Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Seharusnya orang yang berpuasa menahan dari berhubungan badan di siang Ramadan, kalau dia melakukan hal itu, maka dia diharuskan membayar kafarat mughalazah (tebusan yang besar) baik berhubungan badan lewat depan (kemaluan) atau belakang (dubur), lelaki maupun perempuan.
Kalau hal itu di dubur seorang lelaki, maka itu homoseksual. Ia termasuk dosa besar diantara dosa-dosa besar lainnya. Kedua pelakunya telah melakukan dua dosa besar sekaligus; homoseksual dan berbuka secara sengaja di siang Ramadan.
Seharusnya dia bertaubat kepada Allah Ta’ala, dan mengeluarkan kafarat serta mengqadha untuk hari itu. Kalau dia terlambat mengqadha untuk hari itu, maka selain qadha ditambah dengan memberi makanan kepada orang miskin 1,5 Kg beras dan semisalnya.
Dalam kitab Al-Iqna’, (1/312) dikatakan, “Ketika berhubungan di siang Ramadan, dengan kemaluan asli, di tempat kemaluan yang asli, baik di depan atau belakang, dari kalangan bani Adam maupun lainnya. Baik hidup maupun mati, baik keluar (mani) ataupun tidak, maka dia harus mengqadha dan membayar kafarat.”
Kedua:
Diharuskan kafarat kedua pelakunya, subyek maupun obyeknya.
Ketiga:
Ketidaktahuan akan kafarat itu tidak menggugurkannya. Kaidah dalam hal ini adalah bahwa siapa yang mengetahui keharaman suatu perbuatan dan tidak tahu hukumnya, maka hal itu bukan merupakan uzur. Sebagaimana seorang shahabat yang berhubungan badan dengan istrinya di bulan Ramadan, dia harus membayar kafarat. Hal itu bukan sebagai uzur untuk menggugurkannya.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kalau ada yang mengatakan, “Seorang lelaki yang mendatangi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bukankah dia tidak tahu (hukumannya)?
Maka jawabannya adalah dia tidak tahu akan kewajiban yang seharusnya dia lakukan. Bukan ketidak tahuan hal itu haram, oleh karena itu dia mengatakan, “Celaka diriku!!.
Kita ketika mengatakan bahwa ketidaktahuan adalah suatu uzur (alasan), maksud kami bukan ketidaktahuan terhadap dampak dari perbuatan haram itu, akan tetapi maksud kami adalah ketidaktahuan dari perbuatan ini, apakah ia haram atau bukan haram.
Oleh karena itu, kalau ada seseorang berzina dan tidak tahu kalau itu diharamkan, karena dia hidup bukan di negara Islam dan dia baru masuk Islam atau dia hidup di pedesaan yang jauh tidak mengetahui bahwa zina itu haram, kemudian dia berzina, maka dia tidak terkena hukuman. Akan tetapi kalau dia mengetahui bahwa berzina itu diharamkan dan tidak tahu hukumannya itu dirajam atau hukumannya dicambuk dan diasingkan, maka dia tetap dihukum karena dia telah melanggar pada sesuatu yang haram. Maka ketidaktahuan akan akibat perbuatan haram itu bukan sebagai uzur, dan ketidaktahuan pada suatu perbuatan itu apakah haram atau tidak haram ini yang menjadi uzur.” (As-Syarhul Mumti’, 6/417)
Keempat:
Kafarat diwajibkan dengan syarat masuknya kepala penis ke dalam vagina. Kata ‘Al-hasyafah adalah ujung kepala penis dikenal khitan, dinamakan alkammarah. Memasukkan kemaluan ini berdampak terhadap banyak hukum sebagaimana dampak dari berhubungan badan secara sempurna.
Ibnu Qayim rahimahullah mengatakan, “Khitan laki-laki adalah kulit yang melingkar di bawah kepala penis. Efek hukum akan berlaku jika bagian itu (khitan) masuk ke dalam kemaluan (vagina). Dampak dalam hukum ada lebih dari tiga ratus hukum. Sebagian (ulama) telah mengumpulkannya sampai mencapai 392 hukum.” (Kitab Tuhfatul Maudud Biahkamil Maulud, hal. 152)
Kalau tidak terjadi ilaj (memasukkan kemaluan) atau adanya keraguan akan hal itu, maka tidak diwajibkan kafarat. Karena mewajibkan sesuatu tidak dibangun di atas keragu-raguan. Akan tetapi tetap diwajibkan bertaubat dari perbuatan haram itu.
Wallahu a’lam