Unduh
0 / 0

Hukum Mengusap Khuf Yang Terbuat Dari Kulit Kera

Pertanyaan: 197680

Apa hukum mengusap dua khuf atau kaos kaki terbuat dari kulit kera?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Kulit hewan terbagi menjadi tiga bagian:

Pertama, kulit yang dagingnya halal dimakan kalau disembelih
dengan cara sesuai agama. Ini disepakati boleh digunakan, baik disamak atau
tidak disamak.

Kedua, kulit bangkai yang dagingnya halal dimakan. Ini boleh
digunakan setelah disamak menurut pendapat yang kuat.

Ketiga, kulit hewan yang haram dimakan dagingnya seperti
singa, macan, kera, macan kumbang. Bagian ini para ulama rahimahullah
berbeda pendapat tentang hukumnya dengan perbedaan yang banyak sekali. An-Nawawi
rahimahullah menyebutkan dalam Majmu pendapat para ulama sampai menjadi
tujuh mazhab. (silah lihat dalam Majmu, 1/27 dan Mughni, 1/53).

Yang kuat –wallahu a’lam- pendapat Imam Ahmad dan sekelompok
ulama salaf yang mengharamkan penggunaan kulit hewan buas dan yang haram
dimakan dagingnya. Itu lebih dekat kepada kebenaran. Yang menunjukkan hal
itu adalah hadits:

Salamah bin Muhabbiq radhiallahu anhu,

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
غَزْوَةِ تَبُوكَ دَعَا بِمَاءٍ مِنْ عِنْدِ امْرَأَةٍ قَالَتْ مَا عِنْدِي
إِلَّا فِي قِرْبَةٍ لِي مَيْتَةٍ قَالَ:  أَلَيْسَ قَدْ دَبَغْتِهَا ، قَالَتْ
بَلَى قَالَ:  فَإِنَّ دِبَاغَهَا ذَكَاتُهَا ( رواه أحمد، 19214، والنسائي،
رقم 4170، وصححه الألباني في ” غاية المرام، رقم  26 )

“Sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam perang
Tabuk meminta air dari seorang wanita. Dan wanita itu mengatakan, “Saya
tidak punya kecuali airi di kantong kulit dari bangkai. Beliau bertanya,
“Bukankah ia telah disamak.” Dia menjawab,”Ya.” Beliau bersabda,
“Sesungguhnya samaknya adalah sembelihannya.” (HR. Ahmad, no. 19214, Nasa’I,
no. 4170, dinyatakan shahih oleh Albany di Ghayatul Maram, no. 26).

Dari Aisyah berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa salalam
ditanya tentang kulit bangkai, beliau menjawab,

دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا (رواه النسائي، رقم 4172

وصححه الشيخ الألباني)

 “Samaknya adalah sembelihannya.” (HR. Nasa’i, no 4172,
dinyatakan shahih oleh Al-Albany)

Telah diketahui bahwa apa yang haram dagingnya, tidak halal
sembelihannya.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah  ditanya,”Apa ketentuan
penggunaan kulit, baik yang halal dimakan dagingnya atau yang haram
dagingnya. Baik disamak atau tidak disamak?

Maka beliau menjawab, “Kalau kulit yang halal disembelih,
maka ia suci. Karena ia menjadi baik dengan sembelihan. Seperti kulit unta,
sapi, kambing, biawak, kelinci dan lainnya. Baik disamak atau tidak. Kalau
kulit yang tidak dimakan dagingnya seperti kulit anjing, srigala,  singa,
gajah dan semisalnya maka ia najis. Baik disembelih atau bangkai atau
dibunuh. Karena kalau disembelih, tetap tidak halal (dagingnya) dan tidak
menjadi baik, ia tetap najis. Baik disamak atau tidak, menurut pendapat yang
kuat. Karena pendapat yang kuat bahwa kulit najis tidak dapat suci dengan
disamak jika berasal dari jenis hewan yang tidak halal disembelih. Kalau
kulit yang menjadi bangkai yang mati sebelum disembelih dan halal dimakan
dagingnya, jika dia disamak, maka menjadi suci, kalau belum disamak maka ia
najis (kotor).

Maka, masalah kulit ada tiga ketentuan;

Pertama; bersih (suci), baik disamak atau tidak. Yaitu kulit
hewan yang disembelih dan halal dimakan (dagingnya).

Kedua: Kulit yang tidak suci, baik setelah disamak atau
sebelum disamak, ia tetap najis. Yaitu kulit yang tidak boleh dimakan
dagingnya.

Ketiga: Kulit suci setelah disamak dan tidak suci sebelum
disamak. Yaitu kulit yang halal dimakan dagingnya jika mati tanpa
disebembelih (bangkai).” (Liqo Bab Maftuh, pertemua no. 16. Silahkan melihat
jawaban soal no. 147632)

Tambahan dari itu bahwa kera termasuk jenis hewan buas, dan
Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah melarang penggunaan kulitnya. Dari
Miqdam bin Ma’dikarb bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melarang
menggunakan kulit hewan buas dan menungganginya.” (HR. Abu Dawud, no. 4131,
dinyatakan shahih oleh AlAlbany)

عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (

Dari Qatadah dari Abu Malih dari ayahnya,

نَهَى عَنْ جُلُودِ السِّبَاعِ أَنْ تُفْتَرَشَ. (رواه الترمذي،
رقم 1771، وصححه الألباني في ” مشكاة المصابيح ” برقم، 50)

“Bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang menggelar (menggunakan)
kulit hewan.” (HR. Tirmizi, no. 1771, dinyatakan shahih oleh Albany di
Misykatul Mashabih, no. 506)

Silahkan lihat jawaban soal no. 105419.

Kedua:

Jika sudah diputuskan najisnya kulit yang haram dimakan
dagingnya dan kulit hewan buas setelah mati. Maka tidak dibolehkan
memakainya dalam shalat. Juga tidak boleh diusap dalam bersuci, meskipun
telah disamak. Karena di antara syarat shalat adalah suci baju dan syarat
mengusap dua khuf adalah keduanya suci.

Terdapat riwayat dalam kitab Kasyaful Qana  1/116:
“Disyaratkan juga (kesucian barangnya) karena barang yang najis itu dilarang
(maka tidak sah) mengusap (di atas sesuatu yang najis meskipun dalam kondisi
terpaksa) sebagaimana dinyatakan dalam kitab Al-Harir.”

Syekh Ibnu Utsain rahimahullah mengatakan, ungkapan ‘Dalam
kondisi suci’ ini adalah syarat kedua di antara syarat sahnya mengusap khuf.
Maksudnya adalah bahwa sesuatu yag dipakia itu benda yang suci.

Suci di sini dapat bermakna suci bendanya, maka benda yang
najis tidak sah. Dapat juga suci dipahami sebagai sesuatu yang belum terkena
najis. Sebagaimana perkataan anda, ‘Anda harus shalat dengan pakaian yang
suci, maksudnya belum terkena najis.

Yand dimaksud di sini adalah najis bendanya. Karena ada khuf
yang najis bendanya seperti khuf yang terbuat dari kulit himar (keledai). Di
antaranya ada yang barangnya suci akan tetapi terkena najis. Seperti kalau
khuf dari kulit unta yang disembelih akan tetapi terkena najis. Yang pertama
najis ain (barangnya) yang kedua najis hukmiyah (hukumnya). Dengan demikian,
dibolehkan mengusap khuf yang terkena najis akan tetapi tidak boleh dibuat
shalat. Karena di antara syarat shalat adalah menjauhi najis. Latar belakang
keharusan suci  adalah bahwa mengusap benda najis tidak menambah kecuali
semakin najis. Bahkan jika tangan memegang langsung najis ini dalam kondisi
basah, maka dia akan menjadi najis.” (Syarh Mumti, 1/228).

Wallahu a’lam
.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android