Terdapat pada kisah Nabi Sulaiman dan Raja perempuan dari negeri Saba’ dalam surat An Naml ayat ini:
( قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ )
Saya memahami pengertian ayat tersebut : Sesungguhnya Ratu tersebut telah berbuat dzalim pada dirinya dengan kekufuran yang telah ia lakukan, dan dia masuk Islam setelah jelas baginya kebenaran. Akan tetapi ungkapan dalam ayat yang tidak dipisahkan dengan tanda waqof setelah kata (نفسي) yang menjadikan saya memahami sebaliknya yaitu seakan-akan dia mendzalimi dirinya setelah dia masuk Islam -dan kita berlindung kepada Allah dari yang demikian- maka bagaimanakah penjelasannya terkait ayat tersebut ??
Penjelasan Firman allah Ta’ala (Sesungguhnya Aku Telah berbuat Dzalim pada Diriku Sendiri dan Aku Masuk Islam Beserta Sulaiman )
Pertanyaan: 82613
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
…
Allah Ta’ala berfirman dalam surat An Naml: 44
قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الصَّرْحَ ، فَلَمَّا رَأَتْهُ حَسِبَتْهُ لُجَّةً وَكَشَفَتْ عَن سَاقَيْهَا ، قَالَ إِنَّهُ صَرْحٌ مُّمَرَّدٌ مِّن قَوَارِيرَ ، قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (سورة النمل: 44)
Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam Istana”, maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dia mengira kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia adalah Istana licin terbuat dari kaca”. Balqis berkata : “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat Dzalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan Semesta Alam” }. (QS An Naml: 44).
Allah menceritakan di dalam ayat tersebut kekaguman yang teramat besar yang telah disiapkan oleh Sulaiman Alaihi As Salam untuk Ratu negri Saba’. Istana itu terbuat dari kristal yang lantainya dihamparkan di atas air, maka berhentilah Ratu tersebut dengan tercengang di hadapan keajaiban ini yang tidak mungkin mampu manusia melakukan semacamnya, maka dia bergegas kembali kepada Allah. Kesadaran tentang berbuat zalim kepada dirinya bahwa dia telah menyembah kepada selain Allah di masa lalu – lah yang telah menyelamatkannya dan mengumandangkan keIslamannya bersama Sulaiman kepada Allah Tuhan Semesta Alam.
Inilah pemahaman tentang alur kisah dan ungkapan dalam ayat tersebut telah memenuhi syarat kebenaran kaidah bahasa arab. Karena sesungguhnya ucapannya (ظَلَمْتُ نَفْسِي)dalam kaidah bahasa arab merupakan susunan kata yang menunjukkan perbuatan yang menempati kedudukan rofa’ khobar kata إني)) kemudian terdapat huruf ‘Athaf/kata sambung (الواو)untuk meng’athafkan susunan kata kepada susunan kata yang lain, lalu dia mengucapkan: (وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ).
Lihat: I’rabul Qur’an wa Bayaanuhu ” karangan Muhyiddin Darwis, 7/216, Al Jadwal Fie I’rabil Qur’an, Mahmud Shafi, 9/415.
Yang kemudian diperkirakan ungkapannya sebagai berikut : وإني أسلمت مع سليمان لله رب العالمين. Ini merupakan perkiraan Yang paling benar. Karena para ulama nahwu atau kaidah bahasa arab berkata: Sesungguhnya huruf athaf itu disebutkan untuk meringkas terulangnya ungkapan di dalam bahasa arab.
Ibnu ‘Aqil menjelaskan dalam kitab ‘Syarhu Alfiyah Ibnu Malik’ (2/208): “Huruf Athaf yang diniatkan untuk pengulangan ungkapan itu berlaku”. Maka sebagai ganti ucapan anda: Zaid datang dan Umar datang, anda meringkasnya menjadi: Zaid dan Umar datang. Demikian pula kondisi ‘Athaf pada Jumlah (rangkaian kata) yang padanya terdapat kedudukan i’rab: Maka sebagai ganti ucapan anda: Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian lakukan, dan sesungguhnya Allah akan menghisab kalian atas apa yang telah kalian lakukan. Anda meringkasnya menjadi : Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian lakukan, dan Dia akan menghisab kalian atas apa yang telah kalian lakukan.
Maka sudah sepatutnya memahami ayat tersebut sesuai dengan kaidah ini, sehingga perkiraan bunyi ayat adalah : إني ظلمت نفسي ، وإني أسلمت مع سليمان لله رب العالمين (Sesungguhnya aku telah berbuat Dzalim terhadap diriku, dan sesungguhnya aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan Semesta Alam ).
Dan di dalam redaksi bahasa arab apabila kedudukannya ‘Athaf antara susunan kata yang satu dengan kata yang lain maka tidak harus memiliki pengertian dan makna yang sama, bahkan kadang-kadang memiliki pengertian yang saling berlawanan. Ustadz Abbas Hasan dalam bukunya “An Nahwu Al Waafi” berkata : Dan ‘Athaf dengan huruf wawu jika ma’thufnya bukan kalimat tunggal, kadang memberikan pengertian kesertaan makna yang mutlak sebagai contoh ungkapan:نبت الورد ونبت القصب yang berartikan : “Bunga itu tumbuh dan batang tebu itu tumbuh”, dan yang tidak memberikan kesertaan dalam makna meski terdapat huruf ‘Athaf seperti ingkapan: حضرت الطيارة ولم تحضر السيارةyang berartikan : “Pilot perempuan itu telah datang dan mobil itu tidak datang”. Dan ketika Allah Ta’ala meng’Athafkan ungkapan ratu negri Saba’ : وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ “Dan aku berserah diri bersama Sulaiman” tidak boleh dipahami bahwa dia sebagai penjelas bagi susunan kata Ma’thuf alaihi, dari segi asal bahasa, maka bagaimana dengan kondisi susunan kata yang secara zahir jelas-jelas memiliki pengertian yang saling bertolak belakang. Dan dari struktur yang diungkapkan oleh Ratu negri Saba’ menjelaskan bahwa dia mengakui kedzalimannya terhadap dirinya ketika masih menyembah selain Allah yaitu menyembah matahari, lalu dia bertaubat dari prilaku syirik tersebut dan dia menyerahkan dirinya sambil mengarahkan wajahnya kepada ajaran Sulaiman dan mentauhidkan Ibadahnya hanya kepada Allah Tuhan semesta Alam.
Dengan penjelasan di atas maka pengertian ayat menjadi benar dan menggugurkan keraguan yang disangkakan oleh saudara penanya terkait ayat tersebut. Bisa jadi problem yang dihadapi oleh saudara penanya memiliki beberapa aspek sudut pandang :
Sudut pandang pertama: Dari sisi kaidah nahwu – apabila struktur ungkapan ayat seperti (إني ظلمت نفسي: أسلمت مع سليمان ) dengan membuang huruf ‘athaf di tengahnya, kalau memang seperti ini maka penjelasannya; bahwa kalimat yang kedua kedudukannya dalam kaidah nahwu sebagai pengganti dari kalimat yang pertama, sebagaimana firman Allah :
وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً : يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً (سورة الفرقان: 68-69 )
“Dan barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat, : (yaitu) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab tersebut dalam keadaan terhina ”. (QS Al Furqan : 68-69).
Maka sesungguhnya pelipatgandaan siksaan merupakan penjelas dan keterangan bagi dosa yang didapat bagi para pelaku dosa-dosa besar.
Sudut pandang yang kedua: Dari sisi kaidah bahasa arab, apabila huruf athafnya adalah huruf Fa’, maka bentuk ungkapannya seperti: “إني ظلمت نفسي فأسلمت مع سليمان” sesungguhnya huruf Fa’ memberikan banyak pemahaman tentang urut-urutan atau sebab akibat dalam menyambung antar kalimat, sebagaimana contoh :رمى الصياد الطائر فقتله artinya: Seorang pemburu menembak burung hingga dia terbunuh. Bisa dilihat dalam kitab: “ An Nahwu Al Waafi ” (3/574). Akan tetapi alur dan struktur ayat Al Qur’an telah datang dengan sisi yang jelas dan gamblang yaitu :
قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Balqis berkata : “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat Dzalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan Semesta Alam”.
Sehingga tidak ada lagi ruang bagi problem yang dihadapi oleh penanya dari pemahaman yang benar bagi alur ayata dan kaidah-kaidah nahwu serta bahasa arab.
Wallahu A’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam