Unduh
0 / 0
832404/05/2002

Derajat Hadits dan Maknanya: من كنت مولاه فعلي مولاه “Siapa Yang Aku Menjadi Orang Yang Dia Cintai, Maka Selayaknya Ali Menjadi Orang Yang Dia Cintai.”

Pertanyaan: 26794

Bagaimanakah status kesahihan dan makna dari hadits:

من كنت مولاه فعلي مولاه

“Siapa yang aku menjadi orang yang dia cintai, maka selayaknya Ali menjadi orang yang dia cintai.”

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Hadits tersebut diriwayatkan
oleh Tirmidzi: 3713 dan Ibnu Majah: 121, dan ada perbedaan pendapat pada
tingkat kesahihannya.

Az Zaila’i berkata di dalam
Takhrij al Hidayah (1/189):

“Berapa banyak hadits yang
banyak para perawi dan jalurnya, namun dia termasuk hadits yang lemah,
seperti hadits:

مَنْ كُنْت
مَوْلَاهُ فِعْلِيٌّ مَوْلاهُ

“Siapa yang aku menjadi orang yang dia cintai, maka
selayaknya Ali menjadi orang yang dia cintai.”

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah
berkata:

“Adapun riwayat yang mengatakan, ‘Siapa yang aku menjadi
orang yang dia cintai, maka selayaknya Ali menjadi orang yang dia cintai,’
tidak disebutkan dalam kitab-kitab shahih. Akan tetapi sebagaimana telah
dikutip oleh para ulama dan masih diperdebatkan kesahihannya, diriwayatkan
dari Imam Bukhari, Ibrahim al Harbi dan beberapa ulama hadits, mereka semua
mempermasalahkan keshahihannya. Adapun tambahannya adalah: “Ya Alloh,
cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya…”
tidak diragukan lagi bahwa yang demikian adalah dusta”. (Minhajus-Sunnah:
7/319).

Az-Zahabi berkata: “Adapun hadits: “Barang siapa yang aku
menjadi penolongnya..” maka hadits tersebut mempunyai banyak jalur yang baik”.
Dan telah dishahihkan oleh Albani dalam Silsilah Shahihah: 1750 dan telah
mendiskusikan mereka yang menganggapnya lemah.

Kebenaran kalimat tersebut -jika
benar- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak serta merta menjadi
dalil untuk menetapkan apa yang ditambahkan dalam hadits tersebut oleh
mereka yang berlaku ghuluw (berlebih-lebihan) hingga sampai kepada
mengutamakan Ali –radhiyallahu anhu- daripada para sahabat lainnya atau
menuduh para sahabat bahwa mereka telah merampas haknya. Syaikhul Islam (Ibnu
Taimiah) telah mengisyaratkan pada beberapa redaksi tambahan tersebut dan
melemahkannya pada sepuluh tempat dalam kitab Minhajus-Sunnah.

Makna dari hadits tersebut
masih ada perbedaan pendapat, bagaimanapun dia tidak boleh bertentangan
dengan yang sudah baku yang sudah dikenal dalam hadits-hadits shahih bahwa
yang paling mulia dalam umat ini adalah Abu Bakar dan dialah yang berhak
untuk memimpin khilafah, kemudian Umar, lalu Utsman, lalu Ali –semoga Alloh
meridhai mereka semua-. Karena penetapan keutamaan tertentu bagi salah satu
sahabat tidak menunjukkan bahwa dialah yang paling mulia di antara mereka,
dan tidak menafikan bahwa Abu Bakar adalah yang lebih mulia di antara mereka,
sebagaimana yang telah disebutkan dalam banyak bab di dalam kitab-kitab
akidah.

Di antara makna yang saya
maksud dari hadits ini adalah:

“Siapa yang aku menjadi
‘wali’nya maka selayaknya Ali menjadi ‘wali’-nya”. ‘Wali’  merupakan lawan
kata dari ‘aduw (musuh). Maksudnya adalah “Barang siapa yang aku dia cintai,
maka selayaknya Ali dia cintai.” Adapun arti yang lainnya: “Barang yang
loyal kepadaku, maka selayakanya dia loyal kepada Ali”. Hal itu telah
disebutkan oleh Al Qaari dari sebagian ulamanya.

Al Jazari berkata di dalam An
Nihayah: “Telah berulang penyebutan kata maula di dalam hadits. Dia adalah
bentuk isim yang mempunyai banyak arti, di antaranya; Tuhan, raja, tuan,
pemberi nikmat, pembebas budak, penolong, yang mencintai, pengikut, tetangga,
anak laki-laki dari paman, sekutu, yang berakad, kerabat  suami/istri, budak,
yang diberi mikmat. Sebagian besarnya telah disebutkan di dalam hadits, maka
hendaknya disandarkan kepada arti yang sesuai dengan tuntutan hadits. Siapa
saja yang mengatur sebuah urusan atau melaksanakannya maka dia menjadi maula
dan walinya. Makna dari hadits tersebut dipahami dengan makna yang banyak
disebutkan. Asy Syafi’i –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Yang dimaksud adalah
wala’ kepada Islam, sebagaimana firman Alloh –Ta’ala-:

ذَلِكَ
بِأَنَّ اللَّهَ مَوْلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ لا مَوْلَى
لَهُمْ

“Yang demikian itu karena
sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena
sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai pelindung”. (QS.
Muhammad: 11)

Ath Thaibiy berkata:

“Tidaklah cocok jika makna
dari “wilayah” difahami dengan kekuasaan (kepemimpinan) yang berarti
mengatur urusan orang-orang yang beriman. Karena yang mempunyai wewenang
penuh untuk mengatur pada waktu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih
hidup adalah beliau sendiri, bukan yang lainnya, Maka maknanya wajib
dipahami sebagai kecintaan, loyaliltas dalam Islam atau semacamnya.” (Tuhfatul
Ahwadzi Syarh Tirmidzi: 3713 dengan sedikit perubahan).

Refrensi

Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android