Ada kelompok yang menamakan dirinya (Quraniyyun) menganggap bahwa dia tidak mengikuti kecuali yang berasal dari Al-Qur’an. apa pendapat anda terkait dengan statemen mereka?
Tentang Kelompok Qur’aniyun Yang Sesat
Pertanyaan: 3440
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Sebagian orang menghembuskan (isu) bahwa sunah bukan sumber syariat. Mereka menamakan dirinya dengan ‘Quraniyyun’. Mereka mengatakan, “Bahwa di depan kita ada Al-Qur’an. Kita menghalalkan yang dihalalkan dan kita mengharamkan apa yang diharamkan. Sementara sunah sebagaimana persangkaan mereka telah dimasuki hadits-hadits palsu terhadap Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Mereka adalah perpanjangan dari suatu kaum yang Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam telah kabarkan. Telah diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, Hakim dengan sanad Shahih dari Miqdam bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
يوشك أن يقعد الرجل متكئاً على أريكته يحدث بحديث من حديثي فيقول بيننا وبينكم كتاب الله ، فما وجدنا فيه من حلال استحللناه ، وما وجدنا فيه من حرام حرمناه ، ألا وإن ما حرم رسول الله مثل ما حرم الله (الفتح الكبير 3/438 ورواه الترمذي باختلاف في اللفظ ، وقال : حسن صحيح . سنن الترمذي بشرح ابن العربي ط الصاوي 10/132)
“Nyaris akan ada orang duduk sambil bersandar ke dipannya menyampaikan suatu hadits dari haditsku, lalu dia berkata, “Antara kami dan kalian adalah Kitabullah. Apa yang kita dapatkan di dalamnya suatu yang halal, maka kita halalkan. Dan apa yang kita dapatkan di dalalmnya sesuatu yang haram, maka kita haramkan. Ketahuilah apa yang diharamkan Rasulullah seperti apa yang diharamkan oleh Allah.” (Fathul Kabir, 3/438. Diriwayatkan Tirmizi dengan perbedaan redaksinya dan mengatakan hasan shahih. Sunan Tirmizi Bisyarkhi Araby cetakan As-Shawi, 10/132).
Mereka bukan Quraniyyun. Karena Al-QUr’an mewajibkan taat kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam sekitar 100 ayat. Dan menjadikan ketaatan kepada Rasulullah termasuk bagian dari ketaatan kepada Allah Azza Wajalla:
من يطع الرسول فقد أطاع الله ومن تولى فما أرسلناك عليهم حفيظاً (سورة النساء: 80)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS: An-Nisaa: 80)
Bahkan Qur’an Karim yang mengajak berpegang teguh dengannya, meniadakan keimanan bagi orang yang menolak taat kepada Rasulullah sallahu alaihi wa sallam dan tidak menerima hukumnya:
فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجاً مما قضيت ويسلموا تسليماً (سورة النساء: 65)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS: An-Nisa: 65)
Ungkapan mereka bahwa Sunah sudah dimasuki hadits palsu itu tertolak. Karena para ulama telah memberikan perhatian yang sangat besar dengan membersihkan sunah dari segala yang masuk (di dalamnya). Mereka membuat patokan bahwa ragu terhadap kejujuran perawi dari periwayatanya atau kemungkinan lupa, sudah tertolak haditsnya. Para musuh umat ini, mereka telah memberikan persaksian, bahawa tidak ada umat yang paling punya perhatian dengan sanad (silsilah perawi) dan penyeleksian berita terutama dalam periwayatan dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam seperti umat ini. Keharusan beramal dengan hadits cukup dengan mengetahui keshahihan dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Dahulu Nabi sallallahu alaihi wa sallam cukup menyampaikan dakwahnya dengan mengirimkan satu orang shahabat, hal itu menunjukkan bahwa berita satu orang terpercaya wajib diamalkan.
Kemudian kita bertanya kepada mereka, mana ayat-ayat yang menunjukan tatacara shalat. Bahwa shalat wajib itu ada lima, pembagian zakat, perincian amalan haji dan selain dari itu. Tidak mungkin mengetahuinya kecuali lewat sunah. (Al-Mausu’ah Fiqhiyah, 1/44).
Sebagai tambahan tentang dalil syariah yang menjadi hujjah Sunnah nabawiyah silahkan lihat soal no. 604.
Refrensi:
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid