Unduh
0 / 0
7,00424/03/2013

Menikahinya Dengan Syarat Akan Diceraikan Setelah Dua Tahun, Apa Hukum Nikahnya? Apa Konsekwensinya?

Pertanyaan: 186851

Saya seorang pelajar muslim di negeri asing, menikah dengan seorang wanita muslimah di negeri tersebut dengan akad sah dan saksi-saksi. Kesepakatan yang terjadi di antara kami adalah bahwa pernikahan ini tidak seterusnya. Kedua belah pihak setuju bahwa saya akan menceraikannya setelah saya menyelesaikan studi saya setelah dua tahun. Diapun setuju dengan hal itu. Perlu diketahui bahwa kesepakatan tersebut tidak disebutkan dalam akad sama sekali. Akad berjalan lancar meskipun saya telah memberikan harapan sedikit sekali untuk kelangsungan perkawinan ini. Karena itu, walinya adalah hakim itu sendiri, karena bapak dan kakeknya telah wafat, dan para pamannya tidak hadir karena khawatir dengan kelangsungan perkawinan kami. Maka pernikahan kami bersifat sirri. Sekarang status kami masih suami istri, batasan waktu yang telah kami tetapkan telah kami lewati sekian lama. Kami justeru ingin terus menjaga perkawinan ini tanpa batasan waktu sebagaimana umumnya pasangan suami isteri meskipun pernah terjadi talak sekali.

Apakah akad pernikahan kami sah walaupun dengan kesepakatan waktu di antara kami pada kali pertama?

Apakah pernikahan dengan wali hakim sah? Apakah terjadi talak disana?

Apa yang harus kami lakukan jika kami ingin terus melangsungkan pernikahan ini?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Jika terjadi kesepakatan antara suami iseri atau antara suami
dan wali wanita bahwa pernikahan bersifat sementara dengan waktu yang telah
ditentukan, seperti setahun atau dua tahun atau tidak ditentukan dan hal itu
dinyatakan dalam akad atau sebelumnya, maka pernikahan seperti itu batil.
Karena itu pernikahan mut’ah, meskipun syarat dan rukun pernikahan
terpenuhi.

Disebutkan dalam Kitab Al-Mughni, 7/136, “Tidak dibolehkan
nikah mut’ah” Yang dimaksud dengan nikah mut’ah adalah seorang laki-laki
menikahi wanita dalam masa tertentu. Misalnya sang wali berkata, “Aku
nikahkan engkau dengan puteriku selama sebulan, atau setahun, atau hingga
selesai musim, atau hingga kedatangan jamaah haji, atau semacamnya. Baik
waktunya diketahui atau tidak. Ini merupakan nikah yang batil, sebagaimana
dinyatakan oleh Imam Ahmad. Dia berkata, “Nikah mut’ah adalah haram.”

Termasuk dianggap sebagai nikah mut’ah adalah: Seseorang
melakukan akad dengan syarat dia akan menceraikannya setelah selesai
masanya, baik masanya diketahui atau tidak.

Disebutkan dalam Kasyaful Qana (5/97), “Dia (nikah mut’ah)
adalah seorang laki-laki menikahi wanita dalam masa tertentu, baik diketahui
atau tidak. Misalnya sang wali berkata, “Aku kawinkan engkau dengan puteriku
selama sebulan atau setahun, atau aku kawinkan engkau hingga selesai musim
atau hingga kedatangan jamaah haji, atau semacamnya. Baik masanya diketahui
atau tidak.”

Jika seorang suami menetapkan syarat menceraikannya dalam
pernikahan, walaupun masa waktunya tidak diketahui, maka itu adalah mut’ah;
Tidak sah.”

(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiah, 41/344)

Apakah syarat ini disebutkan dalam akad tersebut atau tidak,
selama telah disepakati waktunya, atau masing-masing telah saling mengetahui
dalam pernikahan seperti itu, maka hukumnya sama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah, saat berbicara
tentang pernikahan yang batil, mengatakan,

“Sama saja, apakah ditetapkan syarat di tengah akad
pernikahan atau ditetapkan syarat sebelumnya, atau tidak disyaratkan secara
lafaz, tapi telah disepakati masing-masing saat melamar, maka kondisi
mempelai laki dan wanita, serta mahar, dianggap sama dengan kedudukan lafaz
dalam syarat.”

(Al-Bayan Ad-Dalil Ala Buthlani Tahlil)

Dia juga berkata, “Syarat-syarat yang diajukan saat akad sama
dengan adanya korelasi, jika dia benar, maka dia harus dipenuhi. Jika
syaratnya batil, maka hal itu berpengaruh pada akad.”

Lihat juga, Al-Qawaid An-Nuraniah, 302-303

Kedua:

Wali nikah wanita berlaku secara tertib. Walinya adalah
bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian puteranya, kemudian saudara
laki-lakinya, kemudian paman laki-lakinya, kemudian kerabat-kerabat
terdekatnya. Jika tidak terdapat kerabat, maka hakim boleh menikahkannya.
Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam;

السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ ) رواه أبو داود (2083) وصححه
الشيخ الألباني.

“Sultan (penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak punya
wali.” (HR. Abu Daud, no. 2083, dinyatakan shahih oleh Al-Albany)

Jika hakim menikahkannya, padahala ada wali dari kerabatnya
yang berhak, maka akad pernikahannya tidak sah, karena itu berarti melampaui
kewenangan mereka.

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (7/22), “Jika ada wali
jauh menikahkan, sementara wali dekat ada, lalu sang wanita menerima dia
menikahkannya tanpa izin wali yang dekat, maka nikahnya tidak sah. Demikian
dikatakan oleh Imam Syafii.”

