Unduh
0 / 0
670004/09/2007

Peran Orang Tua Terhadap Anak-anaknya Ditengah Masyarakat Yang Tidak Kondusif Untuk Pendidikan Anak

Pertanyaan: 103526

Ada kasus yang menyebar di antara para pemuda di negara barat, bahwa para orang tua membiarkan anak-anaknya melakukan beberapa perkara haram, dengan begitu mereka berasumsi bahwa anak-anak tersebut tidak akan terjerumus pada maksiat yang lebih berat. Contoh: Para orang tua membiarkan anak-anaknya mendengarkan musik sebagai pengganti mereka keluar rumah dan bergaul dengan pelaku kejahatan atau membiarkan mereka hanya di dalam rumah, para orang tua tidak menerapkan syari’at Allah di dalam rumah karena khawatir anak-anak tersebut kabur. Bagaimnakah pendapat Islam dalam masalah ini ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Keberhasilan dan kegagalan
seorang muslim berbeda dalam mendidik anak-anaknya mengikuti perbedaan
istilah yang jumlahya banyak sekali, dan sudah tidak diragukan lagi bahwa
lingkungan tempat tinggal memiliki andil besar akan kesuksesan atau
kegagalan pendidikan mereka. Silahkan merujuk pada jawaban soal nomor:
52893.

Kedua:

Kedua orang wajib mengetahui
bahwa Allah –Ta’ala- telah menitipkan kepemimpinan. Menjadi kewajiban mereka
untuk menunaikan amanah, sebagaimana yang Allah perintahkan kepada mereka di
dalam al Qur’an, sunnah nabawiyah juga menguatkan perkara tersebut dalam
banyak hadits yang shahih. Sebagaimana banyak juga ayat ataupun hadits yang
memberikan peringatan bagi siapa saja yang tidak menasehati orang yang
dipimpinnya, dan bagi siapa saja yang menelantarkan amanah yang Allah
amanahkan kepadanya.

Dari Ma’qil bin Yasar al
Muzani berkata: Saya mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda:

( مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرعِيهِ اللهُ رَعِيَّة يَموتُ يَوْمَ
يَمُوتُ وهو غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلا حَرَّمَ اللهُ عليه الجَنَّةَ(

“Tidaklah seorang hamba yang
diberi kepemimpinan oleh Allah lalu meninggal dunia pada saat ajalnya
menjemputnya, yang sebelumnya berbuat curang kepada orang-orang yang
dipimpinannya kecuali Allah akan mengharamkannya dari surga”.

dan dalam riwayat yang lain:

( فَلَمْ يَحُطْها بِنَصِيحَةٍ إِلا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ
الجَنَّةِ ) رواه البخاري (6731) ومسلم (142(

“Dan tidak pernah
menasehatinya, maka ia tidak akan mendapatkan bau surga”. (HR. Bukhori: 6731
dan Muslim: 142)

Lihat juga jawaban soal:
20064

Ketiga:

Allah –Ta’ala- telah menyuruh
para wali dari anak-anak untuk mendidik mereka tentang ketaatan sejak kecil
dan mencintai agama, meskipun mereka belum menjadi mukallaf disebabkan
mereka belum baligh, namun juga tidak menunggu baligh untuk mulai
mendapatkan nasehat, petunjuk dan perintah taat; karena umumnya pada usia
seperti dia tidak akan menanggapi ajakan teman-temannya kecuali jika mereka
terdidik dengan pendidikan yang sama, dan mereka belajar sejak kecil dari
keluarga mereka. Dari sinilah maka datang perintah kepada orang tua wali
untuk mengajari anak-anak shalat sejak usia tujuh tahun, dan boleh dipukul
bagi yang tidak mau shalat sejak berumur sepuluh tahun. Para sahabat dahulu
membiasakan anak-anak mereka ikut berpuasa, agar menjadi kebiasaan untuk
mencintai agama, dan syari’atnya, untuk memudahkan mereka melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan pada saat dewasa nantinya.

Dari Abdullah bin Amr
berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ
سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا
بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

(أبو
داود ( 495 ) ، وصححه الألباني في ” صحيح أبي داود

“Perintahkanlah anak-anak
kalian untuk mendirikan shalat sejak mereka berusia tujuh tahun, dan
pukullah mereka (jika membangkang) sejak berusia sepuluh tahun, dan pisahkan
tempat tidur mereka”. (HR. Abu Daud  495, dan dishahihkan Albaani dalam
“Shahih Abu Daud”)

Dari Ar Rubaiyyi’ binti
Mu’awwidz bin ‘Afra’ berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
mengutus pada pagi hari ‘Asyura kepada beberapa desa kaum Anshar di sekitar
Madinah:

( مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ
كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ ) ، فَكُنَّا بَعْدَ
ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ
اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ
الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ
عِنْدَ الإِفْطَارِ

رواه البخاري (1960) ومسلم (1136(

“Barang siapa yang pada pagi
hari ini berpuasa, maka sempurnakanlah puasanya, dan barang siapa berbuka
(tidak berpuasa) maka sempurnakanlah pada sisa harinya”. Maka kami berpuasa
pada hari tersebut, dan mengajak anak-anak kami yang masih kecil juga ikut
berpuasa –insya Allah-. Lalu kami pergi ke masjid dan membuatkan mereka
mainan dari bulu. Ketika salah seorang dari mereka menangis minta makan,
maka kami memberikan mainan tersebut kepadanya ketika berbuka”. (HR. Bukhori
1960 dan Muslim 1136)

Sebagaimana mereka mendidik
anak-anak dalam ketaatan, mereka juga mencegah dari yang diharamkan.
Ketaatan (dalam ibadah) seorang anak pahalanya adalah untuk dia sendiri dan
siapa saja yang mengajari dan memotivasi dirinya. Adapun perbuatan maksiat:
seorang anak (jika melakukannya) tidak berdosa, akan tetapi yang berdosa
adalah yang memberikan peluang kepadanya untuk bermaksiat, dan membiarkan
pintu maksiat terbuka di hadapannya. Adapun yang menunjukkan (jalan
kemaksiatan) maka ia sama dengan pelakunya.

Oleh karenanya, bukanlah
termasuk bentuk kekerasan jika seorang muslim mendidik anaknya dalam
ketaatan dan melarangnya melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti: anak
laki-laki memakai emas atau sutera, atau anak perempuan memakai pakaian anak
laki-laki, atau berkata dusta, mencuri, mencela, atau bentuk maksiat yang
lain. Juga bukanlah termasuk bentuk kekerasan jika seorang muslim mendidik
anak perempuannya dengan rasa malu, menjaga kesucian dirinya, tidak berbaur
dengan laki-laki; karena barang siapa yang tumbuh dengan perbuatan tertentu
dihawatirkan ia akan melakukannya terus menerus.

Ibnul Qayyim –rahimahullah-
berkata:

“Seorang anak meskipun ia
belum menjadi seorang mukallaf, orang tua walinya yang mukallaf, haram
baginya untuk memudahkan akses perbuatan haram, karena jika ia terbiasa
melakukannya maka sulit untuk memisahkannya”. (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil
Maulud: 162)

Beliau –rahimahullah-
berkata:

“Barang siapa yang tidak
peduli dengan pendidikan anaknya dengan sesuatu yang bermanfaat dan
meninggalkannya tanpa manfaat, maka ia telah melakukan hal yang sangat buruk
sekali. Kebanyakan rusaknya masa depan anak-anak disebabkan oleh para orang
tua, mereka menelantarkan pendidikan mereka, dan tidak mengajarkan kepada
mereka kewajiban-kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Mereka menyia-nyiakan
masa kecil mereka. Mereka tidak bermanfaat bagi diri mereka dan juga tidak
bermanfaat bagi orang tua mereka ketika mereka sudah berusia lanjut”.
(Tuhfatu Maudud: 229)

Ulama Lajnah Daimah pernah
ditanya:

“Berkaitan dengan anak-anak
saya yang masih kecil. Apakah mengajari mereka dengan adab Islami dan
memaksa anak-anak perempuan sejak kecil agar memakai pakaian muslimah,
termasuk bentuk kekerasan dalam mendidik ?, dan jika perbuatan saya ini
benar, apakah dalilnya baik dari al Qur’an maupun hadits ?

Mereka menjawab:

“Apa yang telah anda sebutkan
dengan memaksa anak-anak perempuan untuk memakai pakaian longgar dan
tertutup dan membiasakannya memakai pakaian tersebut sejak kecil, maka hal
ini bukanlah termasuk bentuk kekerasan atau kekangan. Justru apa yang anda
lakukan sudah benar, dengan mendidik mereka dengan pendidikan Islam”.

(Syeikh Abdul Aziz bin Baaz,
Syeikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Syeikh Abdullah bin Ghadyan)

(Fatawa Lajnah Daimah:
25/285-286)

dan di dalam bukunya
“Majmu’atu As-ilatin Tahummul Usrah al Muslimah” Syeikh Muhammad bin Shaleh
al Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Para ulama berkata: Haram
hukumnya memakaikan pada anak-anak pakaian yang orang dewasapun haram
memakainya. Dan pakaian yang bergambar: apa yang haram dipakai oleh orang
dewasa maka memakaikannya untuk anak kecil haram juga”.

Maka sebaiknya bagi kaum
muslimin agar memboikot pakaian atau sepatu seperti yang disebutkan tadi,
hingga para pelaku kejahatan dan kerusakan tidak memasuki wilayah kita
melalui media tersebut. Jika diboikot maka mereka tidak akan mendapatkan
jalan untuk memasuki negara ini, dan meremehkan urusannya di antara 
mereka”.

Beliau ditanya sesudahnya:

“Apakah boleh memakaikan
anak-anak laki-laki apa yang dikhususkan bagi perempuan, seperti: emas,
sutera atau yang lainnya begitu sebaliknya ?”

Beliau menjawab:

“Hal ini sudah bisa difahami
melalui jawaban yang pertama di atas, bahwa para ulama berkata: “Haram
hukumnya memakaikan sesuatu yang haram dipakai oleh orang dewasa, atas dasar
itu maka haram hukumnya memakaikan anak laki-laki apa yang menjadi ciri khas
perempuan, demikian juga sebaliknya”.

Beliau juga ditanya
setelahnya:

“ Apakah masuk dalam hal ini
isbalnya pakaian anak laki-laki ?”

Beliau menjawab: “Ya, masuk”.

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android