Unduh
0 / 0
10,03101/02/2006

Ayahnya Enggan Menikahkan Putrinya Dengan Alasan Agar Menyelesaikan Studinya, Apakah Hak Perwalian seorang Ayah Menjadi Gugur?

Pertanyaan: 36209

Saya seorang gadis berumur 17 tahun, saya masuk Islam setahun yang lalu, ayah saya seorang Muslim dan ibu seorang kristiani, ayah melarang saya mengenakan cadar dan menghalangi saya untuk menikah dengan alasan agar saya melanjutkan studi saya sampai jenjang pasca sarjana. Suatu saat pernah saya kabur dari rumah dan saya tidak kembali ke rumah hingga saya membuat perjanjian dengan ayah saya di hadapan Imam Masjid dan dihadiri oleh dua orang saksi. Perjanjiannya adalah; Saya diperkenankan mengenakan cadar dan menikah dengan orang yang setara dengan saya akan tetapi ayah saya tidak menepati janjinya dan hingga saat ini dia masih tetap melarang saya dari pernikahan. Saya berharap anda mengetahui kondisi ayah saya, sesungguhnya dia mengerjakan shalat kadang-kadang saja dan meninggalkannya di waktu yang lain, dan kadang-kadang dia juga minum khamar. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, “Apakah dengan sikapnya seperti itu akan menggugurkan hak perwaliannya terhadap saya karena saya sudah ingin menikah, dan sudah ada seorang lelaki yang meminang saya?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

..

Pertama :

Kami menyambut gembira dan
kami mengucapkan semoga keIslaman anda diberikan berkah, dan kami memohon
kepada Allah Ta’ala agar senantiasa menambahkan bagi anda keimanan, ilmu dan
ketakwaan.

Kedua :

Menutup wajah bagi kaum
wanita dari para lelaki asing merupakan sebuah kewajiban dalam salah satu
pendapat yang sahih dari dua pendapat ulama, dan kami telah menyebutkan
dalil-dalilnya dalam jawaban soal no. 11774. Maka
seorang ayah tidak dibolehkan melarang putrinya dari mengenakan cadar.

Ketiga :

Apabila seorang ayah
meremehkan perkara shalat dan terkadang minum-minuman keras maka dia
termasuk orang yang fasik, dan perwaliannya dalam pernikahan menjadi topik
perbedaan pendapat antar para ahli fikih. Menurut pendapat madzhab
Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak sah perwalian orang yang fasik, dan menurut
pendapat Ahnaf bahwa sah perwalian orang yang fasik. Hal ini merupakan
pendapat yang populer di kalangan mazhab Malikiyyah meskipun mereka
menganggap makruhnya perwalian seorang yang fasik. (Lihat kitab Nihayatul
Mukhtaj, 6/238, Al Inshaf, 8/73, Hasyiyatu Ibnu Abidin, 3/55, Hasyiyatu Ad
Dasuqi, 2/230 dan Minahul Jalil, 3/289)

Pendapat yang lain tidak
membolehkan perwalian orang yang fasik. Maka dalam hal ini perwalian
berpindah kepada orang-orang lain yang masuk dalam ashabah. Orang yang
paling berhak menjadi wali nikah seorang wanita setelah ayahnya adalah:
kakek (ayah kandung ayah), kemudian anak lelakinya, saudara laki-laki
kandung, lalu saudara lelaki seayah dan semua anak lelaki mereka,
paman-paman (saudara kandung ayah) dan seluruh anak lelaki mereka, kemudian
paman-paman dari ayah baru kemudian penguasa (wali hakim. (Lihat kitab Al
Mughni, 7/346).

Keempat :

Barangsiapa yang enggan
menjadi wali bagi putrinya dengan seorang yang sepadan dan diridhai agama
serta akhlaknya, maka dia termasuk menghalang-halangi pernikahan putrinya.
Pada kondisi semacam ini perwalian seorang ayah berpindah kepada orang-orang
setelahnya. Ibnu Qudamah Rahimahullah mengungkapkan, “Maksud dari kata
menghalang-halangi adalah mencegah pernikahan seorang perempuan dengan orang
yang sepadan dan selaras ketika dia meminta dinikahkan dengannya dan
masing-masing dari keduanya saling menyukai satu sama lain.”

