Unduh
0 / 0

Sudah Hamil Pada Masa Pertunangan dan Melangsungkan Akad Nikah Pada Saat Hamil

Pertanyaan: 217688

Saya akan langsung masuk pada pembahasan dan tidak perlu basa basi, saya telah dipinang oleh seorang laki-laki kemudian kami sampai berhubungan di luar nikah, saya pun akhirnya hamil pada masa pertunangan kami, setelah diketahui kami langsung melaksanakan akad nikah, empat tahun kemudian saya bersama dengan suami saya pergi ke negaranya untuk menyempurnakan akad nikah baru untuk keperluan menerbitkan paspor sesuai dengan kebangsaan suami, setelah itu kami mendengar melalui televisi pada tayangan agama bahwa akad nikah pada saat hamil adalah batil.

Pertanyaannya adalah:

Kalau memang batil, apakah akad nikah yang kami lakukan setelah empat tahun kemudian tersebut sudah sah meskipun tidak ada niat untuk menghalalkan pernikahan kami, karena niat akad tersebut untuk melengkapi persyaratan mendapatkan paspor (akad nikah yang dilakukan secara resmi, dihadiri para saksi dan legal sesuai dengan hukum yang berlaku pada negara tersebut) ?, atau sampai sekarang kami tetap dianggap bukan suami istri yang sah ?, perlu diketahui bahwa kami berdua termasuk yang taat beragama, saya setiap hari menangisi dosa yang pernah saya alami, dan meminta ampunan Allah, namun setelah saya mendengar pernyataan di televisi tersebut saya tidak bisa tidur.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Pendapat yang lebih kuat dan
yang telah kami fatwakan dalam website kami adalah tidak sahnya akad seorang
yang berzina dengan wanita yang dizinainya sebelum keduanya sama-sama
bertaubat kepada Allah dan sebelum  memastikan bahwa tidak terjadi kemahilan
dengan cukup menunggu sampai datangnya haid satu kali, masalah ini memang
terjadi perbedaan di antara para ahli fikih, dan yang kami pilih tersebut
adalah madzhab Imam Ahmad –rahimahullah-. Bisa dibaca juga pada jawaban soal
nomor: 85335.

Sebagian ahli fikih yang lain
ada yang berpendapat tetap sah akad nikahnya meskipun dilakukan sebelum
bertaubat,  sebagian mereka juga berpendapat tetap sah akad nikahnya
meskipun dalam kondisi hamil dengan syarat yang menikahinya adalah orang
yang menghamilinya sebagaimana dalam pertanyaan di atas, ini pendapat dari
Hanafiyah dan Syafi’iyah dan telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban soal
nomor: 133140.

Atas dasar inilah, selama
akad nikah sudah dilaksanakan dan pasca akad nikah sudah disetubuhi dan
sudah berlalu beberapa tahun, maka tidak masalah jika anda mengikuti
pendapat yang mengatakan bahwa akad nikah dalam kondisi seperti itu tetap
sah. Para ulama telah menjelaskan bahwa dalam masalah-masalah khilafiyah
jika dalam kondisi darurat boleh mengikuti pendapat yang menyatakan ada
keringanan, sebagaimana yang disebutkan dalam: Fatawa wa Rasail Samahah
Syeikh Muhammad bin Ibrahim –rahimahullah- (2/21): “Masalah-masalah
khilafiyah jika dalam kondisi darurat, maka dibolehkan bagi seorang mufti
boleh mengambil pendapat yang lain dari pendapat para ulama yang mengandung
rukhshah (keringanan)”.

Imam Syathibi –rahimahullah-
berkata dalam al Muqafaqat (5/190):

“Barang siapa yang terjerumus
pada sesuatu yang dilarang yang bisa jadi dampaknya secara hukum akan lebih
berat dari larangan tersebut, maka harus ditinggalkan atau dibolehkan dengan
menanggung kerusakannya secara adil, karena melihat kenyataannya orang yang
melakukannya tersebut secara umum masih berdasarkan dalil, meskipun dalil
itu marjuh (lemah) namun akan menjadi rajih (kuat) untuk melegalkan keadaan
yang telah dialaminya; karena yang demikian itu lebih baik dari pada
menghapuskannya yang justru akan membahayakan pelakunya lebih berat dari
larangannya sendiri, maka perkara tersebut dikembalikan kepada bahwa dalil
yang melarangnya akan lebih kuat sebelum terjadinya perbuatan, dan dalil
yang membolehkan menjadi lebih kuat bagi yang sudah melakukan karena adanya
beberapa qarinah (indikator) yang menguatkan.

Dalam sebuah hadits
disebutkan:

( أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها ، فنكاحها باطل باطل

باطل ) ، ثم قال

: (

فإن دخل بها ، فلها المهر بما استحل منها )

“Wanita mana saja yang
menikah tanpa seizin walinya pernikahannya adalah batil, batil, batil”.
Kemudian beliau bersabda: “Dan jika pihak laki-lakinya telah mensetubuhinya
maka mahar wajib dibayarkan”.

Hal ini merupakan pembenaran
dari sesuatu yang dilarang dilihat dari satu sisi, maka dari itu bab warisan
tetap berlaku dan nasab anak tetap diakui sebagai anak dari laki-lakinya
tersebut. Perbuatan mereka melaksanakan pernikahan yang tidak sah (karena
tanpa restu dari walinya) namun secara umum ada beberapa hukum yang
dibenarkan, termasuk haramnya keberlangsungan perbesanan atau yang lainnya,
maka semua itu menjadi bukti bahwa secara umum hukumnya sah,kalau tidak demikian maka tentu dihukumi dengan zina, dan telah
disepakati bahwa yang seperti itu tidak termasuk zina, pernikahan yang masih
mengandung perbedaan pendapat terkadang masih bisa ditolerir maka dengan itu
tidak sampai harus berpisah jika sudah terlanjur dilakukan dan sudah berjima’
dengannya dengan memperhatikan semua konsekuensi setelah terjadinya jima’
dalam beberapa hal masih dianggap benar”.

Maka akan dibedakan antara
pertanyaan yang ditanyakan setelah terjadinya jima’ atau sebelumnya, jadi
selama jima’ telah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu, dan banyak juga
para ulama yang menganggap akad nikahnya sah dan tidak ada nash yang qath’i
dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang menyatakan tidak sahnya
akad tersebut, maka fatwanya tetap dihukumi sebagai pernikahan yang sah, dan
tidak perlu berpisah dengan istrinya lalu mengadakan akad nikah baru.

Kedua:

Jumhur ulama berpendapat
bahwa anak hasil dari zina tidak dinisbahkan kepada laki-laki yang
menzinainya.

Namun sebagian mereka
berpendapat jika pihak wanita dizinainya belum menjadi istri orang lain,
lalu dia hamil karena zina, maka anak yang dilahirkan karena zina tetap
dinisbahkan kepada laki-laki yang menzinainya, inilah pendapat yang dipilih
oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-, beliau berkata:

“Penisbahan anak dari zina
kepada laki-laki yang berzina dengan ibunya, jika wanita tersebut belum
menjadi istri orang lain maka ada dua pendapat. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda:

( الولد للفراش , وللعاهر الحَجَر )

“Sang anak dinisbatkan kepada
ayah yang sah sebagi suami ibunya, sedangkan pelaku zina dijauhi.”

Dalam hadits di atas
Rasulullah menjadikan anak dari zina berbeda dengan pezinanya, artinya jika
wanitanya belum menjadi firasy (istri orang lain) maka hadits tersebut tidak
berlaku kepadanya. Umar –radhiyallahu ‘anhu- menisbahkan anak-anak yang
dilahirkan pada masa jahiliyah kepada bapak mereka”. (Al Fatawa al Kubro:
3/178)

Bisa dibaca juga pada jawaban
soal nomor: 33591

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android