Unduh
0 / 0

Kapan Seseorang Ditetapkan Telah Wafat?

Pertanyaan: 230086

Apakah patokan wafatnya seseorang adalah wafatnya otak atau jantung?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Otak terdiri dari tiga bagian,
yaitu;

Otak; dia adalah pusat
berpikir, ingatan dan perasaan.

Otak kecil: Tugasnya adalah
menjaga keseimbagan tubuh.

Akar otak: Dia adalah pusat
dasar untuk bernafas dan mengontrol jantung dan aliran darah.

Jika otak besar atau otak
kecil yang merupakan bagian dari otak telah mati, maka masih mungkin bagi
seseorang untuk hidup dengan kehidupan yang tidak normal, disebutkan sebagai
kehidupan flora.

Adapun jika yang mati adalah
pangkal otak, maka inilah yang disebut sebagai akhir kehidupan menurut medis.
Karena, jika ada anggota atau fungsi utama lainnya, seperti jantung, organ
pernafasan berhenti sementara, masih dapat dilakukan pertolongan dan
sejumlah pasien dapat terselamatkan, selama pangkal otaknya masih hidup.

Adapun jika pangkal otaknya
telah mati, maka tidak ada harapan untuk menyelamatkannya, berarti sang
pasien telah tamat kehidupannya, walaupun di dalam mesin masih tersisa gerak
atau fungsinya.

(Lihat Majma’ Al-Fiqhul
Islamy, 2/2/hal. 440)

Berdasarkan hal tersebut,
muncul beberapa masalah fiqih, di antaranya; Apakah seseorang ditetapkan
telah mati apabila dia telah mati otaknya atau apakah juga harus mati
jantungnya?

Bolehkan mencopot alat-alat
bantu pernafasan kepada orang yang telah mati otaknya walaupun jantungnya
masih bekerja?

Adapun mencabut alat bantu
pernafasan dari orang yang secara klinik telah ditetapkan mati otakanya,
maka mayoritas ulama fiqih masa kini berpendapat hal itu dibolehkan, karena
tidak ada keharusan melanjutkan pemasangan alat tersebut jika tidak ada
harapa lagi kesembuhannya. Hal ini telah diputuskan oleh berbagai lembaga
fiqih.

Lihat jawaban soal no.
115104.  

Kedua:

Adapun menghukumi kematiannya
berdasarkan syariat, maka para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang
kematian pangkal otak, apakah hal ini dianggap sebagai akhir kehidupan
seseorang? Ada dua pendapat;

Pendapat pertama; Menganggap
matinya pangkal otak seseorang sebelum kematian jantungnya, dianggap sebagai
kematian hakiki, tidak diharuskan jantung berhenti berdetak sehingga
seseorang dihukumi telah mati.

Ini merupakan keputusan
Lembaga Fikih Islam yang bernaung dibawah Organisasi Konferensi Islam pada
pertemuannya yang dilaksanakan di Amman, tahun 1986.

(Lihat Majalah Majma Al-Fiqhul
Islamy, 3/2/809)

Disebutkan dalam surat
keputusannya, “Secara syar’i seseorang dianggap telah mati, dan ketika itu
berlaku semua hukum terkait orang yang telah mati secara syar’i, jika telah
jelas padanya dua tanda berikut ini;

1-Jika jantung
dan pernafasan telah berhenti total dan tim medis telah menetapkan bahwa
berhentinya ini tidak akan dapat kembali lagi.

2-Jika seluruh
fungsi otaknya telah berhenti secara total. Dan para medis telah memutuskan
bahwa hal itu tidak akan kembali lagi dan otaknya sudah lumpuh.

 (Qororot wa Taushiyat Majma
Al-Fiqhul Islamy, hal. 12)

Mereka berdalil tentang
pendapat tersebut bahwa bayi yang dilahirkan, apabila dia tidak bersuara
maka dia tidak dianggap hidup, walaupun dia beranfas, atau kencing atau
bergerak, karena perbuatan yang terjadi tanpa disadari atau bukan sebagai
respon dari fungsi otak maka dia tidak dianggap sebagai tanda kehidupan. Hal
ini terjadi pada mereka yang mati fungsi otaknya, maka dianggap seperti bayi
yang dilahirkan tak bersuara.