Ma’qil bin Yasar berkata,
“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang lelaki yang
kemudian dia menceraikannya, hingga ketika saudariku telah selesai dari masa
‘iddahnya lelaki tadi datang kembali dan melamarnya, maka aku katakan
kepadanya, ‘Aku telah menikahkanmu, aku telah memberikan tempat tinggal
untukmu dan aku juga telah memuliakanmu akan tetapi engkau malah
menceraikannya kemudian engkau datang kembali untuk melamarnya, Demi Allah
jangan engkau rujuk lagi dengannya selamanya, padahal dia adalah seorang
lelaki yang tidak ada masalah padanya, dan pada saat yang sama saudara
perempuannya pun ingin rujuk dengannya, maka turunlah firman Allah Ta’ala:

فلا تَعْضُلُوهُنَّ

“Dan janganlah kalian
menghalang-halangi mereka (para wanita untuk menikah)”

Maka aku berkata, “Sekarang
saya mentaati perintah wahai Rasulullah,” Beliau bersabda, “Nikahkanlah dia
(Putrimu) dengannya.” (HR. Bukhari)

Apabila si perempuan
menyukainya (lelaki) karena keserasian semata, dan walinya (orang tuanya)
ingin menikahkannya dengan pria lainnya dan menolak menikahkannya dengan
lelaki yang dikehendaki oleh putrinya, maka hal ini masuk dalam kategori
menghalang-halangi keinginan putrinya. Adapun jika dia meminta supaya
dinikahkan dengan lelaki yang tidak sepadan dengannya, maka bagi wali
memiliki wewenang untuk menolaknya, dan hal tersebut tidak termasuk
menghalngi pernikahan. (Dikutip dari kitab Al Mughni. 9/383).

Syekh Muhammad bin Ibrahim
Rahimahullah berkata, “Ketika seorang wanita telah sampai pada usia aqil
baligh lalu ada seorang pria meminangnya yang engkau ridha akan agama,
akhlak dan kemampuannya, dan wali tidak mencelanya terhadap sesuatu yang
bisa menjauhkannya dari  perangai kebaikannya, maka wajib bagi wali untuk
menerima lamarannya dan menikahkannya dengan putrinya. Namun apabila wali
menolak kondisi yang demikian maka hendaklah dia diingatkan akan wajibnya
menjaga kewenangan dalam perwaliannya, dan apabila setelah yang demikian itu
dia tetap bersikukuh dalam penolakannya maka gugurlah perwaliannya dan
beralih kepada kerabatnya yang terhimpun dalam Ashobah.” (Dari Fatawa Syekh
Muhammad bin Ibrahim, rahimahullah, 10/97).

Syekh Ibnu Utsaimin
Rahimahullah berkata, “Apabila seorang wali menolak menikahkan putrinya
dengan orang yang sepadan dan serasi dalam agama dan akhlaknya, maka
perwaliannya beralih kepada orang-orang yang berhak setelahnya dari kalangan
ashobah, dengan mendahulukan yang berhak terlebih dahulu, dan jika mereka
pun enggan menikahkan sebagaimana pada umumnya, maka perwaliannya beralih
kepada hakim syar’i, dalam hal ini wajib bagi hakim syar’i menikahkannya dan
memahami permasalahan yang sampai kepadanya bahwa para wali si wanita enggan
dan menolak menikahkannya lalu tugas dari hakim syar’i ini adalah hendaklah
dia menikahkan wanita tersebut karena sesungguhnya dia memiliki kewenangan
umum selama belum terjadi kewenangan khusus.”

Dan para ahli fikih
Rahimahullah mengungkapkan, “Sesungguhnya seorang wali apabila terus-menerus
menolak seorang peminang yang sepadan maka dengan demikian dia telah menjadi
fasik dan hilang keadilannya serta hak perwaliannya, bahkan yang populer
dalam madzhab Imam Ahmad, wali yang sebagaimana disebutkan akan gugur
kelayakannya sebagai seorang imam, maka dia tidak sah menjadi seorang imam
dalam shalat berjamaah dan ini adalah perkara yang cukup memprihatinkan.”

Dan sebagaimana yang baru
saja telah kami isyaratkan di atas, sebagian orang menolak para peminang
yang mereka rata-rata memiliki kecakapan dan kesepadanan dan datang meminang
kepada orang-orang yang Allah telah menjadikan mereka Wali bagi putri-putri
mereka. Akan tetapi terkadang seorang gadis diliputi perasaan malu untuk
mengajukan diri kepada hakim agar dia menikahkannya, dan perkara ini telah
menjadi fenomena. Hendaknya gadis tersebut membandingkan antara maslahat dan
mafsadatnya, mana antara keduanya yang lebih besar kerugiannya, dia akan
tetap tanpa suami karena memang walinya telah hilang kebijaksanaannya dan
cenderung mengikuti hawa nafsunya, dan apabila dia (si gadis) telah
menginjak usia senja dan tidak ada lagi kemauan untuk menikah barulah
walinya menikahkannya, ataukah dia akan mendatangi seorang hakim dan meminta
kepadanya agar menikahkannya dan menjadi walinya karena yang demikian
merupakan hak syar’i baginya.

Maka tidak ada lagi keraguan
bahwa solusi yang kedualah yang lebih utama, yaitu dengan dia mendatangi
seoarang hakim dan meminta kesediaannya untuk menikahkannya dan menjadi
walinya karena hal tersebut merupakan hak baginya. Karena sesungguhnya
ketika dia mengajukan diri kepada hakim agar menikahkannya hal ini akan
menjadi kemaslahatan bagi dirinya dan juga orang lain. Bisa jadi ada wanita
atau gadis lain yang akan mengikuti langkahnya untuk mendatangi hakim dan
meminta supaya menikahkannya juga, dan juga ketika dia mengajukan diri
kepada hakim dan meminta supaya menikahkannya akan menjadi pukulan yang
dahsyat bagi para wali dzalim yang dengan kedzalimannya mereka telah
mengabaikan hak perwalian yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka
dengan menghalang-halangi mereka dari menikah dengan orang-orang yang
sepadan.

Ringkasnya dalam hal tersebut
terdapat tiga kemaslahatan yaitu :

– Kemaslahatan yang kembali
kepada si wanita sendiri sehingga dia tidak hidup menyendiri tanpa menikah.

– Kemaslahatan yang berimbas
kepada yang lainnya dikalangan kaum wanita di mana dia telah membuka pintu
bagi para wanita yang menunggu-nunggu dalam penantian orang-orang yang mau
meminang mereka karena para wali mereka yang dzalim telah menghalang-halangi
putri-putri  mereka atau mereka kaum wanita yang ada dalam perwalian mereka
untuk menikah, dan hal ini semata-mata karena para wali tersebut mengikuti
nafsu dan kehendak mereka.

– Kemaslahatan yang lain
adalah merupakan realisasi yang aplikatif dari perintah Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam sekiranya beliau bersabda:

إذا أتاكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في
الأرض وفساد كبير

“Apabila datang kepada kalian
orang (peminang) yang kalian telah ridha terhadap agama dan akhlaknya maka
nikahkanlah dia, karena jika tidak kalian lakukan maka akan timbul fitnah di
atas muka bumi dan akan ada kerusakan yang dahsyat.”

Sebagaimana didalamnya pun
ada kemaslahatan lain yaitu memberikan solusi kepada mereka para peminang
yang rata-rata mereka memiliki kematangan dalam agama dan akhlak, diambil
dari. (Fatawa Islamiyyah, 3/148 ). 

Syekh Ibnu Utsaimin juga
mengungkapkan, “Sesungguhnya pernah sampai kepada kami tentang keberanian
seorang gadis ketika orang tuanya menolaknya untuk menikahkannya dengan
lelaki yang sepadan dari sisi agama dan akhlaknya, lalu dia mendatangi
seorang hakim dan menceritakan kondisinya dan hakim tersebut berkata kepada
ayahnya, “Nikahkan dia atau aku yang akan menikahkannya atau orang lain
selain anda yang akan menikahkannya, karena sesungguhnya hal tersebut hak
bagi seorang gadis jika orang tuanya menolak menikahkannya (yaitu hendaknya
dia melapor kepada hakim) dan hal ini merupakan hak yang dibenarkan oleh
syari’at. Maka apabila ada para gadis menghadapi kasus yang sama dengan yang
tersebut diatas hendaklah dia datang kepada kami dan kami akan memediasi
perkaranya, akan tetapi kebanyakan para gadis memendam dan menyimpannya
karena perasaan malu yang mendominasi mereka” (Dikutip dari Al Liqo As
Syahri, bisa dilihat pula jawaban soal no. 10196)

Dan jika ayah anda mencegah
anda menikah dengan orang yang sepadan di mana anda telah ridha dengannya,
maka yang demikian termasuk menghalang-halangi pernikahan, dan perwalian
beralih kepada para ashobah sesuai dengan urut-urutan yang telah kami
uraikan di atas, dan apabila mereka para ashobah juga menolak untuk
menikahkan anda atau memang mereka semua tidak ada, maka perwaliannya
beralih kepada hakim yang syar’i dan apabila di negara tersebut tidak ada
wali hakim syar’i maka yang menggantikan perannya adalah Islamic Center
setempat.

Dan
bagaimanapun kondisinya anda tidak diperkenankan menikah tanpa wali,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,

لا نكاح إلا بوليّ

“Tidak sah pernikahan
melainkan dengan adanya wali.” (HR. Abu Daud, no. 2085, Tirmizi, no. 1101,
dan Ibnu Majah, no. 1881 dari hadits Abu Musa Al ‘Asy’ari dan disahihkan
oleh Al Albani dalam sahih At Tirmizi)

Dan sabda Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam yang lain : 

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ،
فنكاحها باطل

“Siapa saja wanita yang
menikahkan dirinya sendiri dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya
batil, maka pernikahannya batil, maka pernikahannya batil.” (HR. Ahmad, no. 
24417, Abu Daud, no. 2083, Tirmizi, no. 1120, disahihkan oleh Al Albani
dalam Shahihul Jami, no. 2709).

Akhirnya kami memohon kepada
Allah keteguhan dan Taufiq bagi anda, dan petunjuk serta ampunan bagi ayah
anda.

Wallahu A’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android
at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android