Saya adalah penduduk Mekah dan ingin melaksanakan umrah. Tapi saya tidak pergi ke miqat karena saudara saya bersikeras mengatakan bahwa tidak harus pergi ke sana. Akan tetapi saya tahu keharusan ihram dari miqat. Apa hukumnya. Jika saya wajib mengeluarkan dam, bolehkah saya mengirimnya ke luar Saudi?
Saya Niat Umrah Dari Mekah, Apa Hukumnya?
Pertanyaan: 48955
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Siapa yang berada di Mekah dan dia ingin melakukan umrah, maka wajib baginya keluar ke tanah halal (di luar batas tanah haram) untuk melakukan ihram umrah. Tidak boleh baginya ihram dari Mekah. Siapa yang melakukan demikian, maka menurut jumhur ulama, dia harus mengeluarkan dam, yaitu menyembelih seekor kambing di Mekah serta membagikannya kepada orang-orang miskin di tanah haram.
Bukhari (1556) dan Muslim (1211) meriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha, isteri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata, “Kami keluar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam haji Wada.” Lalu dia sebutkan haditsnya… dan berkata, “Ketika kami telah menyelesaikan haji, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk pergi bersama Abdurrahman bin Abu Bakar ke Tan’im, maka aku umrah (dari sana).”
Bukhari (1210) dan Muslim (1211) meriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata, “Wahai Rasulullah, kalian telah melakukan umrah, sedangkan saya tidak melakukan umrah.” Maka beliau berkata, “Ya Abdurrahman, pergilah bersama saudara perempuanmu, antarkan dia umrah dari Tan’im.” Maka Abdurrahman memboncengkannya di atas onta, lalu dia umrah.”
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim lainnya, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah bersama saudara perempuanmu dari tanah haram ke tanah halal untuk melakukan umrah.”
An-Nawawi berkata, “Keluarlah bersama saudara perempuanmu dari tanah haram untuk ihram umrah (dari sana).” Di dalamnya terdapat dalil atas apa yang dikatakan para ulama bahwa siapa yang berada di Mekah dan hendak melakukan umrah, maka miqatnya adalah di tanah hala terdekat, tidak boleh dia melakukan ihram di tanah haram.”
Para ulama berkata, “Diwajibkannya keluar ke tanah halal agar dalam ibadahnya (umrah) dapat menggabungkan antara tanah halal dan tanah haram. Sebagaimana seorang yang berhaji menggabungkan di antara keduanya. Karena dia akan wukuf di Arafah yang berada di tanah halal. Jika seseorang ihram dari sana (tanah haram) dan tidak keluar darinya, maka dia harus membayar dam. Atha berkata, “Tidak ada kewajiban apa-apa baginya.” Sedangkan Malik berkata, “Tidak sah kecuali dia keluar ke tanah halal.” Qadhi Iyadh berkata, Malik berkata, “Harus ihram dari Tan’im secara khusus.” Mereka berkata, “Dia merupakan miqat bagi orang-orang yang ihram dari Mekah.” Ini merupakan pendapat menyimpang. Sebab pendapat yang dipegang jumhur ulama adalah bahwa seluruh tanah halal hukumnya sama, tidak dikhususkan pada Tan’im saja. Wallahua’lam.”
Adapun orang yang berada di Mekah dan ingin ihram untuk haji, maka dia cukup ihram dari tempat dia berada di Mekah, tidak diharuskan baginya untuk keluar ke tanah halal.
Dalil hal tersebut adalah riwayat Bukhari dan dan Muslim, dari Ibnu Abbas, dia berkata,
وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ ، فَهُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ لِمَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، فَمَنْ كَانَ دُونَهُنَّ فَمُهَلُّهُ مِنْ أَهْلِهِ ، وَكَذَاكَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ يُهِلُّونَ مِنْهَا (متفق عليه)
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menetapkan Dzul Hulaifah sebagai miqat bagi penduduk Madinah, Juhfah bagi penduduk Syam, Qarnal Manazil bagi penduduk Najed, Yalamlam sebagai penduduk Yaman. Tempat-tempat itu (adalah miqat) bagi mereka (penduduk negeri-negeri tersebut) dan siapa saja yang datang lewat jalur tersebut, jika dia niat haji atau umrah. Adapun orang yang berada di dalamnya (di dalam wilayah miqat), maka (dia ihram) dari tempat dia berada. Termasuk penduduk Mekah, (ihram) dari Mekah.” (HR. Bukhari, no. 1524, Muslim, no. 1181)
Al-Hafiz berkata, Maksud “Sedangkan penduduk Mekah (ihram) dari Mekah.” Adalah bahwa mereka tidak perlu keluar ke miqat untuk ihram darinya, tapi cukup ihram dari Mekah. Ini khusus bagi jamaah haji. Adapun bagi yang umrah, maka dia wajib keluar ke tanah halal terdekat. Al-Muhibb At-Thabari berkata, “Saya tidak mengetahui seseorang yang menjadikan Mekah sebagai miqat untuk umrah.”
Siapa yang kediamannya lebih dekat ke Mekah ketimbang miqat-miqat tersebut, maka hendaknya dia ihram dari sana. Bahkan penduduk Mekah, ihramnya dari Mekah, kecuali umrah, maka dia ihramnya dari tanah halal terdekat. Kemudian dia berdalil dengan hadits Aisyah sebelumnya bersama saudaranya Abdurrahman.
Kedua:
Wajib menyembelih seekor kambing di Mekah dan membagi-baginya kepada rang miskin di Mekah dan tidak boleh membaginya keluar Mekah. Hal tersebut berdasarkan firman Allah Ta’ala terkait dengan balasan orang yang memburu di tanah haram;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْياً بَالِغَ الْكَعْبَةِ (سورة المائدة: 95)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah.” (QS. Al-Maidah: 95)
Juga firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ مَحِلُّهَا إلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ (سورة الحج: 33)
“Kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 33)
Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya dengan rombongan orang yang ihram untuk umrah dari Kuday (Mekah) dan tidak keluar ke Tan’im,
Mereka menjawab,
Mereka menjawab, “Rombongan yang ihram dari Kuday itu keliru. Karena Kuday bukan tanah halal. Tapi tanah haram. Dia bukan sepeti Tan’im atau Ja’ranah, karena keduanya Tan’im dan Ja’ronah termasuk tanah halal. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah ihram umrah dari Ja’ronah, tidak dari Tan’im. Adapun dia memerintahkan Abdurrahman bin Abu Bakar untuk mengantarkan saudara perempuannya; Aisyah untuk ihram umrah dari Tan’im, karena tempat itu merupakan tanah halal terdekat dari haram. Seandainya ihram untuk umrah boleh dilakukan di tanah haram secara syariat, maka beliau (Rasulullah saw) akan membolehkan Aisyah untuk ihram dari tempatnya saat itu di Abthah (tempat di tanah haram), dan beliau tidak perlu menugaskan saudaranya untuk pergi mengantarkannya ke Tan’im untuk ihram umrah, karena hal itu berarti tindakan menyulitkan tanpa kebutuhan sementara mereka berada dalam safar. Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, biasanya jika dipilihkan di antara dua perkara, maka beliau akan memilih yang paling ringan selama itu tidak berdosa. Mengkiyaskan Kuday dengan Tan’im dan Ja’ronah tidak benar, karena ihram dari miqat merupakan perkara ibadah. Namun umrah mereka tetap dianggap sah, hanya saja, setiap mereka diharuskan menyembelih sembelihan (seekor kambing) karena mereka ihram dari tanah haram.”
Syekh Ibnu Utsaimin dalam Fatawa Arkanul Islam, hal. 515 berkata, “Wajib bagi siapa yang hendak menunaikan haji dan umrah, apabila mereka melewati miqat untuk berihram dari sana dan tidak boleh melewatinya (tanpa ihram). Apabila dia melakukannya dan melewatinya tanpa ihram, maka wajib baginya untuk kembali dan ihram dari sana. Jika dia kembali ke miqat dan ihram dari sana, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya. Namun jika dia ihram dari tempatnya dan tidak kembali ke miqat, maka menurut para ulama dia harus membayar fidyah berupa kambing yang disembelih di tanah haram dan dibagikan kepada kaum fakir Mekah.” .
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam