Unduh
0 / 0

Bapaknya Memberi Syarat Agar Menceraikannya Pada Saat Tiba Waktu Bepergiannya

Pertanyaan: 59929

Saya mempunyai seorang teman yang menikahi wanita yang tinggal di Riyadh bersama keluarganya tanpa pencatatan akad dan tanpa seorang syeikh, hanya teman-teman mempelai laki-laki yang berjumlah tiga orang, satu memposisikan dirinya sebagai seorang syeikh, dan dua yang lain sebagai saksi dengan dihadiri oleh bapak mempelai wanita. Pernikahan pun dilaksanakan tanpa ada pencatatan akad apapun, yang perlu diketahui juga di sini bahwa mempelai wanita akan meninggalkan negara tersebut selamanya menuju negaranya sendiri setelah satu setengah tahun kemudian, dan mempelai laki-laki akan menjatuhkan talak kepadanya pada saat kepergiannya tersebut, bapak dari mempelai wanita mensyaratkan bahwa berlakunya akad nikah tersebut selama keluarganya bertempat tinggal di Riyadh, dan pada saat mereka pulang kampung maka mempelai laki-laki akan menceraikannya.

Pertanyaannya adalah:

1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan tersebut ?

2. Bagaimana pendapat anda dengan apa yang dilakukan oleh teman-teman mempelai laki-laki ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Jika sebuah pernikahan
dilakukan dengan penetapan waktu tertentu dan hanya sementara, seperti hanya
satu bulan, satu tahun, sampai masa kuliah selesai, atau sampai masa
berlakunya visa sudah habis, atau yang semacamnya, maka pernikahan tersebut
adalah nikah mut’ah, maka hal itu hukumnya haram dan batil menurut jumhur
para ulama, bahkan ada sebagian yang menganggapnya sebagai ijma’ akan
keharamannya.

Ibnu Qudamah –rahimahullah-
berkata dalam al Mughni (7/136):

“Dan tidak dibolehkan menikah
dengan mut’ah, arti dari nikah mut’ah adalah pernikahan seseorang dengan
wanita pada masa tertentu, contohnya: Saya menikahkan kamu dengan putri saya
selama satu bulan, atau satu tahun atau sampai akhir musim, atau sampai
datangnya seorang yang haji, atau yang serupa dengannya. Baik batasan waktu
tersebut diketahui atau tidak. Maka pernikahan tersebut adalah batil sesuai
dengan pendapat Ahmad, beliau berkata: “Nikah mut’ah adalah haram…” ini juga
merupakan pendapat banyak dari kalangan para sahabat dan para ahli fikih, di
antaranya adalah Umar, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Zubair. Ibnu
Abdil Bar berkata: “Yang berpendapat bahwa nikah mut’ah adalah haram adalah
Malik, penduduk Madinah, Abu Hanifah pada penduduk Irak, dan al Auza’i pada
penduduk Syam, Imam Laits pada penduduk Mesir, Imam Syafi’i samua para
perawi atsar”.

Pernikahan yang haram ini
tidak boleh dilaksanakan oleh seseorang, juga tidak boleh bagi yang
mengakadkannya, termasuk menjadi saksi di dalamnya juga tidak boleh.

Bagi siapa saja yang
melakukannya maka wajib bertaubat kepada Allah –ta’ala- dan wajib dipisahkan
antara keduanya.

Kedua:

Ada gambaran lain terkait
dengan nikah mut’ah, yaitu; seseorang menikahinya dengan syarat agar
menceraikannya pada waktu tertentu.

Perbedaan dari kedua gambaran
di atas, bahwa pada gambaran pertama belum disepakati penentuan masa
pernikahan dengan waktu tertentu, jika sudah habis waktunya maka masa
menikahnya pun berakhir tanpa membutuhkan talak.

Sedangkan pada gambaran
kedua, pernikahannya belum ditentukan sampai waktu tertentu, namun ada
persyaratan jatuhnya talak pada waktu tertentu.

Ibnu Qudamah –rahimahulla-
dalam al Mughni (7/137) berkata:

“Dan jika seseorang
menikahinya dengan syarat agar menceraikannya pada waktu tertentu, maka
pernikahan tersebut tidak sah baik waktunya diketahui atau tidak, seperti;
disetujui dengan syarat jatuhnya talaknya pada saat bapak atau saudara
laki-lakinya datang; karena ini merupakan syarat yang menghalangi
kelanggengan masa pernikahan, maka serupa dengan nikah mut’ah”.

Lajnah Daimah pernah ditanya
tentang seorang musafir yang jauh dari kampung halamannya ingin menikahi
seorang wanita, keduanya bersepakat agar pihak lakinya menjatuhkan talak
ketika pulang ke kampung halaman.

Mereka menjawab:

“Pernikahan sampai suaminya
pulang kampung tidak boleh; karena yang demikian itu termasuk nikah mut’ah,
disebabkan adanya pembatasan masa pernikahan sampai sang suami musafir”. (Fatawa
Lajnah Daimah: 18/444)

Ketiga:

Jika syarat dan rukun nikah
sudah terpenuhi pada saat akad nikah, dari mulai ijab dan qabul, persetujuan
kedua mempelai, dihadiri oleh wali dan kedua orang saksi, maka pernikahan
tersebut adalah sah, meskipun tanpa adanya pencatatan, namun pencatatan
memang penting untuk menjaga hak-hak masing-masing mempelai dan hak
anak-anak mereka nantinya, tidak dihadiri oleh penghulu atau hakim tidak
masalah, atau salah seorang temannya yang melaksanakan akad nikah.

Untuk mengetahui syarat dan
rukun  nikah bisa dilihat kembali jawaban soal nomor:
2127
.

Akan tetapi akad nikah yang
sebagaimana digambarkan dalam pertanyaan di atas hukumnya adalah haram dan
tidak sah, seperti yang dijelaskan sebelumnya, bagi siapa saja yang ikut
serta mengakadkan dan yang menjadi saksi dalam pernikahan tersebut wajib
bertaubat kepada Allah –Ta’ala- dari perbuatan haram tersebut.

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android