Unduh
0 / 0

Mengalami Penyakit Kejiwaan Lalu Meninggalkan Shalat dan Puasa. Apa Hukumnya?

Pertanyaan: 193006

Apa hukumnya seseorang yang tidak melakukan shalat dan puasa, karena dia mengalami penyakit kejiwaan? Setiap dinasehatkan, dia berkata bahwa dirinya sakit dan bahwa Allah akan mengampuninya. Akan tetapi, hakekatnya dia tidaklah lumpuh dan tidak mengalami sakit fisik yang menghalanginya untuk shalat. Apa hukumnya masalah ini? Dia meyakin selalu bahwa dirinya benar dan selainnya salah. Diapun selalu melakukan ghibah dan namimah.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Kami mohon kepada Allah Ta’ala semoga
orang tesrebut disembuhkan dari penyakitnya, sebagaiman kami memohon semoga
dia dan kita diberikan hidayah dan petunjuk yang benar. Sungguh Dia Maha
berkuasa.

Kedua:

Alasan pembebanan berupa perintah dan
larangan adalah baligh dan berakal. Kapan saja seseorang baligh dan berakal,
maka dia wajib melakukan perbuatan yang diperintahkan, berupa shalat, puasa,
haji, zakat dan kewajiban lainnya, sebagaimana dia diperintahkan menjauhi
perkara yang dilarang.

Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Daimah,
6/370, “Shalat merupakan kewajiban manusia, tidak gugur sama sekali selama
akalnya masih ada. Karena beban kewajiban dikaitkan dengan baligh dan
berakal. Perintah shalat tidak gugur, walaupun aggota badan rusak, atau
sakit atau semacamnya, berdasarkan keumuman dalil dari Al-Quran dan Sunah
serta ijmak ulama dalam hal tersebut. Siapa yang menderita pada tubuhnya dan
tidak dapat melakuan seluruh kewajiban shalat dan rukunnya, maka dia haru
melakukan shalat sesuai kemampuannya.

Berdasarkan hal tersebut, jika seseorang
menderita sakit kejiwaan, namun akalnya masih ada dan masih sadar,
sebagaimana yang tampak dalam pertanyaan, maka dia diharuskan melakukan
shalat dan puasa, karena dia masih dalam katagori mukallaf (mendapatkan
beban).

Namun jika dia telah gila (hilang akal)
sekali waktu, lalu sadar di waktu yang lain, maka dia memiliki uzur pada
saat hilang akalnya, namun jika dia telah sadar, hilanglah uzurnya.
Ketika itu dia wajib shalat dan mengqadha shalat yang
tertinggal saat akalnya hilang.

Yang bagi anda adalah menasehati orang
tersebut dan mengingatkan akan besarnya perintah shalat dan puasa. Dan bahwa
meninggalkannya tanpa uzur mendapatkan ancaman besar. Bahkan jauh dari zikir
kepada Allah merupakan sebab utama penyakit kejiwaan. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ
مَعِيشَةً ضَنكًا (سورة طه: 124)

“Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
SQ. Tohaa: 124

Sebagaimana Allah sebutkan bahwa di antara factor ketenangan
hati, adalah berzikir. Allah Ta’ala berfirman,

أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ   (سورة الرعد: 28)

“Ingatlah,
hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” SQ> Ar-Ra’du: 28

Hendaknya setiap orang mengetahui bahwa dirinya akan
bertanggung jawab di hadapan Allah Ta’ala, selama dia masih sadar apa yang
dia katakan dan dia perbuat. Sakitnya bukan merupakan uzur untuk melakukan
maksiat semaunya; Meninggalkan shalat, ghibah dan namimah. Seorang hamba
tidak memiliki hujjah di hadapan Allah Ta’ala, tapi Allah lah yang memiliki
hujjah yang kuat di hadapan makhluknya seluruhanya.

Kami memohon kepada Allah Ta’ala semoga Dia memperbaiki
urusan seluruh kaum muslimin dan mengembalikan mereka kepada kebaikan.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android