Suamiku menggauli diriku beberapa menit sebelum azan fajar, dia mengira masih ada waktu (sebelum) adzan fajar. Dan tidak hati-hati padahal saya sudah berusaha kuat untuk berhati-hati kemudian azan fajar disela-sela berhubungan, padahal saya berusaha untuk menahan dari jima’. Kemudian dia sempurnakan jima’ sendirian seperti dengan onani, dia menyangka bahwa hal itu diperbolehkan dengan menyempurnakan jima’nya ketika sudah dimulainya. Apa hukum bagi dirinya dan untuk diriku?
Apa Beban Yang Ditanggungnya Ketika Dia Telah Mendengar Azan Fajar Sementara Dalam Kondisi Menggauli Istrinya Dan Belum Dicabutnya?
Pertanyaan: 274588
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Seharusnya menahan dari makanan, minuman, berhubungan badan dan semua pembatal puasa semenjak terbit fajar shodiq sampai terbenam matahari. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ.
البقرة/ 187
dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” QS. Al-Baqarah: 187
siapa yang betul-batul yakin terbitnya fajar shodiq maka dia harus menahannya. Meskipun di mulutnya ada makanan, maka dia harus mengeluarkannya.
Katika terbit fajar, sementara dia dalam kondisi berhubungan badan dan langsung ditariknya, maka puasanya sah dan dia tidak terkena apapun. Dia tidak diperbolehkan meneruskan jima’ setelah mengetahui terbitnya fajar. Kalau dia meneruskannya, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan dan dia harus mengqodo’nya disertai dengan kaffarah (tebusan dosanya).
Kalau seorang istri dengan sukarela melayaninya, maka dia juga harus melakukan seperti apa yang dibebankan kepada suaminya. Yaitu mengqodo’ disertai dengan kaffarah. Kalau dia tidak mau dan dipaksa melakukan hal itu, maka puasa (istri) sah dan tidak terkena apa-apa.
Silahkan melihat jawaban soal (124290 ) dan (106532 ).
Kedua:
Terbitnya fajar itu ada tanda-tandanya yang dikenal. Seharusnya seorang muazin mencari dengan teliti waktu yang benar. Kebanyakan para muadzin sekarang bertumpu kepada jam dan kalender. Bukan melihat langsung fajar. Dan hal itu tidak memungkinkan ketika dilihat dari kota-kota karena silau dengan cahaya-cahaya.
Sementara adzan yang dilakukan berdasarkan jam dan kalender tidak termasuk melakukan dengan yakin atas terbitnya fajar, karena ada perbedaan yang terkenal di dalamnya terkait ketepatan kalender-kalender ini. Pendapat yang terkenal bukan hanya dari satu ahli ilmu saja, “Bahwa adzan sesuai dengan kalender terjadi sebelum waktunya. Sesuai dengan perbedaan dalam perkiraan kesalahan ini. Sesuai dengan perbedaan aturan kalendernya, hal itu diketahui dari tempatnya.
Dari sini, maka siapa yang makan atau berhubungan badan dia mengira masih ada waktu malam, maka puasanya sah. Karena dia belum yakin terbitnya fajar. Apalagi kalau hal itu jauh dari adzan dengan waktu yang singkat.
Tidak diragukan lagi bahwa selayaknya bagi seorang muslim yang memberi nasehat pada dirinya hendaknya menjaga atas urusan ibadahnya. Jangan seperti seorang penggembala yang menggembala dekat dengan tempat terlarang, khwatir masuk ke dalamnya. Berdasarkan pengamalan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لا يَرِيبُكَ
“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.
Dan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
مَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
“Siapa yang menjaga dari syubhat, maka dia telah terjaga agama dan kehormatannya.
Kandungan akan hal itu, hendaknya dia menahan makan, minum dan berhungan badan serta semua pembatal puasa ketika mendengar adzan. Meskipun dia mengira ada kesalahan dalam kalender. Apalagi dalam puasa wajib. Sesungguhnya memperbaiki ibadah dan menjaganya termasuk suatu urusan yang agung. Perbedaan terkait masalah kalender itu urusan yang sudah dikenal begitu juga urusan anda. apa kebutuhan seorang hamba menjerumuskan diri pada sesuatu yang sempit itu, selayaknya orang berakal menjaga puasanya, dengan menahan diri ketika ada adzan. Menjaga untuk shalatnya. Dengan sedikit mengakhirkan sampai diketahui benar fajar shodiq telah terbit.
Silahkan melihat jawabn soal no. 66202 .
Kesimpulannya:
- Kalau para muadzin di negara anda menyandarkan adzannya dengan melihat fajar bukan kepada jam dan kalender, maka dia harus mencabut ketika mendengar adzan. Kalau dia tidak langsung mencabutnya waktu itu, maka puasanya batal dia harus mengqodo’ dan kaffarah. Meskipun tidak keluar (air maninya)
- Kalau dia telah mencabutnya dari jima’ dan melanjutkan setelahnya dengan mencumbui diselain kemaluannya sampai keluar (mani), maka puasanya batal dan dia harus mengqodo’nya. Karena puasanya batal dengan keluar (mani) dan tidak terkena kaffarah. Karena dia telah menahan dari jima’ dan telah selesai (jima’) dengan mendengar adzan. Silahkan melihat jawab soal no. (71213 ).
- Kalau para muadzin bersandar kepada jam dan kalender, dan dia tetap melanjutkan jima’ dengan istrinya setelah mendengarkan adzah dengan waktu sebentar, dia belum yakin benar fajar telah terbit, maka puasanya sah insyaallah. Dan yang lebih utama hendaknya dia berhati-hati untuk puasanya.
Wallahua’lam
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait