mengerjakan sholat karena takut kepada Ayahnya atau untuk mengharap keridloan orang tuanya dan bukan diniatkan untuk mencari keridloan Allah, maka shalatnya tidak diterima ; karena shalat merupakan sebuah ibadah dan tidaklah ibadah itu dilaksanakan melainkan hanya karena Allah Ta’ala. Adapun apabila shalatnya dia niatkan karena mencari keridloan Allah kemudian diikuti untuk mendapatkan keridloan kedua orang tua, maka dalam kondisi seperti ini Shalatnya diterima Insya Allah.
Wallahu A’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam