Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Dibolehkan bagi seorang wanita untuk melihat kepada semua tubuh suaminya, dan dibolehkan bagi laki-laki untuk melihat kepada semua tubuh istrinya tanpa dirinci, berdasarkan firman Allah:
والذين هم لفروجهم حافظون إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al Ma’arij: 29-31)
(Fatawa Al Mar’ah karya Ibnu Utsaimin: 121)
Imam Bukhori telah meriwayatkan dalam kitab Shahihnya (250) dari ‘Aisyah berkata:
كنت أغتسل أنا والنبي صلى الله عليه وسلم من إناء واحد
“Saya pernah mandi bersama Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari satu bejana”.
Al Hafidz berkata di dalam Fathul Baari (1/364):
“Ad Dawudi menjadikan hadits tersebut sebagai dalil dibolehkannya seorang laki-laki melihat aurat istrinya dan begitu juga sebaliknya, hal ini dikuatan oleh riwayat Ibnu Hibban dari jalur Sulaiman bin Musa bahwa ia pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang melihat kemaluan istrinya, maka beliau menjawab: “Saya sudah bertanya kepada ‘Atha’ ia berkata: “Saya pernah bertanya kepada ‘Aisyah maka beliau menyebutkan hadits ini dengan maknanya, dan ini menjadi penjelasan tekstual dalam masalah ini, wallahu A’lam”.
Pendapat saya:
Adapun apa yang disandarkan sebagian orang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa makruh hukumnya seorang suami melihat aurat istrinya, maka hal ini tidak benar. Hadits tersebut di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Abu Hurairah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إذا جامع أحدكم فلا ينظر إلى الفرج فإنه يورث العمى ، ولا يكثر الكلام فإنه يورث الخرس
“Jika salah seorang dari kalian berjimak, maka janganlah melihat pada kemaluan (istri anda); karena hal itu akan menyebabkan kebutaan, dan janganlah banyak berbicara; karena akan menyebabkan terbata-bata dalam berucap”.
Ibnu Jauzi berkata: “Hadits ini maudhu’ (palsu)”. (Al Maudhu’aat karya Ibnu Jauzi: 2/271-272)
Wallahu A’lam