Unduh
0 / 0
16,69715/07/2017

Kalau Seorang Suami Menghilang Tidak Meninggalkan Bekas, Kepada Siapa Kewajiban Nafkah Istrinya?

Pertanyaan: 268514

Apa yang seharusnya dilakukan seorang istri kalau suami menjauhinya, sementara dia ingin menikah (lagi)? Maksudnya suami menghilang semenjak setahun dan tidak meninggalkan bekas. Tanpa meninggalkan bantuan untuk (kebutuhan istrinya). Apakah keluarga suami yang menanggung kebutuhannya? Yang penting sekarang istri menginginkan menikah lagi (dengan orang lain) akan tetapi bagaimana hal itu mungkin, sementara dia tidak dapat menceraikan dan suaminya menghilang?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Alhmadulillah

Pertama:

Kalau suami hilang maksudnya
hilang kabarnya dan tidak diketahui posisinya. Maka istri merujuk ke hakim
agama dan memutuskan masa waktu tertentu dalam persangkaan kuat meninggal
setelah itu. Sesuai dengan ijtihadnya. Kalau telah lewat masa itu dan tidak
ditemukan, maka dihukumi dengan kematiannya. Seorang istri memulai masa
iddah wafat empat bulan sepuluh hari setelah itu, diperbolehkan untuk
menikah.

Sementara kalau istri
mengetahui posisi suaminya, dan menjauhi sampai waktu ini. Maka hukumnya
adalah seperti hukum ila’. Maka seorang istri atau walinya menghubungi atau
mengadukan masalahnya ke hakim. Sehingga dia dipaksa untuk kembali ke
istrinya. Kalau menolak, maka hakim menceraikan satu ceraian atau memutus
pernikahannya. Silahkan melihat untuk faedah jawaban soal no.
178188

Kedua:

Nafkah istri yang (suaminya)
goib dan hilang, merupakan kewajiban atas harta suaminya disela-sela ketidak
beradaannya. Dan semasa waktu menunggu yang diputuskan hakim untuk orang
yang hilang. Kalau sekiranya suami ada harta di tangan istrinya. Dia
diperbolehkan mengambil untuk nafkahnya dengan makruf.

Kalau ditangannya tidak ada
hartanya atau suami tidak mempunyai harta, maka diadukan masalahnya ke
hakim. Dalam hal ini ada perbedaan diantara para ulama fikih. Yang lebih
nampak adalah bahwa hakim mengharuskan nafkah dari suaminya kalau ada. Atau
diberi izin dalam mencari hutangan. Sehingga dia berhutang untuk nafkah
dirinya. Kalau telah jelas kematiannya, maka apa yan dinafkahkan setelah
kematiannya termasuk dari warisannya. Karena dia tidak ada nafkah lagi
setelah kematiannya.

Dalam ‘Mausu’ah Fiqhiyah,
(41/50) dikatakan, “Para ulama fikih berbeda pendapat dalam mewajibkan
nafkah kepada suami atau yang semisal dalam hukumnya kalau dia tidak ada
(goib). Malikiyah, Syafiiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa nafkah istri
diwajibkan kepada harta suami yang goib. Baik hartanya ada atau tidak ada.
Baik hal itu atas perintah hakim untuk nafkah kalau istri memintanya atau
selain itu. Sebagaimana yang ada dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam
beliau bersabda kepada Hindu istri Abu Sofyan:

خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف

“Ambil secukupnya untuk anda
dan anak anda secara makruf.”

Hal itu dari perintah Nabi
sallallahu alaihi wa sallam nafkah kepada Abu Sofyan sementara beliau tidak
ada.

Sementara Hanafiyah ada dua
pendapat dalam mewajibkan nafkah kepada suami yang tidak ada (goib).

Pertama : hakim memerintahkan
nafkah kepada suami yang goib untuk istrinya dengan syarat (istri)
memintanya. Karena yang menolak adalah suami. Maka tidak boleh menolak
nafkah untuk istrinya. Dan ini pendapat Abu Hanifah yang pertama dan
pendapat Nakho’I berdasarkan hadits tadi.

Pendapat kedua: tidak
memerintahkan nafkah untuk istrinya meskipun memintanya. Meskipun hakim
mengetahui istri. Karena perintah dari hakim kepada orang goib termasuk
putusan atasnya. telah ada pendapat yang kuat menurut Hanafiyah bahwa
hukuman kepada yang goib (tidak ada orangnya) tidak diperbolehkan kecuali
seteru orannya hadir sementara dia tidak ada. Dan ini pendapat Abu Hanifah
yang lain. Dan ini pendapat Syuraih.

Ini semua kalau suaminya
tidak ada (goib) dan tidak mempunyai harta yang dihadirkan. Kalau dia
mempunyai harta yang dihadirkan, mungkin di tangan istrinya atau di tangan
orang lain. Kalau harta di tangan istrinya, maka itu termasuk nafkah.
Menurut mazhab Hanafiyah bahwa istri diperbolehkan menafkahi untuk dirinya
tanpa perintah hakim. Berdasarkan hadits Hindun istri Abu Sofyan tadi.

Kalau hartanya ada di tangan
orang lain, ia termasuk jenis nafkah. Ulama Hanafiyah berselisih istri
mengambil nafkah dari harta suaminya yang ada di tangan orang lain. Baik
hartanya itu titipan atau hutang dengan perintah hakim ada dua pendapat.

Ibnu Nujaim berkata, “Kalau
sekiranya (suami) aslinya tidak mempunyai harta. Dan hakim meminta kewajiban
nafkah, maka menurut kami, tidak didengarkan bukti. Karena termasuk
memutuskan terhadap orang yang tidak ada (goib). Sementara menurut Zufar,
hakim mendengarkan bukti. Dan tidak diputuskan dengan pernikahan. Dan
diberikan nafkah dari harta suami. Kalau dia tidak mempunyai uang, maka
hakim memerintahkan wanita itu untuk berhutang. Kalau suami datang dan
mengakui pernikahan, maka dia diperintahkan untuk melunasi hutang.” Selesai

Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Kalau istri mengambil nafkah untuk darinya dari harta suami
yang tidak ada (goib), kemudian ternyata diketahui dia telah meninggal dunia
sebelum memberikan nafkah kepadanya, maka dihitung dari nafkah yan diambil
istri dari harta warisannya. Baik dia mengambil nafkah (atas inisiatif)
dirinya sendiri atau atas perintah hakim.

Dan ini pendapat Abu Aliyah,
Muhammad bin Sirin, Syafi’I, Ibnu Mundir dan sepengetahuan saya tidak ada
yang berselisih. Karena dia mengambil nafkah (dari sesuatu) yang tidak ada
hak.

Kalau ada kelebihan darinya,
maka untuk dia (istrinya). Kalau kurang, maka dibebankan kepada istri. Kalau
istrinya masih mempunyai hak mahar atau hutang dari suaminya, maka dihitung
darinya. Kalau istri tidak mempunyai apa-apa dari hal itu, maka
kekurangannya menjadi hutang istri. Wallahu a’lam selesai dari ‘Mugni,
(8/208).

Kesimpulannya, dikembalikan
kepada hakim agama, kalau suaminya hilang atau tidak ada, dan dia (suami)
tidak mempunyai harta di tangan istrinya untuk mewajibkan nafkah untuk
istrinya atau diberi izin untuk berhutang. Dan seorang wanita tidak
dihalalkan menikah kecuali kalau hakim telah menceraikannya. Atau menghukumi
suaminya yang hilang telah meninggal dunia dan diberi waktu iddah wafatnya.

Kalau di negara non Islam
dimana disana tidak ada hakim agama, maka Markaz Islam (Islamic Center)
dapat menjadi pengganti hakim agama. Maka harus disodorkan permasalahan
kepadanya. Sementara mereka akan melihat permasalahannya. Maka keputusan
mereka, seperti keputusan hakikm agama. Kemudian setelah itu tinggal pergi
ke pengadilan negeri agar menghasilkan berkas resminya saja. Bukan untuk
mendapatkan keputusan sebagaimana telah dijelaskan dalam soal no.
194467.

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android