Apa yang menjadi tanggungan kita, jika pemerintah salah menentukan awal dan akhir Ramadan. Terdapat ketetapan bahwa kita kurang sehari di bulan Ramadan. Apakah kita harus mengqadha atau apa?
Jika Terjadi Kesalahan Dalam Melihat (Bulan Sabit) Dan Terdapat Ketetapan Bahwa Kita Telah Berbuka Sehari Di Bulan Ramadan, Apakah Kita Wajib Mengqadha?
Pertanyaan: 246642
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Kalau Terdapat ketetapan dengan cara syar’i bahwa umat Islam salah dalam menentukan awal atau akhir bulan Ramadan, maka mereka seharusnya bersegera mengganti kesalahan ini dan mengqadha hari yang mereka berbuka di bulan Ramadan.
Kekeliruan dalam penetapan hal ini dapat ditentukan dengan beberapa cara syar’i, di antaranya:
Pertama: Menyempurnakan Sya’ban tiga puluh hari, kemudian ada salah seorang yang terpercaya bersaksi bahwa dia telah melihat hilal (bulan sabit) malam tiga puluh Sya’ban dan Hakim menerima kesaksiannya.
Kedua: Jika saat mereka berpuasa Ramadan pada hari kedua puluh delapan kemudian mereka melihat hilal (bulan sabit) Syawal. Jika Terdapat ketetapan itu, maka mereka harus mengqadha satu hari sabagai pengganti hari yang keliru (di awal Ramadan).
Syekh Ibnu Baz rahimahullah megatakan, “Terdapat ketetapan dalam hadits shahih yang banyak dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bahwa bulan (hijriah) tidak berkurang dari dua puluh sembilan hari. Jika terdapat ketetapan masuknya bulan Syawal dengan dalil syar’i saat umat Islam baru berpuasa dua puluh delapan hari, maka berarti mereka telah berbuka pada hari pertama Ramadan. Maka dia harus mengqadhanya. Karena tidak mungkin bulan itu dua puluh delapan hari. Karena sesungguhnya bulan itu dua puluh sembilan atau tiga puluh hari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menyebutkan dalam juz 25 dari Fatawanya hal. 154-155; Hal ini pernah terjadi pada masa Ali Radhiallahu anhu, mereka berpuasa dua puluh delapan hari. Maka Ali memerintahkan untuk berpuasa sehari yang kurang dan menyempurnakan bulan dua puluh sembilan hari.” (Majmu Fatawa Syekh Ibnu Baz, 15/158).
Hal ini pernah terjadi di negara dua tanah haram (Arab Saudi) pada tahun 1404 H, maka Lajnah Daimah Lil Ifta’ mengeluarkan fatwa kewajiban mengqadha sehari pengganti hari yang mereka berbuka di awal Ramadan.
Terdapat dalam ‘Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta, (10/122), “Tidak terdapat ketetapan secara syar’i tentang rukyatul hilal (bulan sabit) Ramadan pada tahun 1404 H bagi pihak berwenang Kerajaan Saudi Arabia pada malam Kamis. Maka mereka dikeluarkan perintah untuk menyempurnakan Sya’ban tiga puluh hari mengamalkan hadits shahih akan hal itu dan mereka mengumumkan bahwa permulaan puasa bulan Ramadan tahun ini jatuh pada hari Kamis. Kemudian mereka melakukan rukyatul hilal Syawal tahun 1404 H, maka rukyatul dapat dilakukan pada malam Jumat. Sehingga mereka mengumumkan bahwa Idul Fitri tahun 1404 H hari Jumat. Sehingga puasa mereka dua puluh delapan hari. Padahal bulan hijriyah tidak mungkin dua puluh delapan hari, akan tetapi kadang duapuluh sembilan, terkadang tiga puluh hari, sebagaimana hal itu ditetapkan dalam hadits shahih. Dari sini jelas bahwa terdapat kekeliruan berupa keterlambatan menentukan permulaan puasa Ramadan, maka mereka memerintahkan untuk mengqadha sehari sebagai pengganti hari yang mereka berbuka di awal bulan. Untuk melepaskan tanggungan dan menunaikan kewajiban.”
Lajnah Daimah Lil Bukhhuts Ilmiyah Wal Ifta’
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Abdullah bin Qoud, Syekh Abdullah Godyan, Syekh Abdurrozzaq Afifi.
Adapun jika kekeliruan tidak ditetapkan secara syar’i, akan tetapi karena perhitungan falak atau karena persangkaan sebagian orang, maka hal ini tidak perlu diperhatikan dan tidak dibangun hukum syariah di atasnya.
Wallahu a’lam .
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam