Unduh
0 / 0

Hukum Nikah Misyar Dan pahala Atas Kesabaran Seoarang Istri Yang Suaminya Sering Menikah

Pertanyaan: 97642

Apakah pernikahan dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh seorang istri akan mengakibatkan gugurnya hak-hak dan kewajiban seorang istri? Saya adalah seorang istri yang suami saya menikah lagi dengan tiga orang istri yang lain, dan dia tidak memperlakukan kami secara adil. Dia pernah mengatakan bahwa pernikahan dengan syarat yang ditetapkan oleh seorang istri (nikah Misyar) tidak akan bisa memberikan keadilan kepada kalian semua. Maka apakah saya akan mendapatkan pahala dengan derita yang saya terima dari suami saya yang beristrikan banyak. Jika memang tidak mungkin membuahkan pahala bagi saya, maka saya akan mengajukan cerai kepada suami saya yang telah terlena dan difitnah oleh istri-istrinya yang lain? Perlu diketahui sebenarnya saya adalah istri pertama dari suami saya dan ibu dari putra-putrinya. Apakah kami mendapat pahala atas derita yang kami tanggung, yang derita itu berupa kesedihan dan juga siksaan yang kami dapati?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

.

Pertama:

Hendaknya terpenuhi semua syarat-syarat dan rukun-rukun
pernikahan sehingga pernikahan tersebut sah dan sempurna. Di antaranya
adalah keberadaan nyata masing-masing dari suami dan istri serta keridhoan
keduanya, persetujuan wali mempelai wanita dan menjadi wali dalam akad
nikah, dan terdapat saksi-saksi yang melegalkan pernikahan. Anda dapat
ketahui penjelasannya pada jawaban soal no. 2127.

Kedua :

Pernikahan itu dianggap sah apabila terpenuhi semua
syarat-syarat dan rukun- rukun akad nikah, dan model pernikahan semacam ini
atau ‘Pernikahan Al Misyar’ telah ada sejak dahulu. Yaitu sebuah bentuk
pernikahan di mana seorang suami mensyaratkan kepada  seorang wanita yang
ingin agar laki-laki tersebut menikahinya bahwa dia (suami) tidak akan
memberikan uang belanja kepada istri-istrinya secara merata, atau bahkan
tidak memberikan nafkah kepada mereka sama sekali, atau tidak menyediakan
tempat tinggal bagi mereka, dan kadang-kadang mensyaratkan dengan sekedar
menyediakan waktu di siang hari saja untuk istrinya yang dikenal dengan
istilah ‘Nahariyaat’. Akan tetapi kadang-kadang seorang isterilah yang
memberi syarat kepada suaminya dengan menggugurkan kewajiban-kewajiban suami
kepada istri atau istri tidak akan menuntut hak-haknya kepada suami, karena
bisa jadi sang istri tersebut memiliki harta yang banyak dan tempat tinggal
sehingga dia menggugurkan kewajiban suami untuk memenuhi itu semua.
Kadang-kadang seorang istri pun rela hanya digilir di siang hari saja, atau
rela hanya tinggal bersamanya selama beberapa hari saja tanpa menyertainya
pada hari-hari kebutuhan dan hajatnya, dan fenomena seperti inilah yang
menonjol di zaman kita dewasa ini.

Dan pembatalan hak-hak dan kewajiban semacam ini dari kedua
belah pihak baik suami dan istri tidak menjadikan pernikahan itu menjadi
haram, meski sebagian ulama tidak menyukainya akan tetapi tidak sampai
menjadikannya keluar dari koridor yang dibolehkan dari sisi syarat-syarat
dan rukunnya.

Di dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3/337, Dari Al
Hasan Al Bashri dan Athaa bin bi Rabaah sesungguhnya beliau berdua tidak
melihat adanya larangan dalam kasus pernikahan An Nahariyaat (nikah misyar).

Masih dari sumber yang sama, 3/338, Dari Amir As Sya’bi
sesungguhnya dia pernah ditanya tentang seseorang yang telah memiliki istri
dan menikah dengan perempuan lain lagi, lalu dia mensyaratkan untuk
menggilir salah satu istrinya sehari saja dan untuk istri yang lain selama
dua hari? Beliau menjawab: Tidak ada masalah dalam hal tersebut.

Masih tetap dari sumber yang sama, “Akan tetapi hal tersebut
di atas sangat dibenci oleh Muhammad bin Sirin, Hammad bin Abi Sulaiman, dan
Az Zuhri.”

Banyak Ulama kontemporer kita yang membolehkan pernikahan
semacam ini. Syekh Bin Baaz Rahimahullah ditanya tentang pernikahan Misyar,
yaitu sebuah pernikahan di mana seorang suami menikahi lagi istri yang
kedua, ketiga atau keempat, dan sang istri tersebut memiliki kondisi yang
mengharuskannya tetap tinggal bersama dengan kedua orang tuanya atau salah
satu dari keduanya di rumahnya. Maka sang suami mendatanginya di waktu-waktu
tertentu saja karena memang masing-masing dari kedua belah pihak telah
memiliki kesibukannya sendiri-sendiri. Dari sisi syariat bagaimanakah hukum
pernikahan semacam ini?

Beliau, rahimahullah, menjawab, “Yang demikian dibolehkan
jika memang telah memenuhi kelayakan syarat-syarat akad nikah secara
syariat, yaitu keberadaan seorang wali, keridhoan kedua belah pihak dari
suami dan istri dan kehadiran dua orang saksi yang adil dan dapat dipercaya
terhadap proses berlangsungnya pernikahan dan terbebasnya suami istri dari
penghalang-penghalang pernikahan, sebagaimana keumuman sabda Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam :

أحق ما أوفيتم من الشروط أن توفوا به ما استحللتم به الفروج

“Syarat yang paling berhak kalian penuhi adalah syarat yang
menyebabkan halalnya  kehormatan wanita bagi kalian.” 

dan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang lain :

المسلمون على شروطهم

“Orang-orang Islam itu menjalankan sesuai dengan
syarat-syarat yang diberlakukan kepada mereka.”

Maka jika antara suami dan istri keduanya telah bersepakat
bahwa istri tetap tinggal bersama keluarganya, atau pembagian jatah waktu
untuknya hanya berlaku di siang hari saja atau pada hari-hari tertentu saja,
atau malam-malam tertentu saja maka yang demikian tidak jadi masalah dengan
syarat semuanya diutarakan secara terus terang tanpa ada yang ditutup-tutupi
saat pernikahan.” (Fatawa Ulama Albalad Alharam, hal. 450-451)

Akan tetapi ketika banyak orang  yang buruk dalam
mengaplikasikan pernikahan tersebut, para ulama yang pada awalnya memberikan
fatwa dan membolehkan pernikahan tersebut, mereka menghentikan fatwa tentang
dibolehkannya pernikahan semacam ini, dan diantara ulama yang paling getol
melarang pernikahan tersebut adalah dua orang Syekh besar yaitu; Syekh Abdul
Aziz bin Baaz dan Syekh Al Utsaimin Rahimahumallah.

Syekh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah ditanya, “Apa
perbedaan antara pernikahan Misyaar dengan pernikahan yang syar’I dan apakah
syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam pernikahan misyar?’ Beliau menjawab,
“Yang wajib bagi setiap muslim adalah hendaknya ia menikah dengan pernikahan
yang syar’i, dan menghindarkan sesuatu yang bertentangan dengannya, baik
yang disebut sebagai pernikahan Misyar atau yang lainnya, dan diantara
syarat dari pernikahan syar’i adalah adanya keterusterangan, dan apabila
antara suami-istri ada hal yang disembunyikan maka pernikahan tersebut tidak
sah.” (Fatawa Syekh bin Baaz,  20/ 431, 432).

Pada dasarnya pernikahan semacam ini merupakan solusi dari
banyak problematika yaitu menjamurnya perawan tua yang tersebar di
masyarakat Islam. Karena bisa jadi seorang suami tidak bisa konsisten dalam
pembagian yang adil terhadap para istrinya, atau tidak mampu memberikan
nafkah kepada dua orang istri. Ada di antara kaum wanita yang telah memiliki
harta yang banyak, rumah dan lain sebagainya dan dia ingin menjaga
kehormatan dirinya, maka dia rela diperistri oleh seorang suami yang datang
kepadanya  pada hari-hari tertentu dalam sepekan, atau beberapa pekan dalam
sebulan, dan Allah mentakdirkan kepada keduanya anugrah berupa kasih sayang,
kebahagiaan dan kondisi yang lebih baik yang merubah keadaan rumah tangga
mereka sebelumnya. Maka sang suami bisa memberikan pembagian secara adil
berupa nafkah dan tempat tinggal yang layak bagi istri-istrinya.

Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pernikahan
semacam ini juga ada keburukannya, di antaranya adalah ;

·Perselisihan dan persengketaan
terhadap harta peninggalan setelah wafatnya sang suami,

·Disembunyikannya pernikahan
tersebut dan tidak disebarluaskan,

·Rumor yang diedarkan oleh
sebagian penyebar isu baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan yang
mengatakan bahwa hubungan keduanya adalah hubungan yang haram,

·Kedua suami dan istri tersebut
tinggal jauh dari para kerabat dan tetangga, dan apabila ada orang yang
melihat keduanya mereka akan mengatakan, Ini pasti perkawinan Misyar!!.

Setelah pemaparan ini, menjadi jelas bagi anda wahai saudari
penanya bahwa tidak semestinya suami anda mengabaikan hak-hak anda dan
menzalimi dalam memenuhi hak-hak anda, karena sesungguhnya ketika dia
menikahi anda tanpa syarat-syarat sebagaimana dalam pernikahan Misyar,
karena anda adalah istri pertamanya. Kalaupun ada pengurangan dari hari-hari
giliran menginap maka hendaklah itu diberikan kepada istri-istrinya yang
lain bukan kepada anda, maka barangsiapa dari seorang lelaki yang menikahi
istri-istrinya dengan pernikahan Misyar maka para istri tersebut yang boleh
digugurkan hak-haknya, baik dalam hal nafkah, tempat tinggal maupun giliran
menginap (sesuai dengan apa yang telah disepakati kedua belah pihak saat
pernikahan). Tidak halal baginya berdiam dan tinggal berlama-lama di sela
hari-hari dan malam-malam giliran anda di rumah istri-istrinya yang lain
dengan mengabaikan anda secara dzalim, terlebih lagi anda tidak menggugurkan
hak-hak anda.

Ketiga:

Menikahnya seorang suami dengan perempuan lain bisa jadi
penyebabnya karena sang suami sendiri, dan bisa jadi  penyebabnya timbul
dari istri. Ada kalanya suami memiliki syahwat yang sangat kuat dan dia
merasa tidak cukup hanya dengan satu istri, dan ada kalanya karena dia
sering melakukan perjalanan jauh ke negara-negara tertentu dan dia
membutuhkan seorang istri yang bisa menjaga kehormatannya serta melayani
kebutuhan hidupnya. Kadang-kadang penyebabnya timbul karena istri, misalnya,
kurang pedulinya sang istri dalam hal kebersihan rumahnya, kurangnya
perhatian terhadap anak-anaknya, kurangnya berhias dan mempercantik diri
untuk suaminya serta menjaga kehormatan suaminya. Jika penyebabnya karena
yang kedua, maka hendaknya anda berinstropeksi kepada diri anda dan mencari
apa gerangan kesalahan yang terjadi sehingga suami anda berkehendak untuk
menikah dengan wanita lain.

Apabila penyebabnya karena yang pertama, maka tidak ada hal
lain yang patut anda kerjakan melainkan kesabaran. Karena kesabaran itu
memiliki kedudukan yang sangat agung dalam syariat, dan orang yang bersabar
baik dalam menjalankan ketaatan kepada Allah atau kesabaran dari bermaksiat
kepada-Nya, atau kesabaran terhadap segala ketentuan Allah, maka baginya
pahala-pahala yang tiada batas dan sangat luar biasa di sisi Allah Ta’ala,
sebagaimana firman Allah Ta’ala :

إِنَّمَا
يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

 (سورة
الزمر: 10)

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)

Dan sesungguhnya bagi anda pahala yang sangat agung di sisi
Allah Ta’ala jika anda telah bertaqwa kepada- Nya  dalam kehidupan rumah
tangga anda, baik itu dalam melaksanakan hak-hak suami, perhatian terhadap
kebutuhan anak-anak serta pendidikan mereka, sebagaimana bagi anda pahala di
sisi Allah apabila anda bersabar atas perbuatan suami anda yang menikah lagi
dengan perempuan lain selain anda.

Terkait perkara ini ada rincian  penjelasan yang dapat anda
lihat pada jawaban soal no. 21421.

Akhirnya kami memohon kepada Allah Ta’ala agar senantiasa
memberikan rizqi kepada anda berupa kesabaran dan keridhoan serta
memperbaiki prilaku suami anda kepada anda.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android