Unduh
0 / 0

Hukum Menikah ‘Urfi (Secara Adat), Dan Apakah Boleh Bagi Mempelai Wanita Berpindah Dari Wali Yang Satu Ke Wali Yang lain?

Pertanyaan: 45513

Di daerah kami banyak terjadi kerusakan moral, apalagi di kampus-kampus. oleh sebab itu banyak mahasiswa yang ingin menikah sebelum mereka lulus, akan tetapi keluarga besarnya menjadi penghalang utama pernikahan mereka. Dilihat dari sisi mempelai laki-laki, kami pernah mendengar mereka tidak perlu meminta restu kepada walinya, namun dari sisi wanita, maka kami mencari jalan agar bisa maju untuk meminangnya, namun jika wali wanita tersebut beralasan dengan alasan yang tidak Islami, sebagai contoh: walinya berkata: “saya tidak ingin kamu menikah sekarang karena saya tidak tertarik dengan kabilahnya (sukunya), saya tidak senang dengan celana, jenggot, atau agamanya”. Jika ternyata calon mempelai laki-lakinya termasuk seorang yang baik, dan walinya tidak menyetujuinya, maka kami meminta kakek atau saudara laki-laki mempelai wanita untuk menjadi walinya. Jika keduanya juga menolak, maka kami tetap menyempurnakan pernikahan dengan restu kepala jamaah kami – Jamaah Mahasiswa Muslim- Apakah perbuatan kami dibenarkan? dan bagaimana cara yang benar untuk menempurnakan pernikahan tersebut? saya berharap anda menjelasan semuanya dalam masalah ini; karena merupakan jalan satu-satunya, cara-cara seperti ini sekarang sedang marak terjadi di sekitar kita, dan jika jalan tersebut salah maka bagaimanakah seharusnya yang diperbuat oleh mereka yang sudah menikah dengan cara seperti itu, sebagian mereka juga sekarang sudah mempunyai anak-anak ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Tidak dibolehkan bagi seorang
muslimah menikah tanpa persetujuan walinya, bahkan harus ada wali yang
menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

( لا نكاح إلا بولي ) رواه أبو داود (2085) وصححه الشيخ
الألباني

“Tidak ada pernikahan kecuali
dengan adanya wali”. (HR. Abu Daud: 2085 dan dishahihkan oleh Syeikh Al
Baani)

Dan sabda Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang lain:

( أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل
فنكاحها باطل ) رواه الترمذي وحسَّنه ( 1102 ) وأبو داود
( 2083 )

ابن ماجه ( 1879 ) من حديث عائشة ، صححه الألباني في “إرواء
الغليل” (1840(

“Wanita manapun yang menikah
tanpa persetujuan walinya maka pernikahannya batil, pernikahannya batil,
pernikahannya batil”. (HR. Tirmidzi dan beliau menghasankannya: 1102, Abu
Daud: 2083, Ibnu Majah: 1879 dari hadits ‘Aisyah, dishahihkan oleh al Baani
dalam Irwa’ul Ghalil: 1840)

Imam Tirmidzi dalam
penjelasannya tentang hadits di atas berkata:

“Dan yang mengamalkan hadits
di atas dari kalangan para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- di
antaranya adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas,
dan lain-lain. Demikian juga diriwayatkan dari sebagian ahli fikih di
kalangan para Tabi’iin bahwa mereka berkata: “Tidak ada pernikahan kecuali
dengan adanya wali” di antara mereka adalah Sa’id bin Musayyib, Hasan al
Basri, Syuraih, Ibrohim an Nakho’i, Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain. Dan
senada dengan pendapat di atas juga dinyatakan oleh Sufyan ats Tsauri, al
Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Malik, Syafi’i, Ahmad dan Ishak”.

Pada jawaban soal nomor:
2127 ada akan mendapatkan ringkasan penting tentang
syarat dan rukun nikah, dan syarat-syarat seorang wali.

Pada jawaban soal nomor:
7989 juga terdapat rincian yang lain, secara khusus
disebutkan tentang persyaratan seorang wali untuk sahnya pernikahan.

Kedua:

Allah telah menyuruh para
wali agar mereka menikahkan wanita siapa saja yang berada di bawah
perwaliannya, dan janganlah menghalangi mereka untuk menikah karena sebab
yang tidak syar’i, Allah –Ta’ala berfirman-:

)وَأَنْكِحُوا
الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ ) النور/32

“Dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An Nuur: 32)

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- juga telah menyuruh para wali agar tidak menahan diri untuk
menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya pada saat ada peminang
yang baik agama dan akhlaknya datang meminangnya, beliau berdsabda:

إذا
جاءكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض )
رواه الترمذي ( 1084 ) وحسَّنه ، حسنه الألباني في “إرواء الغليل”
(1868) .

“Jika ada peminang datang
meminang yang kalian (para wali) menyutujui agama dan akhlaknya maka
nikahkanlah mereka,  karena kalau tidak maka akan terjadi fitnah di muka
bumi dan kerusakan yang nyata”. (HR. Tirmidzi: 1084 dan menghasankannya,
dihasankan juga oleh al Baani dalam Irwa’ul Ghalil: 1868)

Pada setiap ayat dan hadits
yang yang telah disebutkan mengandung dua penjelasan yang nyata:

1.Bahwa
syari’at telah menyuruh wali untuk menikahkan, hal ini menunjukkan bahwa
perintah tersebut berkaitan dengan kesempurnaan pernikahan tersebut dengan
hadir wali untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya dengan
peminangnya, hadits-hadits yang kami sebutkan sebelumnya telah menjelaskan
dan menguatkan pernyataan tersebut.

2.Bahwa
tidak dihalalkan bagi seorang wali untuk menghalangi dan menolak untuk
menjadi wali yang menjadi hak dari mempelai wanita dalam pernikahannya,
penolakan itu merupakan kedzaliman yang akan menyebabkan kerusakan yang
besar dalam agama dan dunia.

Jika masing-masing dari
mempelai wanita dan walinya mengerjakan perintah tersebut maka akan
menyebabkan ketenangan keluarga, juga akan terhindar dari banyak keburukan
dan kerusakan dalam agama dan akhlak.

Jika seorang wali menolak
untuk memberikan hak dari mempelai wanita dalam pernikahannya tanpa udzur
yang disyari’atkan, maka boleh berpindah kepada wali yang lebih jauh,
seperti: saudara laki-lakinya yang tertua, atau pamannya dari jalur
bapaknya, atau kakeknya. Penentuan peralihan tersebut dilakukan oleh hakim
yang sesuai syari’at, tidak dari pihak mempelai wanita atau para walinya.
Jika wali dari pihak mempelai wanita udzur semuanya maka boleh beralih
kepada wali hakim atau siapapun yang serupa dengannya. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa dia berkata: Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

(
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ،
فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
(
وسبق
تخريجه وتصحيحه
.

“Wanita manapun yang menikah
tanpa seizin dari walinya, maka pernikahannya batil, pernikahannya batil,
pernikahannya batil. Namun jika mereka berselisih maka sulton (penguasa)
yang menjadi wali bagi siapa saja yang tidak mempunyai wali”. (Hadits ini
telah diteliti dan telah ditashih sebelumnya)

Atas dasar itulah maka tidak
masalah bagi seorang wanita yang jika walinya menolak untuk memberikan
sesuatu yang menjadi hak wanita tersebut dalam pernikahannya, maka hendaknya
dia melaporkannya kepada hakim yang sesuai syari’at agar dia menjadikan
kakek atau paman atau saudara laki-laki sulungnya yang menggantikan
perwaliannya.

Yang terhormat Syeikh Sholeh
al Fauzan pernah ditanya tentang masalah yang tidak jauh berbeda dengan
masalah di atas, maka beliau menjawab:

“Tidak boleh bagi seorang
wanita menikahkan dirinya sendiri, jika dia tetap saja menikahkan dirinya
sendiri maka pernikahan tersebut adalah batil menurut jumhur ulama terdahulu
juga menurut ulama sekarang; karena Allah telah menyuruh para wali untuk
menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya, dalam firman-Nya:

‏( ‏وَأَنكِحُوا الأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ )

“Dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki…”. (QS. An Nuur: 32)

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda:

( ‏إذا أتاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه‏ )

“Jika telah datang kepada
kalian seseorang yang kalian menyetujui agama dan akhlaknya maka nikahkanlah
mereka..”.

Sabda Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- yang lain:

( ‏لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل‏(

“Tidak ada pernikahan kecuali
dengan adanya wali dan kedua orang saksi yang adil”.

Sedangkan apa yang disebutkan
oleh penanya bahwa dirinya pernah membaca dalam sebagian buku-buku fikih
tentang seorang wanita yang menikahkan dirinya, maka pendapat tersebut
adalah pendapat yang marjuh (lemah), yang benar dan sesuai dengan dalil
adalah sebaliknya.

Sedangkan apa yang dia
sebutkan tentang realita dirinya, bahwa dirinya mempunyai pandangan yang
berbeda dengan pandangan bapaknya; karena bapaknya menginginkannya menikah
dengan seorang suami yang berkedudukan tinggi dan berasal dari keturunan
terhormat hingga mampu menjaganya, namun keinginannya tidak demikian; karena
dia menginginkan suami yang taat beragama meskipun tidak mempunyai kedudukan
yang tinggi dan tidak berasal dari nasab yang terhormat. Di sini kebenaran
berada di pihak bapaknya, karena bapaknya pandangannya lebih jauh darinya,
karena bisa jadi dia terbayang bahwa laki-laki pilihannya tersebut cocok
untuk dirinya padahal sebenarnya tidak demikian. Maka tidak ada alasan
baginya untuk menyelisihi bapaknya selama beliaunya berfikir untuk
kemaslahatannya. Namun jika ternyata laki-laki yang satunya lebih baik
baginya, menanggungnya sesuai dengan kemampuan, kedudukan dan agamanya, dan
bapaknya enggan untuk menikahkannya, maka bapaknya tersebut baru dianggap
sebagai wali yang ‘adhil (menghalangi) yang menjadikan perwaliannya
berpindah kepada wali yang lebih jauh, akan tetapi dalam kondisi seperti ini
harus menghadap kepada hakim dahulu agar dialah yang memindahkan perwalian
tersebut dari seorang bapak yang menghalangi pernikahannya kepada wali yang
lebih jauh dan tidak boleh diputuskan sendiri oleh mempelai wanita atau
salah seorang wali tanpa persetujuan bapaknya, maka harus menyerahkan
masalahnya kepada hakim yang syar’i, dialah yang akan menilai masalah dan
realita yang terjadi. Jika akhirnya dia menilai pemindahan perwalian, maka
dia memindahkan perwalian tersebut demi kemaslahatan, maka dalam pernikahan
harus jeli dalam memutuskan segala sesuatunya”. (Al Muntaqa min Fatawa
Syeikh Al Fauzan: 5/242-243)

Ketiga:

Barang siapa yang menikah
dengan cara yang tidak disyariatkan, seperti menikahnya seorang wanita tanpa
adanya wali, maka pernikahannya menjadi rusak, dan mereka berdua wajib
dipisahkan segera, kalau sudah mempunyai anak, maka anak-anaknya dinisbahkan
kepada laki-laki yang menikahinya tersebut, jika mereka semua berpendapat
bahwa apa yang telah mereka lakukan tersebut boleh, namun jika mereka sudah
mengetahui akan kebatilan pernikahan tanpa wali, maka anak-anak mereka tidak
dinisbahkan kecuali kepada ibunya.

Pernikahan batil tersebut
akan menyebabkan banyak kerusakan, di antaranya adalah:

1.
Hilangnya hak-hak seorang wanita; karena tidak ada pengakuan sah dalam
pernikahan tersebut, dia tidak mendapatkan mas kawin juga tidak mendapatkan
nafkah.

2.
Tersebarnya perbuatan nista dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat,
khususnya pada masa perkuliahan, karena bisa jadi melalui akad nikah yang
rusak tersebut setiap wanita yang hamil, atau sepasang laki-laki dan
perempuan yang didapati di tempat umum mengaku sudah menikah dengan
pernikahan ‘urfi (adat).

3.Tidak
mungkin ditengah pernikahan dengan model tersebut nasab anak-anak bisa
ditentukan –sebagaimana yang telah kami sebutkan-, maka hal itu akan
menyebabkan mereka terlantar dan tidak jelas nasabnya.

Jalan keluar untuk
memperbaiki kondisi tersebut adalah dengan menghadap kepada walinya secara
terus terang dan menceritakan tentang apa yang sebenarnya terjadi, kemudian
diadakan akad nikah yang baru melalui persetujuannya, namun jika dia tidak
setuju maka keduanya harus dipisahkan.

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android