0 / 0

Apakah boleh Penderita sakit kepala kronis untuk membatalkan puasanya, dan apa hukumnya jika sakitnya kambuh padahal dia junub dan tidak memungkinkan untuk bersuci (mandi) ?

Pertanyaan: 405768

Suamiku menderita sakit kepala kronis yang disebabkan oleh peradangan pada saraf vertibular, keadaanya semakin parah ketika berpuasa pada bulan ramadhan, bahkan untuk mendirikan shalat subuhpun dia tidak sanggup karena pusing yang parah, hilang keseimbangan, dan pada saat serangan sakit kepala datang dia seperti orang yang tidak sadar, tidak merespon dan tidak mampu memahami apa yang saya ucapkan, suamiku adalah seorang akademisi, religius, Alhamdulillah, yang membuatnya sedih adalah ketidakmampuannya mendirikan shalat, khususnya pada bulan ramadhan, saya selalu berupaya membantunya berwudlu, kemudian ia shalat dalam keadaan berbaring, hanya saja kadang-kadang saat adzan subuh tiba, sementara ia masih dalam keadaan junub,  ia tidak mampu untuk bersuci (mandi besar), dan tidak bisa shalat sampai rasa pusing yang dirasakannya mereda, dan terkadang keadaan seperti ini berlanjut dari pagi sampai maghrib saat waktu berbuka, saat itu ia menggantikan (mengqadha) shalat-shalat yang ditinggalkan. Apakah pada saat sakit kepala kronisnya kambuh, ia lebih baik membatalkan puasanya supaya bisa tetap mendirikan shalat pada waktunya ? dan pada saat penyakitnya kambuh dan dia masih dalam keadaan junub, apakah boleh hanya berwudhu saja kemudian shalat agar tidak kehilangan waktu shalatnya, atau apakah ia mendirikan shalat setelah ia mampu bersuci (mandi) ? dia sering memberi tahu saya bahwa selama ini saat sakitnya kambuh, ia tidak bisa fokus dan khusyu’ dalam shalat, ia sering merasa tidak nyaman dan resah, apakah sebaiknya ia menunggu sakitnya mereda, atau melanjutkan shalat sambil berbaring untuk menjaga shalatnya tetap pada waktunya ?

Teks Jawaban

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Jika berpuasa berpotensi memperburuk sakit kepala yang diderita suami anda, atau membuat sakitnya semakin lama, atau semakin parah, maka ia boleh membatalkan puasanya ketika ia merasa sakitnya akan kambuh, dan boleh juga membatalkannya saat sakitnya kambuh supaya bisa segera mereda.

Allah ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

البقرة/183- 184.

(Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.) Al-Baqarah /183-184.

Dan penyakit yang karenanya diperbolehkan membatalkan puasa adalah penyakit yang mendatangkan bagi penderitanya kesulitan yang nyata.

Al-Nawawi dalam “Al-Majmu’” (6/261) berkata: “Orang sakit yang tidak mampu berpuasa karena penyakitnya dan ada harapan untuk sembuh, tidak wajib baginya berpuasa..” hal ini dengan catatan, yaitu harus jelas ada kesulitan parah yang dialami dengan puasa.

Dan syaratnya tidak harus sampai pada keadaan betul-betul tidak mungkin seseorang yang sakit untuk berpuasa, bahkan beberapa sahabat kami mengatakan: syarat diperbolehkanya tidak berpuasa: cukup adanya dugaan kuat akan timbulnya kesulitan yang dialami karena berpuasa. Akhir kutipan.

Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:

Ada beberapa keadaan untuk orang yang sakit:

Keadaan Pertama:

penyakit yang tidak terpengaruh oleh puasa, seperti flu ringan, sakit kepala ringan, sakit gigi, dan lain sebagainya, yang demikian tidak boleh bagi penderitanya untuk membatalkan puasa, meskipun ada sebagian ulama yang berpendapat: boleh membatalkan puasa dengan dalil keumuman ayat “dan barang siapa yang sakit” (Al-Baqarah:185), akan tetapi menurut pandangan kami: penentuan hukum dalam hal ini harus kembali kepada illat (sebab) hukumnya, yaitu jika membatalkan puasa adalah yang lebih baik untuk penderita sakit, maka untuk keadaan ini kami berpendapat boleh membatalkan puasa, tetapi jika keadaan penyakitnya tidak terpengaruh oleh puasa, maka tidak boleh membatalkan puasa dengan alasan sakit (seperti ini), dan puasa baginya tetap wajib hukumnya.

Keadaan yang kedua:

Jika berat baginya berpuasa karena sakit yang diderita, tetapi tidak sampai membahayakan dirinya dengan tetap berpuasa, dalam keadaan ini makruh baginya untuk berpuasa dan di anjurkan (Sunnah) untuk membatalkan puasa.

Keadaan yang ketiga:

Jika berat baginya untuk berpuasa dan puasa akan membahayakan dirinya, seperti orang yang menderita penyakit ginjal, kencing manis, dan sejenisnya, dalam keadaan ini puasa baginya adalah haram hukumnya. Akhir kutipan dari “as-Syarh al-Mumti’” (6/341).

Kedua:

Jika sakit kepalanya kambuh dan ia masih dalam keadaan junub, wajib baginya bersuci (mandi) untuk bisa mendirikan shalat, dan boleh baginya untuk menjamak dua waktu shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan ‘isya dengan jamak taqdim ataupun ta’khir, dan jika serangan kambuhnya berlanjut dan di khawatirkan habisnya waktu subuh, atau ashar, atau isya’, ia boleh bersuci dengan tayamum, karena ia sedang menderita sakit yang tidak memungkinkan menggunakan air, hanya saja dia mengakhirkan shalatnya di akhir waktu dengan harapan sakitnya mereda.

Ketiga:

Wajib bagi siapapun untuk menjalankan ibadah shalat dengan berdiri, dan jika tidak mampu berdiri maka diperbolehkan untuk  shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu sambil duduk, maka ia boleh shalat sambil berbaring; hal ini sebagaimana disebutkan dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1050), dari ['Imran bin Hushain radliallahu 'anhu] berkata:

كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ ، فَقَالَ: (صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

"Suatu kali aku menderita sakit wasir lalu aku tanyakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang cara shalat. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan".

Dan tidak boleh menunda shalat sampai habis waktunya kecuali  dalam kondisi yang boleh untuk menggabungkan  shalat (jama’)

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam “Majmu al-Fatawa” (14/24) mengatakan: “orang yang dalam keadaan sakit dan istihadhah boleh menggabungkan shalat (jama’)”, akhir kutipan.

Adapun mengenai tidak bisanya konsentrasi dan khusyu’ (karena sakit), tidak merusaknya (tidak mengapa).

Kita berdo’a memohon kepada Allah supaya memberikan kepadanya kesembuhan, kesehatan, dan pahala atas musibah yang dideritanya.

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android