Unduh
0 / 0

Saya Telah Menikah Secara Adat (‘Urfi) Tanpa Sepengetahuan Keluarganya, Sekarang Mereka Ingin Menikahkannya

Pertanyaan: 91688

Apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang gadis yang masih perawan namun telah menikahkan dirinya sendiri secara adat (‘urfi) dengan laki-laki yang sudah mempunyai istri, di hadapan seorang syeikh, dua orang saksi dan didepan keluarga syeikh tersebut, pernikahan tersebut dilakukan di rumah syeikh dengan mas kawin yang sederhana, namun tanpa ada pencatatan apapun, hanya dengan lisan. Bapak mempelai wanita sudah meninggal dunia pada saat dia baligh, dia juga tidak mempunyai saudara laki-laki. Dia telah disetubuhi oleh laki-laki tersebut, keduanya hidup berumah tangga secara diam-diam sebagaimana layaknya suami istri tanpa sepengetahuan keluarganya, lalu dia meyakini bahwa pernikahan tersebut seharusnya tidak diteruskan karena hawatir keluarganya menolak, dan keinginan keluarganya untuk menikahkannya dengan laki-laki lain yang mereka setujui, dan keinginan mereka dalam pernikahan tersebut; karena mereka tidak mengetahui kehidupan diam-diamnya wanita tersebut.

Maka yang seharusnya dilakukan oleh wanita tersebut dengan laki-laki pertamanya ?, apakah pernikahannya dengan yang pertama itu sah yang mewajibkan adanya talak, yang dilakukan secara lisan di hadapan para saksi yang hadir dalam akadnya dahulu atau bagaimana ?, apakah pada saat menikah dengan laki-laki lain diwajibkan untuk memberitahunya bahwa dirinya telah menikah meskipun ia akan melakukan terapi untuk memulihkan keperawanannya untuk mencegah tersebarnya aib karena telah menikah dengannya atau belum ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Menjadi syarat sahnya
pernikahan menurut jumhur ulama fikih adalah dengan adanya wali dari
mempelai wanita, bisa bapaknya, kalau tidak ada bisa anak laki-lakinya,
kemudian baru para saudara laki-lakinya, lalu anak laki-laki dari saudara
laki-lakinya, kemudian paman dari jalur bapak, kemudian anak laki-lakinya
paman dari jalur bapak. Demikian seterusnya secara urut dari yang terdekat
dari jalur nasab laki-laki. Jika semuanya tidak ada maka wali hakim (penguasa),
berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

( لا نكاح إلا بولي ) رواه أبو داود (2085)
والترمذي (1101) وابن ماجه (1881) من حديث أبي موسى الأشعري ، وصححه الألباني
في صحيح الترمذي.

“Tidak ada pernikahan kecuali
dengan wali”. (HR. Abu Daud: 2085, Tirmidzi: 1101 dan Ibnu Majah: 1881 dari
Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih
Tirmidzi)

Sabda beliau –shallallahu
‘alaihi wa sallam- yang lain:

( أيما امرأة
نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل . . . فإن
اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له ) رواه أحمد (24417) وأبو داود (2083)
والترمذي (1102) وصححه الألباني في صحيح الجامع برقم (2709(

“Wanita manapun yang menikah
tanpa seizin walinya maka pernikahannya adalah batil, maka pernikahannya
adalah batil, maka pernikahannya adalah batil… Dan jika mereka berselisih
maka penguasa (hakim) adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali”. (HR.
Ahmad: 24417, Abu Daud: 2083 dan Tirmidzi: 1102 dan dishahihkan oleh al
Baani dalam Shahih al Jami’: 2709)

Atas dasar itulah, maka
pernikahan wanita di atas dengan cara seperti itu tidak sah, karena
dilakukan tanpa adanya persetujuan walinya. Seharusnya mereka berdua wajib
dipisah dan tidak memerlukan talak; karena sejak awal pernikahan tersebut
tidak sah, akan tetapi karena melihat beberapa ulama menganggap pernikahan
tanpa wali tetap sah (pendapat ini lemah) maka harus dilakukan dengan proses
talak, yaitu; suaminya cukup melafadzkannya. Tidak ada syarat untuk
menghadirkan dua orang saksi yang dahulu menyaksikan pernikahan mereka
berdua.

Ibnu Qudamah –rahimahullah-
berkata:

“Jika seorang wanita menikah
dengan pernikahan yang rusak (tidak sah), tidak boleh dinikahkan dengan
orang lain sampai laki-laki pertamanya menceraikannya atau pernikahannya
dibatalkan”. (Al Mughni: 7/9)

Jika (suami pertamanya) telah
menceraikannya, masa iddahnya pun berlalu, baru boleh dinikahkan dengan yang
lainnya.

Kedua:

Wanita tersebut wajib
memberitahukan kepada suaminya yang baru tentang pernikahan sebelumnya
dengan suami lamanya, dia tidak boleh melakukan terapi (operasi) untuk
mengembalikan keperawanannya; karena hal itu bentuk kecurangan kepada suami
barunya, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:

( مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي ) رواه مسلم
(101(

“Barang siapa yang berbuat
curang maka bukanlah termasuk (golongan)ku”. (HR. Muslim: 101)

Dan hal ini perlu dipastikan
jika akad nikahnya disampaikan bahwa mempelai wanitanya adalah perawan,
seperti kondisi di daerah penanya berasal.

Meskipun pemberitahuan itu
akan berdampak negatif, maka menjadi konsekuensi yang harus ia alami; karena
dia telah menikah dengan pernikahan yang diharamkan, aib di hadapan
masyarakat hendaknya ia sabar menerima semua efek dari aib tersebut.

Akan tetapi jika dia
bertaubat kepada Allah –Ta’ala- dan bersimpuh di hadapan-Nya, maka Allah
akan memberikan kepadanya jalan keluar.

Semoga Allah senantiasa
memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk mentaati-Nya dan meraih
ridho-Nya .

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android