Al-Hijawi berkata dalam kitab Zadul Mustaqni, “Jika wali jauh
atau non kerabat menikahkannya tanpa ada uzur, maka hal itu tidak sah.”

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarhul
Mumti (12/45)

“Jika wali jauh atau non kerabat menikahkannya tanpa uzur,
maka pernikahannya tidak sah. Maksudnya jika wali yang dekat masih ada dan
dia berhak menjadi wali, maka pernikahannya tidak sah. Berdasarkan hadis
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Kecuali dengan wali” penyebutan
ini menunjukkan bahwa yang paling berhak adalah yang paling pertama lalu
berikutnya dan berikutnya.”

Beliau (Syekh Ibnu Utsaimin) rahimahullah juga pernah
ditanya, “Seorang wanita dinikahkan oleh puteranya, padahal bapaknya masih
ada. Apa hukum akad seperti ini?” 

Beliau menjawab, “Hendaknya ditinjau dulu, mana diantara
mereka yang lebih berhak untuk menikahkannya; Bapaknya atau anaknya.”

Jawabannya adalah bapaknya. Dialah yang lebih berhak
menikahkannya. Jika puteranya yang menikahkannya sementara bapak masih ada,
jika sang bapak berada di tempat yang jauh dan tidak mungkin dihubungi, maka
hal itu tidak apa-apa. Atau misalnya jika sang bapak tidak bersedia
menikahkannya dengan orang yang disukai puterinya, padahal orang itu layak
dari segi agama dan akhlaknya, maka tidak mengapat ketika itu, puteranya
menikahkannya. Adapun jika sang bapak ada dan bersedia menikahkan, maka
(jika puteranya menikahkannya) hal itu tidak sah dan wajib diulang.” (Liqo
Bab Maftuh, no. 159)

Jika telah jelas bahwa pernikahannya batal, maka mereka wajib
berpisah secara langsung. Jika mereka berdua satu sama lain ingin menikah,
maka hendaknya mereka mengulangi akad nikahnya dengan ketentuan yang
dibolehkan syariat.

Untuk menambah pemahaman tentang syarat pernikahan, silakan
lihat jawaban soal no. 2127

Keempat:

Talak yang telah anda jatuhkan dianggap sebagai bagian dari
jumlah talak, karena anda telah mentalak dalam pernikahan yang anda anggap
sah.

Disebutkan dalam kitab “Kasyaful Qana (5/237), “Talak
dianggap jatuh pada pernikahan yang diperselisihkan keabsahannya, seperti
nikah dengan wali orang fasiq, atau dengan saksi fasiq, atau menikahi
saudara perempuan saat saudara perempuannya masih dalam iddah, atau nikah
syigar atau nikah muhallil atau pernikahan tanpsa saksi atau tanpa wali dan
semacamnya.”

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

Adapun pernikahan yang diperselisihkan keabsahannya ada dua
kondisi;

Pertama:

Orang yang menikah menganggapnya sah. Jika dia menganggap
pernikahannya adalah sah, maka talaknya jatuh dan tidak ada masalah apa-apa
bagi dia. Misal, seorang laki-laki menikahi wanita yang menyusui dengan
ibunya sebanyak tiga susuan, sedangkan dia menganggap bahwa susuan yang
menjadikannya haram dinikahi adalah apabila terdiri dari 5 kali susuan. Maka
pernikahannya menurutnya adalah sah. Maka tidak diragukan bahwa talak dalam
masalah ini dianggap jatuh.

Demikian pula jika seandainya dia menikahi seorang wanita
tanpa saksi sedangkan dia berpendapat bahwa saksi dalam pernikahan bukan
merupakan syarat sah pernikahan, maka ketika itu talaknya dianggap jatuh.

Kedua: Talaknya tidak jatuh. Mereka yang berpendapat bahwa
talak seperti itu tidak jatuh berpendapat bahwa talak merupakan cabang dari
pernikahan. Sedangkan dia tidak menggangga pernikahannya sah, maka talaknya
tidak jatuh. Ini merupakan alasan bagus dan diterima. Adapun orang-orang
yang berpendapat bahwa talaknya jatuh, mereka berkata: Meskipun dia tidak
menganggap pernikahannya sah, tapi mungkin saja orang selainnya menganggap
pernikahannya sah. Jika dia berpisah dengannya tanpa talak, lalu datang
seseorang yang menganggap sah pernikahannya, maka dia tidak boleh
menikahinya. Talak dianggap sah dalam pernikahan yang diperselisihkan
keabsahannya, meskipun orang yang mentalak tidak menganggap sahnya
pernikahan tersebut. Karena jika talaknya tidak jatuh, maka nasib wanita
tersebut akan terkatung-katung.

Jika ada yang berkata, “Mengapa jatuh talak padahal dia tidak
berpendapat bahwa nikahnya sah, dan talak adalah cabang dari pernikahan?”

Kami katakan, “Agar jangan menghalangi dia untuk menikah
dengan laki-laki lain. Karena boleh jadi ada orang lain yang menginginkannya
dan dia berpendapat bahwa pernikahannya sah. Jika suami tersebut tidak
mentalaknya, maka dia tidak akan menikah dengan orang lain, karena laki-laki
itu menganggap bahwa wanita tersebut masih dalam wewenangnya.”

(Asy-Syarhul Mumti, 13/24)

Kesimpulannya, anda wajib menjauhi wanita tersebut karena
pernikahannya tidak sah. Jika masing-masing ingin kembali, maka harus dengan
akad yang baru dan dengan syarat-syarat yang berlaku tanpa mentalaknya. Jika
tidak ada keinginan mengulang akad nikah, maka hendaknya wanita tersebut
dicerai satu kali agar dapat dinikahi oleh orang lain, sebagaiman telah
disebutkan sebelumnya.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android