Saya seorang mahasiswa di kampus, saya ingin bekerja untuk mendapatkan harta yang halal; untuk mencukupi kebutuhan hidupku, dan untuk membantu keluargaku semampuku, dan saya tidak menyangka hambatan yang ada di depanku dalam menempuh jalan bekerja ini kecuali apa yang saya dapatkan dengan merendahkan diri kepada banyak orang, termasuk di antara mereka adalah pemilik pekerjaan (owner). Pertanyaan saya sekarang adalah tidakkah kehinaan kepada selain Allah adalah kemaksiatan kepada-Nya ?, dan apakah hal itu akan menyebabkan haramnya harta yang didapat dari jalan ini ?, dan bagaimana cara menghilangkan kehinaan, kerendahan, dan ketundukan kepada pemilik pekerjaan ini secara khusus dan kepada semua orang pada umumnya ?, tidak masalah jika anda menasehati saya untuk membaca buku dalam masalah ini, karena saya suka membaca.
Hukumnya Melunak Kepada Direktur Pekerjaan
Pertanyaan: 296390
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Hukum asal saat menerima pekerjaan dan bisnis adalah mubah dan boleh, dan tidak ada sedikitpun yang mengandung maksiat, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Aktifitas manusia dari ucapan dan perbuatan ini ada dua macam, yaitu; ibadah yang dengannya agamanya menjadi baik, dan kebiasaan yang mereka butuhkan untuk dunia mereka”.
Maka dengan istiqra’ (menggali) dasar-dasar syari’at: kita mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah atau yang telah Dia cintai tidaklah urusan itu ditetapkan dengannya kecuali dengan syariat.
Dan kebiasaan: hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidak dilarang kecuali apa yang telah diharamkan oleh syari’at, dan kecuali kita telah memasuki makna firman-Nya:
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا
“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." (QS. Yunus: 59)
Dan oleh karenanya Allah telah mencela orang-orang musyrik yang telah membuat syari’at dalam agama apa yang Allah tidak mengizinkannya, dan mereka telah mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh-Nya, dan inilah kaidah besar yang bermanfaat”. (16-18/29) selesai. (Majmu’ Fatawa)
Apa yang telah ia permasalahkan dari perasaan merendah ini; maka hal ini perasaan yang masalahnya masih rancu dengan tempat interaksi yang dilakukan manusia biasanya antar sebagian mereka dengan yang lainnya.
Pertama: Tawadhu’ (rendah hati)
Tawadhu’ kepada umat Islam ini disyari’atkan secara umum, dan syariat telah menganjurkannya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
المائدة /54
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Maidah: 54)
Merendah/merasa hina dan tawadhu’ ini adalah kasih sayang, mudah bergaul, tidak meninggi dan sombong, sebagaimana telah ditafsirkan dalam ayat yang lain, di dalam firman Allah Ta’ala:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
الفتح/29
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”. (QS. Al Fath: 29)
Dan dari Abdullah bin Mas’ud berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ، أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ: عَلَى كُلِّ قَرِيبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ رواه الترمذي (2488) وقال: "هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ"، وصححه الألباني بشواهده في "السلسلة الصحيحة" (2 / 611).
“Tidakkah mau saya kabarkan dengan orang yang diharamkan dari api neraka, atau dengan nereka yang diharamkan kepadanya: yaitu; kepada setiap kerabat yang mudah bergaul”. (HR. Tirmidzi: 2488 dan ia berkata: ini hadits hasan ghorib, dan telah ditashih oleh Albani dengan saksi-saksinya di dalam Silsilah Shahihah: 2/611)
Kedua: Rasa Takut
Takutnya pekerja kepada pemilik pekerjaan akan dipalingkan dari pekerjaannya atau dipotong gajinya, maka hal ini termasuk ketakutan kepada manusia terhadap apa yang Allah telah tetapkan kepadanya biasanya, yaitu; masalah yang tidak diharamkan dan tidak sebagai maksiat, akan tetapi terdapat kekurangan dari peringkat tawakkal kepada Allah Ta’ala.
Ketiga: Malu
Dan malu dalam interaksi dengan manusia termasuk masalah keimanan.
Dari Abdullah bin Umar: “Bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melewati seseorang dari Anshor, dalam kondisi ia sedang menasehati saudaranya tentang malu, lalu beliau bersabda:
دَعْهُ! فَإِنَّ الحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ رواه البخاري (24) ، ومسلم (36
“Biarkanlah ia !, karena sesungguhnya malu itu bagian dari iman”. (HR. Bukhori: 24 dan Muslim: 36)
An Nawawi –rahimahullah- berkata:
“Ucapan beliau: “Beliau menasehati saudaranya dalam hal malu” yaitu; melarangnya darinya, dan dinyatakan buruk perbuatannya, dan menghardiknya karena banyaknya. Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarangnya akan hal itu. Maka beliau berkata: “Tinggalkan, karena sesungguhnya malu itu bagian dari iman”; maksudnya tinggalkan atas prilaku malu, dan berhentilah untuk melarangnya”. Selesai. (Syarah Shahih Muslim: 2/6)
Keempat: Taat
Maka mentaati owner pekerjaan dalam hal apa yang telah disepakati dalam akad kerja, maka menjadi perintah yang wajib.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
المائدة/1.
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”. (QS. Al Maidah: 1)
Dan taat dalam hal untuk kemaslahatan amal, akan tetapi tidak masuk dalam akad, maka jika taat ini dalam hal yang sedikit yang tidak membahayakan si pekerja, maka hukumnya sunnah.
Dari Jabir bin Abdillah –radhiyallahu ‘anhuma- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ، وَإِذَا اشْتَرَى، وَإِذَا اقْتَضَى رواه البخاري (2076).
“Semoga Allah manyayangi seseorang yang toleran jika menjual, dan jika membeli, dan jika menghukumi”. (HR. Bukhori: 2076)
Al Hafidz bin Hajar –rahimahullah- berkata:
“Di dalamnya terdapat anjuran atas toleransi dalam mu’amalah, dan menggunakan tingginya akhlak dan meninggalkan debat”. Selesai. (Fathul Bari: 4/307)
Kesimpulan:
Bahwa seorang muslim jika beeinteraksi dengan pemilik pekerjaan, atau manusia secara umum dengan interaksi ini, maka ia akan selamat dan mendapatkan pahala.
Namun dengan syarat:
Bahwa akhlak ini tidak menyebabkan mendiamkan dan menyetujui hal-hal yang diharamkan, atau membantu atau melakukannya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
المائدة /2.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. Al Maidah: 2)
Hal-hal yang diharamkan bukanlah tempat bagi akhlak tawadhu’, malu dan ketaatan.
Dari Ali –radhiyllallahu ‘anhu- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي المَعْرُوفِ رواه البخاري (7257) ، ومسلم (1840)، ورواه الإمام أحمد في "المسند" (2 / 318) بلفظ: لَا طَاعَةَ لِبَشَرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ .
“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan”. (HR. Bukhori: 7157 dan Muslim: 1840 dan HR. Ahmad di dalam Al Musnad: 2/318 dengan redaksi: “Tidak ada ketaatan kepada manusia dalam bermaksiat kepada Allah”.)
Sebagaimana hanya takut kepada direktur pekerjaan, bukanlah alasan untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.
Akan tetapi yang diwajibkan baginya adalah mengingkari sesuai dengan kemampuan dan kemaslahatan; sebagai pengamalan dari sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ رواه مسلم (49
“Barang siapa di antara kalian telah melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, dan jika ia tidak bisa maka dengan lisannnya, dan jika tidak bisa maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim: 49)
Sebagaimana dikecualikan bahwa tidak perlu dicampur antar interaksi ini dengan bolehnya merendahkan diri, karena bukan termasuk ciri seorang mukmin untuk merendahkan diri.
Ibrahim An Nakho’i berkata:
“Bahwa mereka –generasi salaf- tidak menyukai untuk dihinakan, maka jika mereka mampu maka mereka memaafkan”. (Telah disebutkan oleh Bukhori di dalam Shahih secara ta’liq”. (Fathul Baari: 5/99)
Kesimpulan:
Jika kamu terbiasa melakukan amal yang mubah, dan tidak membantu kemaksiatan dan tidak mengakuinya, dan tidak merendahkan dirimu; maka tidak masalah di dalam pekerjaan anda, dan perasaan yang anda dapatkan bahwa anda merendahkan diri kepada pihak omner pekerjaan, dikhawatirkan akan menjadi was-was (gangguan) dari syetan, yang akan menyandra anda dari apa yang bermanfaat, bahkan caranya adalah dengan memohon pertolongan kepada Allah, dan menerima atas apa yang anda lihat bermanfaat bagi anda dari amal yang mubah.
Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ رواه مسلم ( 2664
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah, dan di dalam setiap kebaikan. Berusahalah dengan apa yang bermanfaat bagi anda, dan memintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah menjadi lemah”. (HR. Muslim: 2664)
Dan jika masalah anda berkaitan dengan malu yang berlebihan, maka kami menasehatkan dengan membaca buku “Fiqhul Haya’” karya Syeikh Muhammad Ismail Al Muqaddam”.
Wallahu A’lam
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam