Apakah Isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salla Pernah Melakukan Haji Tanpa Mahram?
Apakah Isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salla Pernah Melakukan Haji Tanpa Mahram?
Pertanyaan: 81941
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Yang benar di antara sejumlah pendapat para ulama adalah mazhab Hanafiah dan Hambali yang berpendapat tidak bolehnya seorang wanita melakukan safar untuk menunaikan ibadah haji atau untuk keperluan lainnya tanpa mahram. Hal tersebut berdasarakn sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahram.” (HR. Bukhari, no. 1862, dan Muslim, no. 1341)
Penjelasan masalah ini telah diterangkan dalam jawaban pertanyaan no. 3098, 34380, 47029.
Hanya saja, sebagian ulama mazhab Syafi’i dan Maliki serta beberapa kalangan salaf berpendapat dibolehkannya seorang wanita melakukan ibadah haji tanpa mahram jika dia mendapatkan teman yang dipercaya.
Mereka berdalil dengan apa yang disebutkan penanya, yaitu bahwa isteri-isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan haji tanpa mahram. Hal tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, rahimahullah, no. 1860, bahwa Umar bin Khatab, radiallahu’anhu, mengizinkan isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haji terakhir yang mereka lakukan, lalu beliau mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf untuk berangkat bersama mereka,
Ulama yang berpendapat dengan pendapat pertama (tidak dibolehkannya wanita melakukan safar tanpa mahram) memiliki beberapa jawaban terhadap dalil yang mereka jadikan sebagai landasan ini, di antaranya,
1. Mereka berkata, dalam hadits tersebut tidak ada petunjuk bahwa mereka (para isteri Nabi) tidak bersama mahram. Boleh jadi mahram mereka bersama mereka dalam rombongan haji yang sama. Adapun Umar bin Khatab mengutus Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf untuk berangkat bersama mereka, hal itu untuk menambah rasa hormat dan ketenangan. Hendaknya jangan diduga bahwa para shahabat menyelesihi larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan wanita melakukan safar tanpa mahram. Apalagi ada sebagian riwayat, meskipun dalam sanadnya mengandung catatan, yang menunjukan adanya para mahram mereka (ketika itu).
Ibnu Jauzi telah meriwayatkan dalam ‘Al-Muntazam’ dalam kejadian-kejadian tahun 23 H, dari Abu Utsman dan Abu Haritsah dan Rabi’ dengan sanad mereka, mereka berkata, “Umar menunaikan haji bersama isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berangkat bersama para wali mereka yang mereka boleh tidak berhijab di depannya. Beliau menjadikan di depan rombongan adalah Abdurrahman bin Auf, sedang di akhirnya Utsman bin Affan….
Disamping sangat jauh kemungkinan jika mereka tidak bersama mahram sedangkan yang melakukan safar untuk haji waktu itu dari Madinah sangat banyak. Umumnya tidak sepi kemungkinan di sana ada saudara laki-laki, atau kakek, atau paman dari ibu atau dari bapak, atau salah seorang mahram sepersusuan, sedangkan menyusui anak orang lain adalah prilaku yang banyak dilakukan kala itu.
2. Sekalipun kemungkinannya mereka melakukan safar tanpa mahram, maka itu merupakan ijtihad dari mereka. Sebagaimana diketahui bahwa ijtihad para shahabat tidak diterima jika bertentangan dengan nash shahih yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ash-Shan’ani, rahimahullah, berkata, “Hal tersebut tidak dapat dijadikan hujjah, karena dia bukan ijma'” (Subulus-Salam, 2/930)
3. Adapula kelompok ketiga yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kekhususan isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah Ummahatul-Mu’minin (para ibu kaum mukmin), maka semua kaum laki adalah mahram bagi mereka. Abu Hanifah, rahimahullah, berkata, “Orang-orang (laki) bagi Aisyah adalah mahram, bersama siapapun di antara mereka dia melakukan safar, maka dia dikatakan safar bersama mahram, dan hal tersebut tidak berlaku bagi wanita lainnya.”
Hanya saja jawaban Abu Hanifah tidak dapat diterima. Karena kedudukan isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ibu kaum beriman adalah dari sisi bahwa mereka haram dinikahi, bukan dalam hal mahram. Karena, kalau mereka dikatakan sebagai ibu kaum mukminin dari sisi mahram, niscaya dibolehkan bagi mereka melepas hijabnya di hadapan orang laki-laki lain, dibolehkan pula berkhalwat bersama mereka, serta perkara-perkara lain yang terkait dengan hukum seorang mahram. Dan hal tersebut tidak pernah dikatakan oleh seorang pun.
Ibnu Taimiah berkata dalam Minhaj As-Sunnah, 4/207, tentang isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Mereka adalah Ummahatul-Mu’minin (para ibu orang beriman) dalam hal bahwa mereka haram dinikahi, bukan dalam hal mahram.”
Yang dapat dijadikan pedoman sebagai jawaban adalah jawaban pertama.
Kesimpulannya, tidak boleh menolak hadits-hadits shahih yang jelas dengan mengambil kesimpulan dari sebagian perbuatan shahabat yang masih mengandung berbagai kemungkinan. Yang diwajibkan adalah mengikuti apa yang sudah tetap, bukan yang masih mengandung berbagai kemungkinan.
Syaikh Abdul-Aziz bin Baz, rahimahullah, ditanya, “Mereka berkata, ‘Sesungguhnya Aisyah radhiallahu’anha menunaikan haji bersama Utsman tanpa mahram?’
Maka beliau menjawab,
‘Hal tersebut membutuhkan dalil, tidak boleh dikatakan, dia (Aisyah) menunaikan haji tidak bersama mahram tanpa dalil. Mestinya dia bersama mahram, dia memiliki keponakan-keponakan, adapula saudara laki-lakinya, Abdurrahman, adapula keponakan dari saudara perempuannya, Asma. Orang yang mengatakan bahwa dia menunaikan haji tanpa mahram, maka ucapannya dusta, kecuali dia mendatangkan dalil. Kemudian seandainya benar dia menunaikan haji tanpa mahram, dia bukanlah manusia ma’shum, semua shahabat tidak ma’shum. Dalil itu ada pada ‘kata Allah’ dan ‘kata Rasul-Nya’. Tidak bisa berhujjah dengan ‘ucapan fulan dan fulan’. Apa yang bertentangan dengan sunnah, maka tidak ada hujjah baginya, sebab hujjah hanya pada sunnah yang suci. Ini adalah perkara yang sudah dikenal di kalangan para ulama dan telah mereka sepakati.
Imam Syafi’I, rahimahullah berkata, ‘Orang-orang telah sepakat bahwa siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia tidak boleh meninggalkannya karena ucapan seseorang.”
Imam Malik, rahimahullah berkata, ‘Semua kita dapat menolak dan ditolak (ucapannya) kecuali penghuni kuburan ini (maksudnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Yang dimaksud adalah bahwa kaum muslimin diwajibkan berpedoman kepada sunnah, dia tidak diharuskan menyelesihinya hanya karena perkataan fulan dan fulan. Kemudian di samping itu, jangan ada yang menduga bahwa Aisyah radhiallahu’anha, seorang ahli fiqih terkenal bahkan dia adalah wanita yang paling mengerti fiqih di alam ini, menyelisihi sunnah dengan menunaikan haji tanpa mahram, sedangkan dia adalah orang yang mendengar langsung hadits-hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Fatawa Syaikh Bin Baz, 25/361, 262)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika seseorang berkata, pada rombongan jamaah tersebut, mereka pada isteri-isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersama mahram, apakah dikatakan bahwa perkara itu merupakan kekhususan isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah ibu dari kaum mukmin, bukan dari sisi mahram, tapi dari sisi penghormatan.
Atau dikatakan bahwa mahram dalam riwayat tersebut tidak disebut (tapi ada). Maksudnya diutus untuk mendampingi mereka dua orang shahabat mulia bersama mahram-mahram mereka?
Kesimpulan pertama ada kemungkinan, dan kesimpulan kedua juga ada kemungkinannya.
Jika kita mengambil kaidah bahwa perkara yang masih samar diikutkan kepada perkara yang sudah jelas, apa yang akan kita katakan?
Jawabnya, kita katakana bahwa kemungkinannya adalah yang kedua. Maka kita katakan, bahwa mestinya mereka pergi bersama para mahramnya, akan tetapi ditunjukkan kedua orang shahabat tersebut sebagai penghormatan dan pemuliaan bagi ummahatul mu’minin.
(Penjelasan bab haji dari kitab Shahih Bukhari, kaset no. 19, side B) Wallahua’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam