Unduh
0 / 0
28,84407/07/2007

APAKAH BOLEH MENIKAH DENGAN SYARAT TIDAK BERJIMAK?

Pertanyaan: 97478

Apakah dibolehkan dalam Islam sepasang suami isteri hidup bersama tanpa melakukan hubungan seksual (walau sekali saja), sehingga mereka seperti kekasih saja. Apa kedudukan isteri seperti itu dalam Islam?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Tidak dibolehkan
dalam syariat, sepasang laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki ikatan
perkawinan untuk hidup serumah. Karena itu menyerupai suami isteri yang
tidak melakukan jimak sebagai sepasang kekasih adalah penyerupaan yang
kurang tepat.

Kedua:

Kepada sepasang suami
isteri tersebut hendaknya memahami bahwa di antara tujuan paling agung dari
pernikahan adalah menjaga kemaluan, kehormatan diri dan lahirnya keturunan.
Itu semua tidak terwujud tanpa adanya jimak.

Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam justeru menganjurkan menikah dengan wanita
subur, bahkan dia melarang sebagian shahabatnya menikah dengan wanita yang
mandul.

Dari Ma’qil bin Yasar
radhiallahu anhu dia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Aku mendapatkan seorang wanita
yang memiliki harta dan kedudukan, hanya saja dia tidak melahirkan, apakah
aku boleh menikahinya? Maka beliau mencegahnya. Kemudian datang yang kedua,
beliau pun melarangnya, kemudian datang yang ketiga, beliau pun melarangnya.
Kemudian beliau bersabda,  

تَزَوَّجُوا
الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ (رواه النسائي . (وصححه
الألباني في ” صحيح الترغيب 1921)

“Nikahilah wanita subur dan penuh kasih sayang,
sesungguhnya aku akan bangga dengan banyaknya jumlah
kalian.” (HR. Nasa’i, no. 3227, Abu Daud, no.
2050. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Targhib, no. 1921)


Lihat penjelasan tentang hadits
ini dalam jawaban soal no. 32668, lihat pula jawaban pada soal 13492

Adapun berkumpulnya sepasang suami isteri dalam satu rumah
tanpa melakukan jimak, perkara ini dapat terjadi dan dibolehkan jika
sepasang suami isteri sudah tua dan tidak memiliki syahwat lagi satu sama
lain. Adapun jika keduanya masih memiliki syahwat jimak, bagaimana
keduanya dapat berkumpul tanpa satu sama lain saling memenuhi syahwatnya?
Kemana dia akan menyalurkan syahwatnya apabila tidak dia salurkan kepada
siapa yang telah Allah halalkan baginya?!

Demikian juga dapat dibayangkan kejadiannya dan dibolehkan
apabila sang isteri masih muda, namun dia ridha bersuamikan orang yang
impoten atau usianya sudah tua. Begitu pula sebaliknya, yaitu jika seorang
laki-laki menikah dengan wanita yang memiliki kelainan tidak memiliki
syahwat atau tidak dapat dijimak, sedangkan dia mampu bersabar seraya
berharap pahala dari Allah, atau dia punya isteri lainnya untuk menyalurkan
syahwatnya.

Ketiga:

Para ahli fiqih telah membedakan masalah ini menjadi dua
bagian;

1.Disyaratkan saat menikah tidak
halal bagi keduanya berjimak. Syarat ini tidak sah, maka batal pula akadnya.
Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

2.Disyaratkan dalam akad nikah
bahwa tidak terjadi jimak. Dalam masalah ini ada perinciannya; Pendapat yang
paling kuat bahwa akadnya sah tapi syaratnya batil, tidak dianggap dan tidak
bernilai, baik syaratnya dari suami, atau isteri atau dari keduanya.

(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 44/45)

Para ulama membedakan dalam menghukumi antara kedua kondisi
di atas. Kondisi pertama, tidak dihalalkan berjimak, sedangkan kondisi
kedua, disyaratkan tidak melakukan jimak.

Penjelasannya adalah sebagai berikut;

Jika disyaratkan dalam akad pernikahan bahwa jimak tidak
dihalalkan, artinya sang suami setelah menikahi isterinya, sang isteri tidak
halal baginya, maka tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa
syarat ini tidak sah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat pengaruh dari
syarat  tersebut terhadap keabsahan akad. Dalam masalah ini ada dua
pendapat;

Pertama: Mayoritas ahli fiqih dari mazhab Syafi’i,Maliki dan
Hambali bependapat bahwa syarat dan akadnya tidak sah. Karena syarat
tersebut cacat dan kontradiktif  dengan tujuan pernikahan. Karena dengan
syarat itu, pernikahan menjadi tidak memiliki makna, sehingga bagaikan akad
palsu.   

Kedua: Mazhab Hanafi berpendapat bahwa syaratnya rusak,
sedangkan akadnya sah. Karena ada kaidah di kalangan mazhab Hanafi bahwa
pernikahan tidak dapat dibatalkan dengan syarat yang rusak. Sedangkan syarat
hanya dapat membatalkan apa yang di luar akad.

Adapun jika disyaratkan dalam akad nikah tidak melakukan
jimak, maka para fuqoha berbeda pendapat dalam hukumnya menjadi tiga
pendapat;

1. Pendapat mazhab Hanafi dan Hambali, yaitu akadnya sah dan
syaratnya digugurkan. Syaratnya digugurkan karena bertentangan dengan tujuan
akad dan mengandung gugurnya hak yang seharusnya diwajibkan karena akad jika
tidak disyaratkan demikian. Adapun akadnya tetap sah, karena syarat tersebut
merupakan bagian yang dilebihkan dari akad, maka dia tidak membatalkan.
Kaidah dalam mazhab Hanafi adalah bahwa pernikahan tidak dapat dibatalkan
dengan syarat yang rusak, akan tetapi syarat hanya membatalakn apa yang
terdapat diluar akad.

2. Pendapat mazhab Maliki, yaitu bahwa syaratnya rusak dan
akadnya juga rusak. Karena terjadi dalam bentuk yang dilarang menurut
syariat. Kemudian kalangan Maliki berbeda pendapat tentang akibatnya apabila
telah terjadi. Ada yang berpendapat bahwa pernikahan dibatalkan, baik
sebelum terjadi hubungan atau sesudahnya. Ada pula yang berpendapat bahwa
pernikahan dibatalkan apabila belum terjadi hubungan, dan ditetapkan apabila
terjadi hubungan badan, dan syaratnya digugurkan. Inilah pendapat yang
masyhur dalam mazhab Maliki.

3. Mazhab Syafi’i berpendapat, apabila syarat tidak terjadi
jimak, atau tidak boleh jimak kecuali di siang hari atau hanya sekali saja,
misalnya, maka pernikahannya batal, jika syarat itu berasal dari pihak
perempuan, karena bertentangan dengan tujuan pernikahan. Jika syaratnya
bersumber dari sang suami, maka tidak mengapa, karena jimak merupakan
haknya. Dia boleh meninggalkannya. Sedangkan memberikan pelayanan merupakan
kewajiban isteri, maka dia tidak boleh meninggalkannya.”

Ketiga.

Seorang wanita hendaknya tidak rela dengan pernikahan semacam
ini, dan seharusnya bagi seorang laki-laki tidak setuju dengan wanita yang
tidak menginginkan jimak di antara mereka berdua. Hendaknya mereka berdua
mengetahui bahwa hal ini bertentangan dengan fitrah yang lurus. Allah telah
menciptakan bagi setiap laki-laki untuk memiliki kecenderungan terhadap
wanita. Begitu pula wanita diciptakan memiliki kecenderungan terhadap
laki-laki.

Sebagian orang ada yang menyalurkan syahwatnya ke jalan yang
haram, sebagian ada yang menyalurkannya ke jalan yang halal. Pernikahan
merupakan ajaran Allah yang dengannya dibolehkan bagi laki-laki dan wanita
bertemu dan saling memberikan kasih sayang, lalu dari mereka Allah jadikan
anak keturunan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ جَعَلَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ
بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ
يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ  (سورة النحل: 72)

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72)

وَمِنْ آيَاتِهِ
أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ (سورة  الروم: 21)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Pernikahan juga merupakan sunnah para rasul alaihimusshalat
was-salam, dan mereka adalah manusia yang paling utama.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً
(سورة الرعد: 38)

“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum
kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS.
Ar-Ra’d: 38)

هُنَالِكَ دَعَا
زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً
إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ (سورة آل عمران:  38)

“Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata:
“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.
Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. (QS. Ali Imran: 38)

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android