Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Cerai seorang lelaki kepada istrinya di masa suci yang sudah digauli adalah termasuk perceraian bid’ah diharamkan. Yang sesuai sunah adalah menceraikan dengan satu kali perceraian dalam kondisi suci tidak digaulinya. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
(سورة الطلاق: 1)
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (QS. At-Thalaq: 1)
Al-Khotib As-Syarbani rahimahullah dalam tafsirnya, (4/310) berkata, “Maksudnya adalah diwaktu yang disyariatkan menghadapi iddah.” Hal ini tidak mungkin kecuali dalam kondisi suci dan belum digauli.
Para ulama fikih berbeda pendapat terkait jatuhnya talaq bid’ah. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat perceraian seperti ini dianggap telah terjadi. Sebagian ulama lainnya mengatakan perceraian seperti ini tidak terjadi. Di antara yang berpendapat akan hal itu adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan diikuti sekelompok ulama.
Terdapat dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, (20/58), “Talak Bid’ah itu banyak macamnya di antaranya seorang suami menceraikan istrinya dalam kondisi haid atau nifas atau waktu suci yang sudah digauli. Yang benar dalam hal ini adalah tidak jatuh talak.”
Dari sini, maka kalau perceraian anda kepada istri anda terjadi pada waktu suci yang telah digaui, maka tidak jatuh cerai.
Kedua:
Para ulama fikih berbeda pendapat terkait dengan talak tiga (dalam satu majelis).
Yang kuat adalah jatuh satu talaq, baik diucapkan dengan satu kalimat seperti ‘Anda ditalak tiga’ atau mengucapkannya dengan kalimat yang berulang-ulang, seperti ucapan, “Engkau dicerai, engkau cerai, engkau cerai.’ Baik diucapkan dalam satu majlis atau di beberapa majlis yang tidak diselingi rujuk (kembali) atau akad. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan dikuatkan oleh Syekh Ibnu Utsaimin rahimahulah.
Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muslim, (1472) dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkata:
كَانَ الطَّلَاقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ طَلَاقُ الثَّلَاثِ وَاحِدَةً فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِنَّ النَّاسَ قَدْ اسْتَعْجَلُوا فِي أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ
“Dahulu perceraian pada masa Rasulullah sallallahu’alaihi wa salla dan Abu Bakar dan dua tahun dari masa khilafah Umar; Talaq tiga jatuh talaq satu. Maka Umar bin Khatab mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang sekarang tergesa-gesa dalam masalah ini, padahal dahulu mereka sangat berhati-hati sekali. Kalau begitu, kita berlakukan saja (ketentuan talak tiga). Maka beliaupun berlakukan hal tersebut.”
Syekh Ibnu utsaimin rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang kuat dalam semua permasalahan ini adalah bahwa tidak ada talak tiga sekaligus selamanya. Kecuali kalau diselingi dengan rujuk (kembali kumpul) atau akad. Kalau tidak, maka tidak jatuh talak tiga. Ini adalah pilihan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan ini pendapat yang paling kuat.” (As-Syarkh Al-mumti’, 13/94).
Maka telah jelas bagi anda bahwa perceraian pada waktu suci yang telah digauli tidak jatuh. Kesimpulannya tidak jatuh perceraian sama sekali pada anda.
Wallahu a’lam