Pendapat ini dikritik; bahwa
masalah bayi yang dilahirkan berbeda kasusnya. Karena bayi yang baru
dilahirkan masih diragukan kehidupannya, berbeda dengan kita, karena asalnya
sang pasien adalah hidup, maka dia tidak pindah dari asalnya tersebut
kecuali dengan yakin.

Pendapat kedua: Matinya otak
tanpa matinya jantung tidak dianggap kematian. Tapi jantung harus berhenti
berdetak agar dapat diputuskan kematian seseorang.

Inilah yang ditetapkan oleh
Al-Majma Al-Fiqhi yang berada di bawah naungan Rabithah Alam Islamy pada
pertemuannya yang kesepuluh yang diadakan di Mekah 1408 H.

Dalam surat keputusannya
disebutkan, “Pasien yang pada tubuhnya telah dipasang peralatan bantu, boleh
dilepas jika seluruh fungsi otaknya telah lumpuh sama sekali yang  telah
diputuskan oleh  oleh ti medis dari tiga dokter spesialis bahwa kelumpuhan
ini tidak dapat pulih kembali, walaupun jantung dan pernafasan masih bekerja
secara otomatis karena pengaruh alat bantu tadi.

Akan tetapi, orang tersebut
tidak dapat diputuskan telah mati secara syar’i kecual jika pernafasan dan
jantungnya telah berhenti secara total setelah alat-alat bantu tadi diangkat.

(Qororot Al-Majma Al-Fiqhi
Al-Islamy, Rabithah, hal. 49)

Mereka berdalil dengan kisah
Ashabul Kahfi dan firman Allah Taala,

Pemahaman dalilnya adalah
firman Allah Taala

(بعثناهم)
maknanya adalah: Kami bangunkan mereka. Ayat-ayat ini merupakan dalil yang
jelas bahwa sekedar merasakan saja tidak menjadi dalil yang cukup untuk
menghukumi seseorang telah mati, sebagaimana ditunjukkan pada ayat tersebut.

Karena ‘Perkara yakin tidak
hilang dengan keraguan’ dan keyakinan dalam kondisi yang diperselisihkan ini
adalah; bahwa sang pasien itu asalnya hidup dan bahwa jantungnya masih
berdetak, sedangkan kematiannya masih meragukan, karena otaknya telah mati,
maka kita wajib bersandar pada yang yakin. 

Asalnya, seorang pasien
adalah hidup, maka dia tetap dalam asalnya hingga telah dipastikan berakhir
kehidupannya.

Hakekat kematian menurut para
ahli fiqih adalah berpisahnya ruh dari badan. Dan hakekat berpisah adalah
terlepasnya seluruh anggota badan dari ruh, dalam arti sudah tidak tersisa
sama sekali sisa-sisa kehidupan dalam organ tubuhnya.

Syekh Bakar Abu Zaid berkata,
“Sebagaimana tidak dibenarkan diumumkannya kematian seseorang sekedar
berhentinya detak jantung, karena masih adanya keraguan, demikian pula tidak
dibenarkan mengumumkan kematian dengan kematian otak dan berhentinya detak
jantung sementara nafas masih tersisa melalui alat-alat bantu.”

Sebagaimana berhentinya
jantung belum dikatakan kematian hakiki, akan tetapi merupakan tanda
kematian, karena mungkin sekali jantung berhenti berdetak namun seseorang
kembali hidup lagi melalui alat-alat bantu atau tanpa usaha dan sebab.

Begitu juga, dengan kematian
otak, dia merupakan salah satu tanda kematian, tapi bukan kematian
seluruhnya, dalil dalil ada beberapa kejadian yang diakui para ahli medis,
orang yang telah mati otaknya kemudian hidup lagi. Maka perkara ini kembali
seperti yang telah ditetapkan para ulama dan ahli fiqih, bahwa kematian
hakiki adalah berpisahnya ruh dari jasad.

Ketika itu, ada ungkapan Al-Ghazali
yang penting untuk mengetahui  masalah ini, dia berkata, “Berpisahnya
anggota badan dari ruh”, maksudnya, hingga tidak tersisa lagi bagian dari
tubuh manusia yang masih tersambung dengan ruh. Wallahu ta’ala a’lam.” (Fiqhun-Nawazil,
1/232) 

Yang lebih dekat dengan
kebenaran, wallahu a’lam, “Tidak kita hukumi seseorang telah mati kecuali
jika kita yakin tentang hal itu, yaitu dengan berhentinya jantung dan
pernafasan secara total. Meskipun berhentinya otak pasien merupakan tanda
yang kuat bagi kematiannya, akan tetapi menghukumi kematiannya berdampak
perkara-perkara syar’i, seperti pembagian waris, menikahnya sang isteri jika
dia berminat dan sebagainya. Karena itu, tidak boleh menghukumi kematiannya
kecuali jika telah yakin.

Maka, tidak boleh dihukumi
mati kecuali sekedar berhentinya nafas, begitu juga berhentinya detak
jantung atau matinya pangkal otak sementara tanda-tanda zahir dan batin yang
menunjukkan kehidupan masih ada.

Jika kematian adalah
berpisahnya ruh dari tubuh, maka perpisahan ini tidak dapat ditangkap secara
indra, karena ruh tidak dapat ditangkap oleh indra. Akan tetapi berpisahnya
ruh dari tubuh memiliki tanda-tanda yang telah ditunjukkan para ahli fikih
atas kematian yang tampak pada seseorang, di antaranya; Berhentinya kerja
jantung, terputusnya nafas, lemasnya persendian dan urat dan tubuh tak
bergerak dan tenang, warna tubuh berubah, mata terbelalak, mata tidak
berkedip ketika disentuh, pelipis menjadi cekung, hidung menyamping, kedua
bibir menganga, kulit muka kendor. Itulah tanda-tanda yang tidak tampak pada
pasien yang mengalami gagal fungsi otak  yang secara singkat dinamakan
sebagai ‘kematian klinis’.

Pada tubuh mereka masih
mengalir unsur kehidupan, karena sebagian organ masih bekerja seperti
jantung, kedua ginjal, dan selainnya.

Pendapat ini dipilih oleh
mayoritas ahli fikih dan peneliti masa kini, di antaranya adalah Syekh Bakar
Abu Zaid, Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah, Syekh Muhamad Mukhtar
Syinqithi dalam makalahnya, ‘Ahkam Al-Jirahah Ath-Thibiyah’

Lihat: Fiqh An-Nawazil, Syekh
Bakar Abu Zaid (1/232), Ahkam Al-Jirahah Ath-Thibiyah, Syekh Muhamad Mukhtar
Asy-Syinqithy, hal. 325, Majalah Al-Majma Al-Fiqhul Al-Islamy, Munazamah
Muktamar Islamy, edisi 3, Juz 2, hal. 545. 

Berdasarkan hal tersebut:

1-Tidak
dibenarkan menjadikan diagnose ini (kematian klinis) sebagai alasan untuk
menetapkan kematian secara syar’i.

2-Sebagaiman
tidak dibenarkan mengambil salah satu bagian tubuhnya yang masih hidup, bagi
mereka yang berpendapat boleh mengambil organ tubuh orang yang telah mati,
bukan yang masih hidup.

Sebagai tambahan, silakan
lihat Al-Mausu’ah Ath-Tibbiyah Al-Fiqhiyah Wan-Nawazil Al-Mu’ashirah,
2/36-61, karangan DR. Muhamad bin Abduljawad Annatsyah.

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android
at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android