Anda sebutkan di website anda bahwa darah itu najis. Bagaimana menjawab atsar shoheh dari shahabat yang sisi dohirnya (menunjukkan) bahwa darah itu suci. Seperti hadits shahabat yang shalat sementara darahnya masih mengucur. Umar shalat sementara lukanya mengucurkan darah. Begitu juga telah ada dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau shalat sementara ada darah dari sembelihan yang disembelihnya. Hasan Al-Basri mengatakan, “Umat Islam senantiasa shalat dengan luka-lukanya. Bukankah semua itu menunjukkan kesucian darah?
Jawaban Atsar Shahabat Yang Menunjukkan Sucinya Darah
Pertanyaan: 207812
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Masalah najisnya darah termasuk permasalah yang seringkali diperbincangkan seputarnya diantara ulama kontemporer. Sampai ditulis berbagai buku kecil dan studi. Pendapat yang dipilih mayoritas para ulama salaf dan kholaaf (belakangan) bahwa darah yang mengalir itu termasuk najis. Kata ‘Masfuh’ adalah yang mengalir.” Selesai dari ‘Al-Jami’ Li Ahkamil Quran, (7/123).
Hal ini mencakup darah mengalir dan mengucur dari hewan waktu hidup atau ketika disembelih. Dan darah yang keluar dari tubuh manusia ketika luka. Darah ini najis, menurut seluruh ulama. Tidak dikenal seorangpun dari kalangan ulama umat ini dan para salaf yang mengatakan akan kesuciannya. Pertama kali yang berpendapat dari kalangan kontemporer akan kesuciannya adalah Syaukani kemudian diikuti Sidiq Hasan Khon dan setelahnya Syekh Albany dari kalangan modern. Kemudian setelah itu dikenal pendapat ini sampai diantara para penuntut ilmu.
Yang menunjukkan kenajisan darah mengalir dari Quran, Sunah dan Ijma’.
Kalau dari Al-Qur’an firman Allah ta’ala:
قُل لاَّ أَجِدُ فِيمَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ ، فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
الأنعام/ 145
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-An’am: 145.
Ayat ini menunjukkan bahwa darah mengalir itu termasuk rijsun. Kata ‘Rijsun’ adalah najis.
Pangambilan dalil dari ayat ini dibantah dari dua sisi:
Pertama: maksud dari kata ‘Rijsun’ dalam ayat ini adalah yang diharamkan bukan najis. Syaukani rahimahullah mengatakan, “Maksud ‘rijsun’ disini adalah haram. Sebagaimana kontek dan maksud ayat. Ia disebutkan dengan apa yang diharamkan semuanya bukan apa yang najis. Tidak ada korelasi antara pengharaman dan najis. Bisa jadi sesuatu itu haram tapi suci.” Selesai dari ‘As-Sailul Jarar, (1/26).
Hal ini dijawab, “Kalau kata ‘Rijsun’ itu maksudnya haram, maka dalam ayat itu ada pengulangan. Karena pengharaman telah selesai penjelasannya di awal ayat. Menurut pendapat mereka makna ayat tidak ada yang diwahyukan kepadaku yang diharamkan kecuali bangkai, darah dan darah babi itu semuanya haram.
Sebagian diantara mereka mengatakan, “Kata ‘Rijsun’ dalam Bahasa adalah kotor. Maka kata ‘rijs’ maksudnya bukan najis. Tapi yang dianggap kotor (jorok).
Jawaban akan hal itu adalah bahwa kata ‘Rijs’ meskipun maksud dari sisi Bahasa itu kotor, akan tetapi maksud disini adalah makna secara syar’i. yaitu dihukumi najis. Karena asal dalam perkataan agama dimaksudkan arti sisi syar’I bukan Bahasa.
Imam Tobari rahimahullah mengatakan, “Kata ‘Rijsun’ adalah najis dan busuk. Selesai dari ‘jamiul Bayan, (8/53).
Syeikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Kata Rijsun adalah kotor yang harus dijauhi.” Selesai dari Syarkh Umdah, (1/109).
Bantahan kedua:
Dhomir (kata ganti) dalam ayat (فَإِنَّهُ رِجْسٌ)kembali ke babi saja. Syaukani rahimahullah mengatakan, “Kalau ada dalil yang menunjukkan bahwa kembalinya kata ganti dalam firman ta’ala (فَإِنَّهُ رِجْسٌ)ke seluruh yang disebutkan sebelumnya dalam ayat yang mulia dari bangkai, darah mengalir dan daging babi. Maka hal itu menunjukan akan kenajisan darah mengalir. Akan tetapi tidak ada yang menunjukkan hal itu. Bahkan perbedaan yang adalah kembalinya ke semua atau yang lebih dekat. Yang Nampak kembalinya itu yang lebih dekat yaitu daging babi kerena kata kembalinya tunggal.” Selesai dari Ad-Darori Al-Mudhiyyah, (1/32).
Jawaban akan hal itu adalah: kata ganti meskipun kembalinya itu masih ada perbedaan dikalangn ulama tafsir, melainkan bahwa kembali ke semuanya itu lebih dekat dan lebih kuat.
Ibnu Abil Izz Al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “Ayat (فَإِنَّهُ رِجْسٌ)kata gantinya kembali yang disebutkan semuanya yaitu bangkai, darah, dan daging babi. Karena asalnya ‘Katakan saya tidak mendapatkan apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan, maka dihilangkan yang disifati, sehingga sifat menduduki kedudukannya. Kemudian kecuali ini dan ini. Karena semua yang disebutkan itu rijsun. Dan kembali ke sebagian yang disebutkan, tidak sesuai.” Selesai dari ‘Tafsir Imam Ibnu Abul Izz, (2/13).
Ibnu Asyur rahimahullah mengatakan, “Yang Nampak (kata ganti) kembali kepada semua yang disebutkan sebelumnya. Dan kata ganti sendiri ditakwilkan ke yang disebutkan maksudnya disebutkan itu rijsun.” Selesai dari ‘Tahrir Wattanwir, (8/138).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimaahullah mengatakan, “Sesungguhnya ayat (فَإِنَّهُ رِجْسٌ)adalah sifat dari yang disifati yang dihilangkan. Ungkapannya adalah sesuatu yang diharamkan. Dan kata ganti tersembunyi di (يكون) kembali ke sesuatu yang diharamkan. Maksudnya kecuali sesuatu itu yang diharamkan adalah bangkai dan seterusnya. Sementara kata ganti yang Nampak dalam ( فإنه) kembali ke sesuatu yang diharamkan itu. Maksudnya bahwa sesuatu yang diharamkan itu rijsun (kotor). Sehingga dalam ayat yang mulia ini adalah penjelasan hukum dan sebabnya di tiga hal ini. Bangkai, darah mengalir dan daging babi. Siapa yang hanya mengembalikan kata ganti dalam firmanNya ( فإنه ) ke daging babi, disebabkan hal itu yang paling dekat disebutkan, maka sangat kurang sekali. Hal itu karena bisa mencerai beraikan kata ganti. Dan penjelasan Quran yang kurang dimana telah disebutkan semuanya (bangkai, darah mengalir dan daging babi) menjadi satu hukum. Kemudian disebutkan hanya satu saja.” Selesai dari Syarkh Mumti’, (15/9).
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Siapa yang hanya (menjadikan kata ganti) ke daging babi menyebutkan alasan. Kalau sekiranya kata ganti untuk tiga hal, maka akan dikatakan (فإنها أو فإنهن ). maka jawabannya adalah kita tidak katakan kata ganti untuk tiga, tapi ia kembali ke dhomir (kata ganti) yang tersembunyi di يكون yang memberitahukan dengan salah satu dari tiga hal.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, (11/264).
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Kalau saya memperhatikan ayat, saya dapatkan (pendapat ini) yang menjadi pilihan.” Selesai dari Fatawa Nurun Alad Darbi.
Dari sunah:
Hadits Asma’ yang diperintahkan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam untuk mencuci darah haid. dimana Bukhori telah membuat bab (Bab Goslud Dam /Bab Mencuci Darah). Hadits meskipun ada terkait darah haid, Cuma ia tidak ada bedanya antara darah satu dengan lainnya. Darah semuanya satu jenis. Dari tempat mana saja ia keluar.
Imam Syafi’I rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan dalil bahwa darah haid itu najis, begitu juga darah lainnya.” Selesai dari Al-Umm (1/67)
Begitu juga hadits istihadhohnya Fatimah binti Abi Hubaisy, Nabi sallallahu alaihiwa sallam memerintahkan kepadanya agar mandi dari darah istihadhoh seraya mengatakan, “Maka bersihkan diri anda dari darah.” HR. Bukhori, (221) dan Muslim, (501).
Hadits ini menunjukkan kenajisan darah dari dua sisi. Bahwa kata darah ada dengan ta’rif (pengenalan) dengan memakai alif dan lam. Sehingga mencukup semua darah dan darah apa saja.
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Ini keumuman dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam akan macam-macam darah. Kita tidak peduli dengan pertanyaan kalau sekiranya jawabannya beliau sallallahu alaihi wa sallam berdiri sendiri tanpa dikembalikan ke dhomir (kata ganti) ke pertanyaan.” Selesai dari ‘Muhalla Bil Atsar, (1/115).
Maksud dari perkataannya adalah bahwa pertanyaan wanita tentang darah istihadhoh, akan tetapi jawaban beliau sallallahu alaihi wa sallam itu umum. Beliau tidak mengatakan kepadanya, basuhlah atau basuhlah darah haid atau istihadhoh, akan tetapi dengan kata ‘Darah’ (Basuhlah darah anda). Yang menjadi pelajaran itu keumuman kata bukan kekhususan sebab.
Bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam memberitahukan bahwa darah istihadhoh itu darah penyakit. Dan darah yang keluar dari seluruh tubuh manusia dan hewan itu termasuk darah penyakit. Maka hukumnya seperti hukum harah istihadhoh.
3. Sementara Ijma’, telah dinukil dari jumhur para ulama dari berbagai mazhab, terutama Imam Ahmad. Imam Ahmad ditanya tentang darah, dikatakan kepadanya, “Darah dan nanah menurut anda apakah sama? Maka beliau rahimahullah menjawab, “Darah orang-orang tidak berselisih. Sementara nanah, orang-orang masih berselisih.” Selesai dari ‘Syarkh Umdatul Ahkam’ karangan Ibnu Taimiyah, (1/105).
Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Ini ijma’ dari kalangan umat Islam bahwa darah mengalir itu kotor dan najis.” Selesai dari ‘Tamhid, (22/230).
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Tidak ada perbedaan bahwa darah mengalir itu kotor dan najis.” Selesai dari ‘Istizkar’ (1/291).
Ibnu Hazm Dohiri mengatakan, “Mereka sepakat bahwa darah banyak maksudnya darah mengalir bukan darah ikan dan darah yang tidak mengalir itu najis. Selesai dari ‘Marotib Ijma’ hal. 19. Hal ini dikuatkan Syeikhul Islam tanpa mengomentari sedikitpun dalam ‘Catatan Marotibul Ijma’.
Ibnul Arobi Al-Maliki rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa darah itu haram dan najis, tidak boleh dimakan dan tidak boleh dimanfaatkan.” Selesai dari ‘Ahkamul QUr’an, (1/79).
Qurtubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa darah itu haram dan najis.” Selesai dari ‘Jami’ Liahkamil Qur’an. (2/221). Begitu juga Ibnu Rusyd dalam ‘Bidayatul Mujtahid menukil Ijma;, (1/79).
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalil akan najisnya darah itu sangat banyak. Saya tidak mengetahui seorangpun dari kalangan umat Islam berbeda pendapat kecuali apa yang diceritakan oleh pemilik Hawi dari sebagian mutakallimin dia mengatakan, “Ia (darah) itu bersih.” Akan tetapi orang mutakallimin tidak dianggap dalam ijma’. Berbeda dengan mereka (darah itu kotor dan najis pent) menurut mazhab yang kuat dimana ia termasuk pendapat jumhur ahli usul dari kalangan teman-teman mazhab kami dan lainnya. Apalagi dalam masalah fikih.” Selesai dari ‘Majmu’, (2/576).
Qarafi rahimahullah mengatakan, “Darah mengalir itu najis secara Ijma’.” Selesai dari ‘Dakhiroh, (1/185).
Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullah mengatakan, “Sepakat bahwa darah itu najis.” Selesai dari ‘Fathul Barie, (1/352).
Badrudin Al-Aini rahimahullah mengatakan, “Darah itu najis secara Ijma’, “ selesai dari ‘Umdatul Qori, (5/59).
Syamsudin Zarkasyi Hanbali rahimahullah mengatakan, “Yang keluar dari manusia itu ada tiga macam. Suci tanpa perbedaan yaitu air mata, keringat, ludah kecil, dahak dan ludah. Najis tanpa perbedaan yaitu air seni, kotoran, wadi, darah dan semaknanya. Yang diperselisihkan adalah mani dan madzi.” Selesai dari ‘Syarkh Zarkasyi ‘Ala Mukhtasor Khiroqi, (2/40).
Syekh Amin Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Darah itu najis tanpa perbedaan.” Selesai dari ‘Adzwaul Bayan, (2/399).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya darah mengalir kami tidak mengetahaui seorangpun yang mengatakan itu suci.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, (11/261).
Yang lebih utama sesuai dengan kandungan agama (syareat) dan akal adalah mengikuti pendapat ini yang dikuatkan secara mutawatir para ulama dalam penukilan dan penetapannya. Pendapat yang terbangun atas nash yang jelas dari Kitab dan Sunah.
Penetapan Syaukani dan pengikutnya akan kesucian darah adalah pendapat lemah. Berseberangan dengan dalil dan Ijma’. Tidak selayaknya menjadikan kebimbangan dan keraguan. Sebagaimana tidak diperbolehkan menyangka bahwa para ulama bersepakat dalam suatu masalah, sementara mereka tidak mempunyai dalil shoheh dan jelas. Sebagaimana yang disangkakan oleh sebagian pencari ilmu dalam masalah najisnya darah dan masalah lainnya. Hal itu menjadikan anggapan bahwa ijma’ tidak sah. Dengan menetapkan adanya perbedaan dari ulama salaf –meskipun satu orang – untuk membatalkan ijma’.
Kedua:
Diantara dalil yang paling kuat bagi pendapat yang mengatakan kesucian darah dari kalangan ulama’ mutaakhirin adalah kisah shahabat yang terluka. Sementara beliau dalam kondisi menjaga shahabat di wilayah (perbatasan). Dan terus melanjutkan shalatnya. Kisah tersebut diriwayatan Imam Ahmad di Musnadnya, (14177) dan Abu Dawud di Sunannya, (170). Hadits ini dihasankan oleh Nawawi dan Syekh Albani.
Mereka mengatakan, “Kalau sekiranya darah itu najis, pasti shalatnya dibatalkan. Melanjutkan shalatnya padahal adanya darah, menunjukkan bahwa darah itu suci.
Jawaban dari hadits ini dari dua sisi:
Pertama: hadits ini diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari anaknya Uqail bin Jabir ia tidak dikenal. Ibnu Hatim rahimahullah berkata, “Saya mendengar ayahku mengatakan, “Uqail bin Jabir, saya tidak mengenalnya.” Selesai dari ‘Jarh Wa Ta’dil, (6/218).
Dzahabi rahimahullah mengatakan, “Di dalamnya ada yang tidak diketahui.” Selesai dari ‘Al-Mugni Fi Du’afa’, (2/438). Begitu juga Ibnu Abdul Hadi rahimahullah mengatakannya, “Dan Uqail bin Jabir: tidak diketahui.” Selesai dari Tanqihut Tahqiq, (1/292). Oleh karena itu Bukhori menyebutkan hadits ini dalam shohehnya dengan cara mua’laq (menggantung) dengan redaksi secara tidak langsung.
Kedua: kondisi ini keluar dari kontek perselisihan. Karena shahabat ini ada uzurnya. Orang yang ada uzur tidak terpengaruh keluarnya darah seperti orang beser dan istihadoh. Darah yang keluar dari shahabat ini, adalah darah yang terus menerus keluar. Sementara darah yang terus menerus keluar termasuk rukhsoh (keringanan), orangnya diperbolehkan melaksanakan shalat sesuai dengan kondisinya. Meskipun darahnya mengalir karena dia tidak mampu menahannya. Yang semisal itu peristiwa Umar ketika ditusuk oleh Abu Lukluah lebih dari tiga tusukan. “Umar tetap shalat sementara lukanya mengeluarkan darah.” Selesai dari ‘Muwatho’, 74.
Kondisi ini terpaksa (dhorurat) tidak bisa dikiyaskan (dianalogikan) dengan lainnya. Selagi darahnya keluar terus menerus tidak mungkin menahannya, maka ia mengambil hukum orang yang beser atau hukum istihadhoh. Maka tetap shalat meskipun ada tetasan seni dan darah tetap mengalir. Kedua kondisi tersebut tidak menunjukkan kesucian seni atau kesucian darah.
Abu Walid Al-Baji rahimahullah mengatakan, “Keluarnya darah dari luka ada dua sisi, salah satunya bersambung tidak terputus. Kedua keluar suatu waktu bukan pada waktu lain. Kalau keluarnya (darah) bersambung, maka orang yang terkena luka, (diperbolehkan) shalat dalam kondisinya. Shalatnya tidak batal. Karena najisnya yang tidak mungkin dihindarinya. Dan dia tidak diharuskan membasuhnya. Sementara kalau memungkinkan untuk menghindari najis dan darahnya, kalau keluar waktu shalat karena prilakunya atau karena prilaku orang lain, maka shalatnya dibatalkan karena najis badan dan pakaiannya. Sehingga dibasuh yang terkena darah. Kemudian memulai shalat lagi. Karena najisnya ini dapat dihindarinya.” Selesai dari ‘Al-Muntaqo, (1/86).
Syeikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Kalau lukanya tidak berhenti mengalir, seperti yang menimpa Umar bin Khotob radhiallahu anhu, maka shalat sesuai kesepkatan mereka. Baik dikatakan ia membatalkan wudu atau dikatakan tidak membatalkan. Baik banyak maupun sedikit. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.” Allah juga berfirman, “Maka bertakwalah kamu semua kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu.” Dan semua hal dimana seorang hamba tidak mempu dari melakukan kewajiban shalat, maka ia gugur. Dia tidak diperkenankan mengakhirkan shalat dari waktunya. Bahkan shalat pada waktunya sesuai kemampuannya.” Selesai dari ‘Majmu’ Fatawa, (21/223).
Sesuai dengan perkataan ini, dipahami dari pendapat Hasan Al-Basri, “Umat Islam senantiasa masih shalat dengan luka-lukanya.” Disebutkan Bukhori secara menggantung (ta’liqon). Dan disambungkan oleh Said bin Mansur dan Ibnu Munzir dengan sanad yang shoheh sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidz di ‘Fath’, (1/281).
Hal ini dimungkinkan dalam kondisi terpaksa dalam peperangan. Yang menguatkan hal itu bahwa Hasan Al-Basri rahimahullah ketika ditanya tentang seseorang yang berbekam, apa yang harus dilakukannya? Maka beliau menjawab, “Membasuh bekas bekamnya.” Selesai dari ‘Mushonif Ibnu Abi Syaibah, (1/47).
Kalau sekiranya Hasan Al-Basri berpendapat kesucian darah, maka beliau tidak memerintahkan bekas bekam dari darah. Diriwayatkan Abdur Rozaq Al-Shon’any dalam ‘Mushonaf, (1/376) dari Ma’mar berkata,”Dahulu Hasan pergi keluar kalau melihat di bajunya ada darah.” Selesai
Dari hasan dan Muhammad bin Sirin keduanya memakruhkan membasahi kepala bayi dari darah aqiqah. Hasan mengatakan, “Darah itu rijsun (kotor). Selesai dari ‘Mushonaf Abnu Abi Syaibah, (5/116).
Atsar ini menunjukkan dengan dalil yang jelas bahwa Hasan Al-Basri berpendapat najisnya darah. Oleh karena itu tidak mungkin berdalil dengan mengatakan bahwa para shahabat dahulu shalat dengan luka-lukanya mengatakan kesucian darah.
Al-Ainy rahimahullah mengatakan ,”Tidak mesti dari ungkapan (mereka shalat dengan luka-lukanya) dimana darah keluar waktu itu. Siapa yang punya luka agar tidak meninggalkan shalat karenanya. Bahkan (tetap menunaikan) shalat sementara lukanya dibalut dengan sesuatu atau terikat dengan gibs. Meskipun begitu kalau sekirnya ada yang keluar dari lukanya, tidak membatalkan shalatnya.” Selesai dari ‘Umdatul Qori, (3/51).
Ketiga:
Sementara apa yang diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin dari Yahya Al-Jazzar berkata, “Ibnu Mas’ud menunaikan shalat sementara di perutnya ada kotoran dan darah dari sembelihan dan semisalnya tanpa berwudu.” HR. Abdur rozaq di Mushannaf, (459) dan dinyatakan shoheh sanadnya oleh Al-Bany.
Hal ini dijawab dari tiga sisi:
Sisi pertama: dari sisi ketetapannya, dimanan Yahya Jazzar dalam mendengar (atsar) dari Ibnu Mas’ud, masih perlu dipertanyakan. Para imam menafikan beliau mendengar dari Ali bin Abu Tholib. Sementara Ibnu Mas’ud lebih dahulu meninggal dunia dibandingkan Ali. Silahkan melihat kita ‘Al-Marosil karangan Ibnu Abi Hatim, hal. 246.
Oleh karena itu ketika Uqaili menyebutkan dalam kitab ‘Ad-Duafa’, (4/396) dari Ibnu Aun berkata, Muhammab (Ibnu Sirin) mengatakan kepadaku, saya menyampaikan haditsku kepada anda, dan kepada Ayub. Kemudian beliau menyampaikan kepada kami. Ketika melewati hadits Yahya bin Jazzar bahwa Ibnu Mas’ud shalat dan di perutnya ada kotoran dan darah. Maka beliau mengatakan, beliau mengingkari (hadits) ini.
Oleh karena itu setelah meriwayatkan Ibnu Abi Syaibah atsar Ibnu Mas’ud. Beliau mengomentari seraya mengatakan, “Kami diberitahu oleh Husyaim berkata, kami diberitahu Yunus, dari Ibnu Sirin. Bahwa beliau masih menahan hadits ini dan tidak menarik bagi beliau.” Selesai dari ‘Mushonaf Ibnu Abi Syaibah, (1/344).
Sisi kedua: kalau sekiranya itu shoheh, memungkinkan bahwa darah yang mengenai beliau adalah darah sedikit. Sementara darah sedikit itu masih dimaafkan sebagaimana yang telah diketahui.
Sisi ketiga: bahwa para ulama memahami atsar ini bahwa Ibnu Mas’ud berpendapat kesucian pakaian. Meskipun bukan wajib –akan tetapi bukan syarat sahnya shalat. Tidak difahami akan kesuciannya darah.
Ibnu Munzir rahimahullah mengatakan, “Sebagian kelompok menggugurkan untuk membasuh najis dari baju. Kami riwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau menyembelih dan kotoran serta darahnya mengenai bajunya. Maka beliau shalat tanpa membersihkannya. Begitu juga pendapat Ibnu Jubair dan Nakho’i.
Mawardi rahimahullah mengatakan, “Kalau shalat dengan adanya najis, maka shalatnya batal. Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Said bin Jubair dan Ibnu Abi Lailah mengatakan, “Kalau shalat sementara baju dan badannya ada najisnya, maka shalatnya boleh (sah) sedikit ataupun banyak najisnya. Najis apa saja. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau menyembelih hewan sementara bajunya terkena kotoran dan darahnya. Kemudian berdiri dan shalat.” Selesai dari ‘Al-Hawi Al-Kabir, (2/240).
Abu Ja’far At-Tohawi rahimahullah mengatakan, “Mazhab ini, tidak hanya satu yang berpendapat dari kalangan ahli ilmu. Diantaranya Malik dan Tsauri.” Selesai dari ‘Syarkh Musykilatul Atsar, (10/103).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah telah meringkas jawaban dari semua atsar yang ada dari para shahabat dalam bab ini, seraya beliau rahimahullah mengatakan, “Sementara apa yang ada dari sebagian para shahabat yang menunjukkan secara dohirnya tidak wajib membasuh darah dan membersihkan darinya. Hal itu dari dua sisi, salah satunya bahwa itu sedikit dan dimaafkan. Seperti apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa beliau berpendapat dua tetes darah tidak mengapa dalam shalat. Bahwa beliau memasukkan jemarinya di hidungnya dan keluar darah, kemudian digaruk dan berdiri dan shalat. Hal itu disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah di Mushannafnya. Hal serupa apa yang ada dari Ibu Umar bahwa beliau menekan bisul diwajahnya kemudian keluar sedikit darah. Dan digaruk diantara jemarinya kemudian shalat tanp berwudu. Diriwayatkan Ibnu Abi syaibah dengan sanad shoheh. Perkataan (ada sedikit darah) jelas hal itu menunjukkan sesuatu yang sedikit.
Kedua: banyak dan tidak mungkin dihindarinya. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Malik di Muwatho bahwa Umar bin Khottob radhiallahu anhu ketika ditusuk. Beliau tetap shalat sementara lukanya mengucurkan darah. Hal ini tidak mungkin dihindarinya. Dimana kalau dibersihkan akan tetap keluar. Dan tidak bermanfaat sedikitpun. Begitu juga bajunya meskipun diganti dengan baju lainnya –kalau sekiranya dia mempunyai baju lain- dimana baju lain tadi tetap terkena kotoran tidak bermanfaat sedikitpun meskipun telah digantinya. Kalau yang ada dari para shahabat itu tidak keluar dari dua sisi ini, maka tidak mungkin menetapkan kesucian darah seperti itu.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, (11/266).
Begitu juga Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah mengatakan, “Sementara atsar para shahabat tidak menunjukkan kesucian darah. Melainkan hal itu menunjukkan sedikit dan dimaafkan. Dan tidak membatalkan wudu. Sementara shalatnya Umar dan lainnya disertai darah yang mengalir, hal itu karena terpaksa (dhorurat). Dan tidak mampu untuk menahannya. Seperti orang yang terkena beser dan semisalnya dimana tetap ada hadats. “ selesai dari Syarkh Zarkasyi ‘Ala Mukhtasor Khiroqi, (2/41).
Keempat:
Dikecualikan dari yang disebutkan tadi adalah darah orang mati syahid. Apa yang menggenai orang syahid dari darah yang mengalir, dikecualikan dari keumuman darah mengalir. Berdasarkan nash-nash yang ada membiarkan darah di atasnya dan tidak dibersihkannya. Maka darah orang syahid selagi tetap ada, maka itu termasuk suci. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasa’I, (1975) dari Abdullah bin Tsa’labah radhiammahunhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang terbunuh di Uhud:
زَمِّلُوهُمْ بِدِمَائِهِمْ ، فَإِنَّهُ لَيْسَ كَلْمٌ يُكْلَمُ فِي اللَّهِ إِلَّا أَتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ جُرْحُهُ يَدْمَى ، لَوْنُهُ لَوْنُ دَمٍ ، وَرِيحُهُ رِيحُ الْمِسْكِ
“Selimutkan mereka dengan darahnya, karena tidak ada luka yang mengucur dijalan Allah kecuali pada hari kiamat akan datang dimana lukanya keluar darah, warnanya warna darah sementara baunya seperti minyak wangi.”
Kalau sekiranya darahnya orang syahid itu najis, pasti diperintahkan untuk membersihkan dari badannya. Ketika beliau memerintahkan untuk menguburkan dengan darahnya, hal itu menunjukkan kesuciannya. Kalau daranya berpisah dari orang syahid, maka daranya itu najis.” Selesai dari ‘Mausu’ah Fiqhiyah, (40/89).
Pendapat akan kesucian darah orang syahid itu pendapat Mazhab Hanafiyah dan Hanabilah.” Silahkan melihat ‘Bahru Roiq’ (1/241). dan ‘Kasyaful Qana’, (1/219) serta ‘Syarkh Umdah, karangan Ibnu Taimiyah, (1/109).
Syekh Sa’di rahimahullah berkata, “Seluruh darah itu najis kecuali darah yanag tidak ada senyawa mengalir, dan apa yang tersisa setelah disembelih di nadi dan daging itu adalah suci. Melainkan darah orang syahid secara khusus. Selesai dari ‘Irsyad Ulil Basoir Wal albab, hal. 20.
Wallahu a’lam
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam