Unduh
0 / 0
15,93829/09/2006

Meminum Air Zam-zam Itu Sunnah Bukan Wajib

Pertanyaan: 49791

Saya akan berniat insya Alloh untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan, sesuai jadwal, saya akan sampai di Makkah pada waktu shalat dzuhur jika ditemouh dengan jalan darat. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa seseorang yang sedang berumrah dia wajib meminum air zam-zam setelah shalat di belakang maqam Ibrohim pada hari-hari biasa, namun pada saat bulan Ramadhan sedangkan saya berniat untuk puasa, maka bagaimana saya harus minum air zam-zam ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Meminum air zam-zam bukanlah
suatu kewajiban, akan tetapi hanya sunnah saja, yang disunnahkan tidak hanya
setelah mendirikan shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrohim, namun
meminum air zam-zam disunnahkan pada setiap waktu.

Syeikh Islam dalam Majmu’
Fatawa (26/144) pernah berkata:

“Dan disunnahkan untuk
meminum air zam-zam dan mengenyangkan diri dengannya, dan berdoa dengan doa
bebas pada saat meminumnya dengan doa-doa yang disyari’atkan”.

Al Muwaffiq berkata di dalam
al Mughni:

“Disunnahkan untuk mendatangi
sumur zam-zam dan meminum airnya sesuka hatinya, dan mengenyangkan diri
dengannya. Jabir berkata tentang sifat hajinya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-: “Kemudian beliau mendatangi bani Abdul Muthalib pada saat mereka
meminumnya, seraya mereka pun memberi beliau sebuah timba dan meminum
darinya”.

Arti dari
“يتضلع”
adalah memperbanyak minum hingga memenuhi sisi-sisi perutnya. (Hasyiyat As
Sandi ‘ala Ibni Majah)

An Nawawi dalam Al Majmu’
berkata:

“Syafi’i, sahabat-sahabatnya
dan yang lainnya berkata: “Disunnahkan untuk meminum air zam-zam,
memperbanyak meminumnya, dan mengenyangkan diri dengannya. Dan disunnahkan
untuk meminumnya untuk semua keinginannya dari urusan dunia dan akhirat.
Jika seseorang ingin meminumnya agar supaya diampuni atau agar disembuhkan
dari penyakit atau yang serupa dengannya maka hendaknya menghadap kiblat dan
menyebut Nama Alloh –Ta’ala- kemudian berkata:

( اللَّهُمَّ إنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ
رَسُولَك صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
اللَّهُمَّ إنِّي
أَشْرَبُهُ لِتَغْفِرَ لِي , اللَّهُمَّ فَاغْفِرْ لِي أَوْ اللَّهُمَّ إنِّي
أَشْرَبُهُ مُسْتَشْفِيًا بِهِ مِنْ مَرَضٍ , اللَّهُمَّ فَاشْفِنِي ) وَنَحْوَ
هَذَا

“Ya Alloh, telah sampai
kepada saya bahwa Rasul-Mu –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
“Air zam-zam itu sesuai dengan tujuan meminumnya”. Ya Alloh, saya meminumnya
agar Engkau mengampuni (dosa) saya, Ya Alloh ampunilah saya, atau Ya Alloh
saya meminumnya agar disembuhkan dari penyakit, Ya Alloh, sembuhkanlah saya,
atau yang serupa dengan itu”.

Dan disunnah agar mengambil
nafas tiga kali, sebagaimana pada saat minum air pada umumnya. Dan jika
sudah selesai maka membaca hamdalah”.

Syiekh Ibnu Baaz dalam Majmu’
Fatawa (16/138) berkata:

“Disunnahkan bagi jama’ah
haji dan umrah dan selain dari mereka agar meminum air zam-zam jika hal itu
mudah dilakukan”.

Atas dasar itulah maka jika
anda melaksanakan umrah pada saat anda berpuasa, maka tidak ada dosa bagi
anda jika tidak meminumnya, akan tetapi anda meminumnya setelah berbuka.

Kedua:

Jika anda pergi berumrah ke
Makkah, maka seorang musafir boleh puasa dan boleh tidak puasa sesuai dengan
ijma’ para ulama, namun mereka berbeda pendapat mana yang lebih utama. Telah
disebutkan pada jawaban soal nomor: 20165 bahwa yang
lebih utama adalah yang lebih memudahkan. Bagi seseorang yang tidak
mengalami kesulitan maka berpuasa lebih utama, dan barang siapa yang
mengalami kesulitan untuk berpuasa dalam perjalanan maka berbuka (tidak
berpuasa) lebih utama, apalagi jama’ah umrah membutuhkan kekuatan (fisik)
dan fitalitas sehingga mampu menunaikan umrah dengan sempurna dengan doa dan
kekhusu’annya.

Sebagian jama’ah umrah telah
melakukan kesalahan karena mereka mempersulit diri sendiri dengan memaksakan
diri untuk tetap berpuasa padahal mereka mengalami kesulitan sehingga akan
mempengaruhi pelaksanaan umrah mereka. Telah diriwayatkan dari Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau tidak berpuasa pada hari Arafah.

Asy Syaukani berkata:

“Berpuasa pada hari Arafah
hukumnya sunnah bagi siapa saja, dan makruh bagi siapa saja yang sedang
berada di Arafah sebagai jama’ah haji. Hikmahnya adalah karena bisa jadi
akan menjadikannya lemah untuk berdoa dan berdzikir pada hari Arafah dan
menunaikan manasik haji lainnya”.

Telah diriwayatkan dalam
Shahihain bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang untuk
berpuasa pada hari Jum’at saja”.

An Nawawi berkata:

“Makruh hukumnya berpuasa
pada hari jum’at saja, kecuali bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya. Jika
dia melanjutkannya dengan hari sebelum dan sesudahnya atau bertepatan dengan
kebiasaan berpuasanya, seperti bernadzar untuk berpuasa pada hari
kesembuhannya totalnya, dan ternyata bertepatan pada hari jum’at maka
hukumnya tidak makruh”.

Para ulama berkata:

“Hikmah dari larangan
tersebut adalah karena hari jum’at adalah hari berdoa, berdzikir dan
beribadah; dari mulai mandi, bersegera menuju masjid untuk menunaikan
shalat, menunggu tibanya waktu shalat (di masjid), mendengarkan khutbah,
memperbanyak dzikir setelah selesai shalat, berdasarkan firman Alloh
–Ta’ala-:

فَإِذَا
قُضِيَتْ الصَّلاةُ فَانْتَشَرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ
اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا

“Apabila telah ditunaikan
sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al Jumu’ah:
10)

Dan ibadah-ibadah lainnya
pada hari tersebut, maka disunnahkan tidak berpuasa pada hari tersebut, maka
akan banyak membantu untuk melaksanakan ibadah-ibadah tersebut dengan
sungguh-sungguh, penuh lapang dada, dan menikmatinya, jauh dari rasa bosan
dan jenuh. Hal itu serupa dengan jama’ah haji pada hari Arafah di Arafah,
maka yang disunnahkan baginya adalah tidak berpuasa, sebagaimana hikmah yang
telah dijelaskan sebelumnya, maka jika dikatakan: “Jika demikian, maka
larangan dan kemakruhan untuk berpuasa sebelum dan sesudahnya tetap berlaku
!?”, maka jawabannya adalah: “Maka dengan berpuasa sebelum dan sesudahnya
akan menyebabkan kelesuan dan kurang semangat untuk beberapa kewajiban pada
hari jum’at karena puasanya. Maka inilah yang menjadi sandaran pada hikmah
larangan untuk berpuasa pada hari jum’at saja”.

Syeikh Ibnu Utsaimin pernah
ditanya dalam Fatawa Arkan Islam (464) tentang musafir jika telah sampai di
Makkah dalam keadaan berpuasa, maka apakah perlu membatalkan puasanya agar
menjadi lebih kuat untuk melaksanakan umrah ?

Beliau menjawab:

“Kami berpendapat:
Sesungguhnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memasuki Makkah pada
tanggal 20 Ramadhan pada tahun pembebasan kota Makkah, dan beliau
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada saat itu tidak berpuasa…

Dan telah diriwayatkan dalam
Shohih Al Bukhori bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga tidak
berpuasa pada hari-hari yang tersisa dari bulan tersebut; karena beliau
sebagai musafir, maka perjalan seorang musafir untuk berumroh tidak terputus
dengan sampainya di Makkah, dan juga tidak diharuskan menahan dari makan
jika sampai dalam kondisi tidak berpuasa. Terkadang sebagian orang
meneruskan puasanya meskipun di dalam perjalanan; karena melihat bahwa
perjalanan pada era sekarang ini tidak menyulitkan umat, maka mereka tetap
melanjutkan puasanya, kemudian sesampainya di Makkah baru merasakan capek,
lalu mereka berkata pada diri mereka sendiri: “Apakah saya melanjutkan puasa
saya atau menunda umroh saya sampai setelah hari raya atau saya membatalkan
puasa saya agar kuat melaksanakan umroh sesaat setelah saya sampai di Makkah
?”

Maka pada kondisi seperti itu
kami berpendapat:

“Yang lebih utama adalah anda
membatalkan puasa anda agar bisa menunaikan umroh anda sesampainya anda di
Makkah, anda pun dalam keadaan fit; karena termasuk sunnah bagi siapa saja
yang memasuki Makkah untuk melaksanakan manasik agar bersegera untuk
menyelesaikannya; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- jika telah
memasuki Makkah untuk menunaikan manasik maka beliau langsung menuju Masjid,
bahkan beliau memberhentikan kendaraannya di Masjid, lalu beliau masuk untuk
menunaikan manasiknya yang telah dikenakannya. Maka anda wahai jama’ah umroh…
anda membatalkan puasa anda untuk menyelesaikan umroh anda dengan giat pada
siang hari akan lebih utama dari pada anda tetap berpuasa, kemudian jika
anda tidak berpuasa pada malam hari anda mengqadha’ umrah anda. Telah
diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau berpuasa
pada saat berada dalam perjalanan fathu Makkah, kemudian ada banyak orang
yang menghadap beliau dan berkata: “Wahai Rasulullah, banyak orang-orang
yang merasa kesulitan untuk berpuasa dan mereka menunggu apa yang akan anda
lakukan”, hal tersebut terjadi setelah shalat ashar, maka Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- minta diambilkan air dan meminumnya. Semua orang melihat
beliau, jadi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah membatalkan puasanya
dalam perjalanan, bahkan beliau membatalakannya pada sore hari, semua itu
untuk menjelaskan kepada umat bahwa yang demikian itu boleh dilakukan.
Sebagian orang memaksakan diri untuk berpuasa dalam perjalanan yang
memberatkan, maka tidak diragukan lagi bahwa yang demikian itu menyelisihi
sunnah dan sesuai dengan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

( ليس من البر
الصيام في السفر)

“Bukan termasuk kebaikan
berpuasa dalam perjalanan”.

Maka jika puasa dalam
perjalanan anda akan mempengaruhi pelaksaksanaan umroh anda, maka yang lebih
utama bagi anda untuk membatalkan puasa anda dan menggantinya pada hari
lain.

Wallahu A’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android