Aku seorang musafir dan aku berbuka puasa karena safar. Lalu aku kembali ke tempat asalku dalam keadaan tidak berpuasa. Bolehkah aku makan dan minum setelah sampai di tempat tinggalku?
Jika Datang Dari Safar, Seseorang Tidak Harus Berpuasa Di Hari Kedatangannya
Pertanyaan: 49008
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Jika seseorang sampai di tempat tinggalnya setelah mengadakan safar atau seorang wanita yang telah suci dari haidh atau orang yang sembuh dari sakitnya di siang hari Ramadhan. Maka dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, apakah ia harus menahan diri dari makan dan minum atau tidak?
Jumhur ulama berpendapat, mereka tak diharuskan menahan makan dan minum karena mereka berbuka dengan alasan yang dibenarkan. Tetapi mereka tidak makan dan minum secara terbuka di depan orang yang tidak mengetahui uzurnya tidak berpuasa sehingga tidak mengundang suuzhan (buruk sangka) dari orang yang melihatnya.
Lihat; Al-Majmu’, 6/ 167, 168, 173.
Dalam kitab ‘Al-Mughni’, Ibnu Qudamah menjelaskan,
‘Adapun orang yang dibolehkan syar’i untuk berbuka puasa di awal siang secara zahir dan bathin, seperti wanita haid, nifas, musafir, anak kecil, orang gila dan kafir serta yang sakit. Jika telah gugur uzurnya di siang hari. Di mana wanita yang telah berhenti darah haid dan nifasnya. Musafir telah sampai di kediamannya. Anak kecil telah mencapai baligh. Orang gila telah sadar. Orang kafir telah memeluk Islam, dan orang sakit telah sembuh dari penyakitnya. Bagi mereka ada dua pendapat.
Pertama, mereka wajib menahan diri dari makan dan minum di sisa harinya pada saat itu. Ini adalah pendapat Abu Hanifah.
Kedua, mereka tidak diwajibkan menahan diri dari makan dan minum. Ini merupakan pendapat imam Malik, dan Syafi’i.
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, bahwa ia berkata, “Siapa yang berbuka di awal hari, maka makanlah sampai akhir siang hari itu.”
Syekh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Aku pernah mendengar bahwa anda telah berfatwa bagi wanita haid yang telah suci di siang hari Ramadhan, ia boleh tetap makan dan minum dan tidak menahan makan dan minumnya sampai terbenam matahari pada hari itu. Demikian pula bagi musafir yang telah sampai ke negerinya di siang hari. Apakah ini pendapat yang benar dan apa alasannya?
Syekh Utsaimin menjawab.
‘Ya, apa yang engkau dengar adalah benar. Bahwa wanita haid yang suci di siang hari, ia tidak wajib menahan makan dan minumnya di siang hari itu. Demikian pula musafir jika telah sampai di negerinya pada siang hari. Dan benar aku yang telah memfatwakan hal ini. Ini merupakan pendapat imam Malik dan Syafi’i serta salah satu riwayat dari imam Ahmad.
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, bahwa ia berkata, “Siapa yang berbuka di awal hari, maka makanlah sampai akhir siang hari itu.”
Jabir bin Yazid, Abu Sya’tsa’ salah seorang ahli fiqihnya para tabi’in, pernah kembali dari safar di siang hari dan ia mendapati istrinya baru saja suci dari haid, maka ia menggauli istrinya.” Kedua atsar ini tersebut di dalam kitab ‘al mughni’.
Alasan lain karena tiada faedahnya menahan diri dari makan dan minum dan lainnya. Di mana tidak sah orang berpuasa melainkan jika ia memulainya sejak terbit fajar.
Demikian pula, karena mereka telah dibolehkan berbuka sejak permulaan siang secara zahir dan bathin di bulan Ramadhan. Dan bahwa Allah hanya mewajibkan imsak (menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa) dari sejak terbit fajar. Dan pada saat itu mereka tidak tergolong orang yang diwajibkan berpuasa. Dan mereka tidak diperintahkan untuk menahan diri.
Dan karena Allah memerintahkan kepada musafir dan wanita haid mengganti di hari lain sejumlah hari yang ditinggalkannya, maka jika kita wajibkan bagi mereka menahan diri pada hari itu berarti kita telah mewajibkannya berpuasa melebihi jumlah hari yang Allah wajibkan atasnya. Kita mewajibkannya menahan diri pada hari itu. Di sisi lain kita wajibkan ia membayar qadha’ puasanya. Itu maknanya kita mewajibkannya dua kewajiban, padahal ia hanya dibebani satu kewajiban saja. Yakni, mengqadha’ puasa di hari lain sejumlah hari yang ia tinggalkan. Dan ini dalil yang paling kuat dalam masalah ini.
Namun, sebaiknya ia tidak menampakkan makan dan minumnya di hadapan orang, jika dapat mengundang mudharat bagi orang lain.’
(fatawa shiyam, hal: 102).
Imam Nawawi berkata,
‘Jika musafir datang dari safarnya di siang hari Ramadhan, maka ia tetap dalam keadaan berbuka. Jika ia mendapati istrinya sudah suci dari haidnya di siang itu, atau telah habis masa nifasnya atau sembuh dari sakitnya, maka istrinya dalam keadaan berbuka. Maka ia boleh menggaulinya, dan ia tidak terkena kafarat. Dan ini tiada perselisihan dalam mazhab kami.’
(Al majmu’, 6/ 174).
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam