Apa hukum orang yang menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan sementara dia dalam kondisi safar?
Menggauli Isteri (jima’) Di Siang Hari Bulan Ramadan Dalam Keadaan Safar, Maka Tidak Ada Kewajiban Apa-apa Baginya
Pertanyaan: 50256
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Tidak perlu membayar kafarat (tebusan) dan dia tidak berdosa. Karena musafir dibolehkan berbuka puasa, akan tetapi dia harus mengqada hari yang dia berbuka.
Al-Lajnah Ad-Daimah (10/202) ditanya tentang hukum orang yang berhubungan badan dengan istrinya waktu siang hari di bulan Ramadan sementara keduanya dalam kondisi safar dan berbuka puasa? Maka dijawab: Dibolehkan bagi musafir di siang hari bulan Ramadan untuk berbuka dan mengqadanya.
Berdasarkan Firman Allah: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Dia dibolehkan makan, minum dan berhubungan badan selagi dia dalam kondisi safar.
Syekh Bin Baz rahimahulah juga ditanya dalam Majmu’ Fatawa (15/307) tentang hukum orang yang menggauli istrinya di siang hari dalam kondisi berpuasa. Apakah musafir dibolehkan menggauli istrinya apabila dia telah berbuka?
Beliau menjawab: Bagi orang yang berhubungan badan di siang hari bulan Ramadan sementara dia dalam kondisi wajib berpuasa, maka dia harus membayar kafarat (tebusan), yaitu kafarat zihar (memerdekakan budak, kalau tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu, maka memberi makan enampuluh fakir miskin). Di samping itu tetap harus mengqada hari itu dan bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala terhadap perbuatan yang dia lakukan. Namun, kalau dia dalam kondisi safar (bepergian) atau sakit yang dibolehkan untuk berbuka, maka dia tidak terkena kafarat dan tidak ada dosa baginya, namun dia harus mengqada untuk hari itu. Karena orang sakit dan musafir dibolehkan berbuka puasa, baik dengan berhubungan badan atau dengan yang lainnya.
Berdasarkan firman Allah: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184).
Hukum wanita dalam hal ini sama seperti laki-laki. Kalau dalam kondisi melakukan puasa wajib, maka dia harus membayar kafarat. Kalau dalam kondisi musafir atau sakit yang merasakan payah dengan berpuasa, maka dia tidak terkena kewajiban apa-apa.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga ditanya dalam Fatawa Shiyam (344) tentang seorang yang berhubungan badan dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan dalam kondisi safar?
Beliau menjawab: “Hal itu tidak mengapa, karena musafir dibolehkan berbuka dengan makan, minum maupun berhubungan badan. Maka hal itu tidak apa-apa dan tidak perlu membayar kafarat. Akan tetapi dia harus mengqada hari dia berbuka puasa. Begitu juga berlaku bagi isteri yang ikut safar bersamanya, baik dia berbuka maupun belum berbuka. Akan tetapi kalau istrinya dalam kondisi muqim (menetap) maka suaminya tidak boleh menggaulinya karena akan merusak puasanya dan sang isteri wajib menolaknya.”.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam