Ada seseorang yang telah mengumpulkan banyak kekayaan dari melakukan perbuatan keji (zina), akan tetapi sekarang telah bertaubat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang, hartanya sekarang dibagi menjadi dua bagian: Satu bagian ada di tiga bank Eropa, berjumlah lebih dari 100.000.000 Dollar. Dan bagian kedua diinvestasikan, untuk membangun gedung 15 apartemen, 3 pertokoan dengan cara disewakan. Semenjak ia bertaubat dia belum pernah menyentuh harta yang dihasilkan dari menyewakan gedung tersebut, semua harta tersebut ditaruh di bank. Sekarang dia hidup dengan harta yang halal yang didapat dari menyewakan sawah orang tuanya, akan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dia juga sedang sakit, membutuhkan biaya operasi, ia menolak untuk dibiayai dengan harta haramnya, dia bertanya apa yang harus diperbuat dengan harta haramnya ?, bagaimana yang seharusnya ia lakukan dari harta hasil sewa yang ada di bank ?, apa yang seharusnya dilakukan dengan hartanya yang ada di bank eropa ?, saya mohon jawabannya dengan rinci; karena dia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, dia juga berfikir untuk mengambi sebagian hartanya yang tersimpan di bank eropa, menginvestasikannya, dan setelah itu uang pokoknya mau disedekahkan, maka apakah hal itu dibolehkan ?, ia juga mempunyai usaha laundry besar yang dibangun dengan harta haram juga, setelah ia bertaubat ia menutup usahanya tersebut dan tidak memanfaatkannya. Bagaimana seharusnya yang ia lakukan dengan laundry dan gedung tersebut demikian juga dengan hasil sewa gedung ?
Bagaimana Caranya Membersihkan Harta Haram Yang Diinvestasikan di Bangunan Fisik dan Apakah Boleh Mengambil Untuk Kebutuhannya ?
Pertanyaan: 288163
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Barang siapa yang mendapatkan harta dari cara yang haram, seperti zina, suap atau upah penyanyi, kemudian ia bertaubat, jika dia sudah membelanjakan hartanya maka tidak ada masalah.
Namun jika harta tersebut masih berada di tangannya, maka ia wajib melepaskannya dengan cara menginfakkannya untuk jalan kebaikan, memberikannya kepada fakir dan miskin.
Kecuali jika dia masih membutuhkannya, maka ia boleh mengambilnya sesuai kebutuhannya dan melepaskan sisanya.
Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Masalah yang kedua: jika seseorang telah melakukan barter (transaksi) dengan orang lain dengan cara yang haram, ia pun telah menerima imbalannya, seperti; pezina, penyanyi, penjual khomr, persaksian palsu, dan lain sebagainya, kemudian bertaubat dan hasil transaksi itu masih berada di tangannya, maka:
Sebagian ulama berkata:
“Dikembalikan kepada pemiliknya, karena hartanya itu diterima tanpa adanya izin dari pembuat syari’at (Allah), tidak juga dengan menerimanya mendatangkan manfaat yang mubah”.
Sebagian lainnya mengatakan:
Akan tetapi taubatnya dengan cara mensedekahkannya, dan tidak membayarkannya kepada orang yang memberinya. Inilah pendapat syeikh Ibnu Taimiyah dan inilah yang lebih tepat dari kedua pendapat di atas.
(Madarikus Salikin: 1/389)
Ibnu Qayyim telah membahasnya dengan panjang lebar tentang masalah ini di dalam Zaadul Ma’ad (5/778) dan beliau menentukan bahwa cara untuk membebaskan diri dari harta tersebut dan sebagai bentuk kesempurnaan taubatnya, hanya dengan cara mensedekahkannya.
Namun jika masih membutuhkannya, maka ia boleh mengambilnya sesuai dengan kebutuhannya dan mensedekahkan sisanya.
Syeikh Islam berkata:
“Jika seorang wanita bertaubat dari perbuatan zina dan seorang laki-laki dari minum khamr, sedangkan mereka dalam kondisi fakir, maka mereka dibolehkan mengambil dari harta tersebut sesuai dengan kebutuhannya.
Jika dia mampu untuk berdagang atau memproduksi sesuatu, seperti; merajut, memintal benang, maka diberikan harta pokoknya saja.
Dan jika mereka mengambil dengan akad hutang untuk dijadikan modal berdagang, maka dengan akad hutang lebih baik”.
(Majmu’ Fatawa: 29/308)
Atas dasar itulah maka:
Maka dibolehkan bagi laki-laki tersebut untuk mengambil dari harta haramnya sesuai dengan kebutuhannya, untuk keperluan operasi atau untuk belanja harian.
Atau mengambil sebagian untuk dijadikan modal usaha sebagai bekal hidupnya. Kemudian mensedekahkan harta pokok yang ia pinjam, kapan saja setelah dia mampu.
Atau sejak awal dia berakad untuk meminjam harta tersebut, dan berniat untuk mengembalikannya jika sudah mampu nantinya.
Tidak masalah jika gedung dan laundrynya dijadikan sebagai harta pokok untuk usaha dengan mengambil sebagian harta yang ia butuhkan dan membebaskan diri dari sisanya.
Kedua:
Tidak boleh menyimpan harta di bank-bank ribawi, kecuali dengan niatan untuk menjaga keamanan dan hanya menyimpannya sebatas pada rekening berjalan bukan untuk simpanan penuh.
Tidak ada kebutuhan dalam hal ini untuk menjaga harta, akan tetapi sebaiknya segera membebaskan diri dari harta haram tersebut dengan cara diberikan kepada fakir miskin, membangun sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit, dan lain sebagainya untuk kemaslahatan kaum muslimin.
Semoga Allah menerima taubatnya dan mengampuninya.
Wallahu A’lam
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam