Saya mengetahui sebagian dari saudara-saudara yang akan mengadakan kunjungan ke Masjid Nabawi setelah hajian pada tahun ini. Dan kami berharap dari anda nasehat dan petunjuk.
Petunjuk Islam Bagi Para Peziarah Ke Masjid Nabawi
Pertanyaan: 36863
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Wahai para pendatang di kota Rasulullah sallahu’alaihi wa sallam, anda semua telah datang dengan sebaik-baik kedatangan, dan mendapatkan sebaik-baik ghonimah, dan menetap di tempat terbaik, semoga Allah menerima kebaikan amal anada, menyampaikan sebaik-baik keinginan anda. (Kami ucapkan) selamat di kota hijroh dan pertolongan kota (Nabi) pilihan, tempat hijrahnya para shahabat terbaik dan kota para anshor.
Berikut ini petunjuk singkat bagi yang ingin berkunjung ke Masjid Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam:
1.Wahai para pendatang di kota thoibah (Madinah). Sesungguhnya anda semua berada di negeri dan tempat terbaik setelah Mekkah, dan tempat termulya. (maka) kenalilah haknya, dan berikan kehormatan kepadanya, jagalah kesuciannya dan beradablah dengan sebaik-baik adab. Ketahuilah bahwa Allah mengancam bagi orang yang membuat kerusakan dengan siksaan yang paling pedih. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam sesungguhnya beliau bersabda:
( المدينة حرم ، فمن أحدث فيها حدثًا أو آوى محدِثًا فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين ، لا يقبل الله منه يوم القيامة صرفًا ولا عدلاً ) رواه البخاري (1867) ومسلم (1370) واللفظ له .
“Kota Madinah adalah (kota) suci, maka barangsiapa yang di dalamnya berbuat dosa atau menyembunyikan orang yang berbuat dosa. Maka dia akan dilaknat oleh Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak akan meneriman taubat dan fidayah darinya nanti di hari kiamat.HR. Bukhori, 1867. Muslim, 1370 dan redaksi darinya.
Maka barangsiapa yang mendatangkan dosa di dalamnya atau menyembunyikan orang yang datang kepadanya dengan menggabungkan dan membelanya, maka dirinya rentan terkena siksa yang menghinakan dan kemarahan Tuhan seluruh alam. Dan diantara dosa yang terbesar adalah mengotori kejernihannya dengan memunculkan (perbuatan) bid’ah dan hal-hal yang baru (dalam agama). Mengotorinya dengan khurofat dan penyimpangan-penyimpangan. Dan mengotori bumi yang suci dengan menyebarkan artikel-artikel bid’ah, kitab-kitab (yang mengandung) kesyirikan dan apa yang menyalahi syareat Islam dari berbagai bentuk kemunkaran dan haram. Orang yang membuat baru (dalam agama) dan orang yang menampungnya, mereka sama dalam mendapatkan dosa.
2.Ziarah ke masjid Nabawi adalah sunnah dari beberapa sunnah. Bukan bagian dari kewajiban. Dan ia tidak ada hubungan dengan ibadah haji. Bukan juga sebagai pelengkap (haji). Dan semua periwayatan dari hadits-hadits dalam menetapkan hubungan (ziarah masid nabi) atau hubungan ziarah kuburan Nabi sallallahu’alihi wa sallam dengan haji adalah maudhu’ (hadits yang dibuat-buat) dan makdzubat (hadits bohong). Dan barangsiapa yang tujuan rihlah ke Madinah untuk ziarah ke masjid dan shalat di dalamnya, maka niatannya benar, sa’inya disyukuri. Dan barangsiapa yang niatan rihlahnya hanya ziarah ke kuburan dan meminta pertolongan dengan orang yang di dalam kuburan, maka niatannya rusak dan perbuatannya tercela. Dari Abu Hurairoh radhiallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
( لا تُشَدّ الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد : المسجد الحرام ، ومسجدي هذا ، والمسجد الأقصى ) رواه البخاري (1189) ومسلم (1397).
“Tidak diperkenankan bertujuan dalam perjalanan melainkan hanya tiga masjid, masjidil Haram, masjid ini dan masjil Aqsho.” HR. Bukhori, 1189 dan Muslim, 1397.
Dan dari Jabir radhiallahu’anhu dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
( إن خير ما رُكبت إليه الرواحل مسجدي هذا والبيت العتيق ) أخرجه أحمد (3/350) وصححه الألباني في السلسلة الصحيحة (1648)
“Sesungguhnya sebaik-baik tunggangan yang dinaiki untuk suatu perjalanan adalah ke Masjidku ini dan baitul atiq (Masjidi Haram).” HR. Ahmad, 3/350. Dan dishohehkan oleh Al-bany di As-Silsilah As-Shohehah, 1648.
3.(menunaikan) shalat shalat di masjid Madinah akan dilipat gandakan balasannya, baik (shalat) fardu maupun sunnah menurut pendapat yang terkuat para ulama’. (Beliau) sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
( صلاة في مسجدي هذا أفضل من ألف صلاة فيما سواها إلا المسجد الحرام ) رواه البخاري (1190) ومسلم (1394).
“Shalat di masjidku ini, lebih utama seribu kali shalat (dibandingkan) shalat masjid lain melainkan masjidil haram.” HR. Bukhori, 1190. Dan Muslim, 1394. Kecuali shalat sunnah di rumah (itu) lebih baik dibandingkan shalat di Masjid meskipun dilipat gandakan pahalanya. Berdasrakan sabda Rasulullah sallallahu’alihi wa salla:
( فإن أفضل الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة ) رواه البخاري (731) ومسلم (781) .
“Sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat wajib.” HR. Bukhori, 731. Muslim, 781.
4.Wahai para peziarah yang memulyakan masjid nan agung ini. Ketahuilah bahwa tidak diperkenankan mengambil barokah dengan sesuatu bagian dari masjid nabawi. Seperti tiang, dinding, pintu, mihrob (tempat imam) atau mimbar. Dengan mengusap atau menciumnya. Sebagaimana tidak diperkenankan juga mengambil barokah di kamar nabi dengan menyentuh, mencium atau menggosokkannya dengan baju. Tidak diperkenankan juga melakukan thawaf di (kamar nabi). Barangsiapa yang melakukan sedikit dari amalan tadi, maka hendaklah dia bertaubat dan tidak mengulangi (lagi).
5.Dianjurkan bagi peziarah masjid nabawi, untuk menunaikan shalat dua rakaat di Raudhoh yang mulya, atau shalat sunnah apa yang dia kehendakinya. Sebagaimana yang telah ada ketetapan (tentang) keutamaan di dalamnya. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
( ما بين بيتي ومنبري روضة من رياض الجنة، ومنبري على حوضي ) رواه البخاري (1196) ومسلم (1391)
“Diantara rumahku dan mimbarku adalah roudhoh (taman) diantara taman-taman surga. Dan mimbarku ada di dalam telagaku. HR. Bukhori, 1196. Muslim, 1391.
Dari Yazin bin Abu Ubaid berkata: “Saya (pernah) datang bersama Salamah bin Al-Akwa’, kemudian beliau shalat di samping tiang yang ada mushaf yakni di Roudhah yang mulia, maka saya berkata: “Saya melihat anda, sangat memilih shalat di tiang ini!, beliau berkata: “Sesungguhnya saya melihat Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memilih shalat di sisinya.” HR. Bukhori, 502. Muslim, 509.
Menjaga untuk shalat di Raudhah tidak layak dengan menyakiti orang-orang atau mendorong yang lemat atau melewati pundak (orang).
6.Dianjurkan bagi peziarah Madinah dan orang yang tinggal di (Madinah) mendatangi masjid Quba’ untuk shalat di dalamnya. Mencontoh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dalam menggapai pahala umrah. Dari Sahal bin Hanif berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
( من خرج حتى يأتي هذا المسجد ـ يعني : مسجد قباء ـ فيصلي فيه كان كعدل عمرة ) أخرجه أحمد (3/487) ، والنسائي (699) وصححه الألباني في صحيح الترغيب (1180، 1181) .
“Barangsiapa yang keluar sampai mendatangi masjid ini, yakni Masjid Quba’. Dan dia menunaikan shalat di dalamnya, maka (pahalanya) setara dengan umrah.” HR. Ahmad, 3/487. Nasa’i, 699. Dishohehkan oleh Al-Bany di shoheh At-Targhib, 1180, 1181.
Dan dalam (riwayat) Ibnu Majah: “Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya, kemudian mendatangi Masjid Quba’, kemudian dia menunaian shalat di dalamnya. Maka dia akan mendapatkan pahala umrah. HR. Ibnu Majah, 1412.
Dalam shohehain (Bukhori dan Muslim) sesungguhnya kebiasaan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam mendatangi masjid Quba’ setiap hari sabtu dengan berjalan kaki atau naik kendaraan. Kemudian beliau shalat dua rakaat di dalamnya. HR. Bukhori, 1191 dan Muslim, 1399.
7. Para peziarah yang terhormat, tidak ada anjuran mengunjungi satu masjid pun di Madinah selain kedua masjid ini; Masjid Rasulullah (Masjid Nabawi) dan Masjid Quba. Tidak dianjurkan bagi anda sebagai peziarah atau orang lain menjadikan tempat tersebut (selain masjid Nabawi dan Masjid Quba) sebagai tujuan secara khusus untuk melakukan kebaikan atau beribadah di dalamnya. Sebab, hal itu tidak ada dalilnya dalam Kitab, Sunnah atau prilaku para shahabat radhiallahu anhum.
Begitu juga tidak dianjurkan mencari-cari tempat atau masjid di mana Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam atau para shahabat yang mulia pernah menunaikan shalat di dalamnya, dengan maksud shalat atau beribadah dengan berdoa atau semisalnya di sana. Sebab, beliau tidak (pernah) memerintahkannya dan tidak juga menganjurkan untuk menziarahinya.
Dari Ma’rur bin Suwaid rahimahullah, dia berkata: “Kami bepergian bersama Umar bin Khatab. Di tengah perjalanan diberitahukan kepada kami tentang suatu masjid. Lalu orang-orang bersegera menunaikan shalat di dalamnya. Maka umar berkata: “Ada apa dengan mereka?” Mereka mengatakan: “Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam pernah melakukan shalat di dalamnya.” Maka Umar berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya hancurnya (umat) sebelum kalian adalah karena melakukan seperti ini, sampai mereka menjadikannya sebagai tempat ibadah. Kalau bertepatan saat itu waktu shalat bagi kalian, maka shalatlah, sedangkan jika belum waktunya shalat bagi kalian, maka berlalulah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, no. 7550)
Ketika Umar mendapatkan (kabar) bahwa orang-orang mendatangi pohon tempat Nabi sallallahu’alaihi wasallam berbaiat di bawahnya, (beliau) memerintahkan untuk menebangnya. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, 7545)
8. Jamah laki-laki yang berziarah ke Masjid Nabawi disyariatkan berziarah ke kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dan kuburan kedua shahabatnya; Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma, dengan memberikan salam dan berdoa kepadanya. Sementara para wanita, tidak diperkenankan berziarah kubur menurut pendapat terkuat para ulama.
Berdasarkan riwayat Abu Daud, no. 3236. Tirmizi, no. 320. Ibnu Majah, no. 1575 dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, ‘Sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melaknat para wanita peziarah kubur.’ (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab Islahul Masajid)
Begitu juga dalam riwayat Tirmizi, no. 1056 dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melaknat para wanita yang selalu ziarah kubur.
Beliau (Tirmizi) berkata, (hadits) hasan Shahih. Dikeluarkan juga oleh Ahmad, 2/337. Ibnu Majah, no. 1574 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi, no. 843 dan Misykatul Mashabih, no. 1770.
Sedangkan tata cara ziarah adalah peziarah mendatangi kuburan yang mulia dan menghadapkan wajahnya kepadanya lalu mengucapkan:
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ الله
‘Semoga keselamatan tercurahkan kepada engkau wahai Rasulullah’.
Kemudian melangkah sehasta ke sisi kanan, lalu berikan salam kepada Abu Bakar dengan mengucapkan
“السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا أَبَا بَكْرٍ
‘Semoga keselamatan tercurahkan kepada engkau wahai Abu Bakar’.
Kemudiang melangkah lagi sedikit, sehasta ke samping kanan dan berikan salam kepada Umar bin khatab dengan mengucapkan
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا عُمَر
9. Semoga keselamatan tercurahkan kepada engkau wahai Umar
9. Dianjurkan pula bagi laki-laki yang berziarah ke Madinah, berziarah ke pekuburan Baqi Garqad dan para Syuhada Uhud untuk memberikan salam dan mendoakan mereka.
Dari Buraidah radhiallahu’anhu berkata: Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam mengajarkan mereka ketika berziarah kubur untuk mengucapkan,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ ، نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
“Semoga keselamatan tercurahkan kepada kalian penghuni kubur dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim. Dan sesungguhnya kami insyaallah akan menyusul. Kami memohon keselamatan untuk diri kami dan kalian.” (HR. Muslim dalam shahihnya, no. 974-975)
10. Ziarah kubur disyariatkan karena dua tujuan agung.
Pertama, bagi peziarah bertujuan untuk memberikan peringatan dan nasehat.
Kedua, bagi yang diziarahi akan mendapatkan doa, rahmat dan ampunan.
Berziarah kubur dibolehkan dengan syarat tidak mengucapkan perkataan Al-hujr (menghindari), dan yang lebih berat dari itu adalah kesyirikan dak kekufuran.
Buraidah meriwayatkan dari bapaknya sesungguhnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku dahulu pernah melarang berziarah kubur, barangsiapa yang ingin ziarah kubur, hendaklah dia menziarahinya. Namun jangan mengatakan ‘Hujron (menjauhi).”
(HR. Nasa’i, no. 2033, dishahihkan oleh Al-Albany dalam As-Silsilah As-Shahihah, no. 886. Dikeluarkan juga oleh Muslim no, 977, tanpa ada perkataan “Dan janganlah kamu semua mengatakan ‘Hujron’)
Tidak dibolehkan thawaf di kuburan ini atau kuburan lainnya. Tidak diperkenankan juga shalat menghadap ke arahnya atau di antaranya. Tidak diperkenankan juga beribadah di sisinya dengan bacaan Al-Qur’an atau berdoa atau yang lainnya. Karena hal itu merupakan sarana kesyirikan terhadap Allah Sang Pemilik jagad raya.
Demikian pula dilarang menjadikannya (kuburan) sebagai masjid meskipun tidak didirikan bangunan di atasnya.
Dari Aisyah dan Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma berkata: “Ketika kematian menjemput Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam, beliau menutup wajahnya dengan sehelai kain, ketika membaik beliau membuka wajahnya lalu berkata dalam kondisi demikian,
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
”Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashroni. Mereka menjadikan kuburan para nabinya sebagai masjid.”
Beliau hendak memberi peringatan (kepada umatnya) terhadap apa yang mereka lakukan. (HR. Bukhari, no. 436 dan Muslim, no. 529)
Beliau juga bersabda: “Sesungguhnya golongan terjelek manusia adalah mereka yang mendapatkan hari kiamat sementara mereka dalam kondisi masih hidup. (Mereka adalah) orang-orang yang menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid.”
(HR. Ahmad, 1/405. Riwayatnya bersumber dari riwayat Bukhari dengan cara mu’allaq (tanpa sanad), dalam Kitab Al-Fitan, Bab Zuhurul-Fitan, no. 7067. Dan Muslim di Kitab Al-Fitan, Bab Qurbus-Sa’ah, no. 2949 tanpa menyebutkan “Menjadikan kuburan sebagai masjid”)
Dari Abu Martsad Al-Gonawi radhiallahu’anhu, dia berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Semua bumi adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.”
(HR. Ahmad, 3/83. Tirmizi, no. 317. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab Irwa’ul Ghalil, 1/320)
Dalam hadits Anas radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang shalat di antara kuburan. (HR. Ibnu Hibban, no. 1698. Al-Haitsami berkata tentang riwayat ini dalam kitab Majmauz Zawaid, 2/27, ‘Para perawinya shahih’)
Tidak diperkenankan juga sujud di kuburan, bahkan hal itu merupakan berhala jahiliyah, pemikiran yang nyeleneh dan terbelakang. Tidak diperkenankan pula bagi peziarah kuburan atau lainnya untuk mengharap barokah darinya dengan mengusap, mencium atau menyandarkan bagian dari anggota tubuhnya atau meminta pengobatan dengan debunya dengan berguling di atasnya. Atau mengambil sedikit bagiannya untuk dibuat mandi.
Tidak diperkenankan pula bagi para peziarah atau lainnya menanam sesuatu, baik berupa rambut, tubuh, tissu atau menaruh fotonya atau sesuatu yang ada padanya di tanah kuburan dengan maksud mengambil barokah. Tidak diperkenankan melempar uang atau sedikit makanan seperti biji-bijian atau semisalnya ke atasnya. Barangsiapa yang melakukan sesuatu dari dari prilaku itu, hendaklah dia bertaubat dan tidak mengulangi lagi.
Tidak diperkenankan pula mengoleskan kuburan dengan wewangian, dan tidak pula diperbolehkan bersumpah kepada Allah dengan (perantara) penghuninya. Tidak diperbolehkan juga meminta kepada Allah dengan perantara mereka atau dengan kedudukannya dan haknya. Hal itu merupkan tawasul yang diharamkan dan termasuk sarana kesyirikan.
Tidak diperkenankan pula meninggikan kuburan dan mendirikan bangunan di atasnya. Karena hal itu sarana menuju pengagungan terhadap kuburan dan munculnya fitnah (penyimpangan). Tidak diperkenankan menjual makanan atau minyak wangi atau lainnya bagi mereka yang mengetahui penggunaannya untuk penyimpangan yang besar tersebut.
Minta keselamatan dan pertolongan dari orang-orang mati atau memohon pertolongan dari mereka untuk memenuhi kekurangannya, membantu kebutuhannya, mendatangkan keuntungan dan menolak bencana adalah syirik besar yang dapat mengluarkan pelakunya dari Islam dan menjadikannya sebagai penyembah berhala. Karena tidak ada yang dapat menghilangkan kesedihan dan menyingkap kegundahan melainkan Allah Azza wa Jalla saja, tidak ada sekutu bagi-Nya,
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ . إِن تَدْعُوهُمْ لاَ يَسْمَعُواْ دُعَاءكُمْ وَلَوْ سَمِعُواْ مَا اسْتَجَابُواْ لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَـامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِـكُمْ وَلاَ يُنَبّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ (سورة فاطر:13-14)
“Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir: 13-14)
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Israa: 56-57).
Refrensi:
Syekh Sholah Al-Budair, Imam dan Khatib Masjid Nabawi