Unduh
0 / 0

Setelah Berhubungan Intim, Ternyata Isterinya Sudah Bukan Perawan Lagi Atau Sudah Janda

Pertanyaan: 111329

Saya telah menikah dengan seorang wanita yang saya meyakininya bahwa dia masih perawan, namun ketika saya telah berhubungan dengannya ternyata dia sudah tidak gadis lagi. Maka saya menceraikannya dan mengambil mahar yang telah saya berikan kepada keluarga mereka. Patut diketahui sesungguhnya wanita yang saya nikahi mengakui bahwa dia sudah tidak gadis lagi pada malam di mana saya berhubungan dengannya dan dia mengatakan bahwa kedua orang tuanya telah mengetahui akan hal tersebut dan mereka dengan sengaja ingin mengelabui saya. Perempuan ini juga mengaku bahwa yang merampas kehormatannya adalah suami dari bibinya (adik perempuan ibunya) padahal dialah yang memediasi antara saya dan keluarga mereka. Apa yang harus saya lakukan dalam hal ini?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

..

Pertama :

Tidak diragukan lagi
sesungguhnya perbuatan zina merupakan kekejian tebesar yang syariat Islam
datang dan menganjurkan untuk menghindarinya. Sungguh syariat Allah Ta’ala
telah menurunkan hukum-hukum yang tidak sedikit jumlahnya agar seseorang
tidak sampai melakukan kekejian tersebut. Diantaranya adalah mengharamkan
melihat wanita yang bukan mahram, menyentuh mereka, berkhalwat bersama
mereka dan juga diharamkan bagi seorang wanita bepergian sendirian tanpa
disertai mahramnya dan lain sebagainya, yang bertujuan memutuskan jalan bagi
setan yang menggoda kaum muslimin agar mendekati kekejian tersebut. Kemudian
Allah Ta’ala menetapkan syari’at yang agung bagi pelaku kekejian ini. Maka
ditetapkanlah hukum seratus cambukan bagi seorang pezina laki-laki atau
perempuan yang belum pernah menikah, dan hukuman rajam dengan batu sampai
meninggal dunia bagi laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah.

Kedua :

Adapun khusus bagi seorang
istri dan keluarganya yang menutup-nutupi akan hilangnya keperawanannya, hal
demikian tersebut tidak menyalahi syari’at, karena Allah Ta’ala lebih
menyukai orang yang  merahasiakan aib dan akan memberikan balasan bagi siapa
saja yang telah menutupi aib. Seorang istri tidak harus memberitahukan
suaminya tentang hilangnya keperawanannya meskipun lenyapnya keperawanan
tersebut karena terjatuh, atau karena haid yang berat atau karena perbuatan
zina yang dia alami.  Syekh Bin Baaz Rahimahullah mengungkapkan
tentang masalah ini. Di bawah ini sebagian fatwa Ulama Allajnah Addaaimah :

1-Ulama
Al-lajnah Ad-daaimah ditanya: Seorang muslimah dimasa kecilnya mengalami
kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya lapisan keperawanannya, dan dia
telah melangsungkan akad nikah dengan suaminya akan tetapi belum melakukan
hubungan suami-istri. Kejadian lain yang sama kasusnya sebagaimana di atas
dan saat ini muslimah tersebut sedang dihadapkan pada pinangan beberapa
ikhwah yang hanif lagi komitmen terhadap syariat dan mereka berkeinginan
untuk menikahinya. Kedua muslimah tersebut saat ini sedang dirundung
kegalauan dengan perkara yang sedang mereka hadapi. Manakah yang lebih utama
dilakukan bagi muslimah yang sudah terlanjur melangsungkan akad nikah ini,
apakah dia harus memberitahukan suaminya kejadian tersebut sebelum
berhubungan intim ataukah lebih baik dia merahasiakannya? Dan bagi muslimah
yang belum melangsungkan pernikahan, apakah dia tetap merahasiakan perkara
tersebut karena khawatir tersebar keburukannya dan prasangka buruk
orang-orang kepadanya meskipun hal ini terjadi pada masa kecilnya dimana
pada saat itu dia belum akil balig, ataukah hal ini termasuk perbuatan
curang dan berkhianat, apakah perlu memberitahukan kepada lelaki yang datang
meminang dan bertujuan menikahinya?

Mereka para Ulama menjawab:
Secara syari’at bukanlah sebuah dosa apabila pihak wanita merahasiakan hal
tersebut. Namun, ketika suaminya menanyakannya setelah berhubungan badan
maka hendaklah dia menyampaikan yang sebenarnya. (Syekh Abdul Aziz Bin Baaz
dan Syekh Abdur Razzaq ‘Afifi, Fatawa Allajnah Addaaimah, 5/19)

2-Syekh
Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengungkapkan: Jika dia mengakui
bahwa kegadisannya telah lenyap dalam kejadian yang bukan merupakan
perzinaan, maka tidak ada dosa baginya, atau bahkan meskipun hilangnya
kegadisan tersebut karena perbuatan keji seperti pelecehan seksual atau
diperkosa, maka sesungguhnya hal ini tidak merugikan pihak suami. Jika
memang setelah kejadian tersebut dia telah kedapatan haid seperti sediakala,
atau karena perzinaan dan dia telah menyesal serta bertaubat. Karena bisa
jadi hal ini dia lakukan saat  belum paham tentang syari’at lalu setelah itu
dia menyesal dan bertaubat. Maka sudah tentu hal inipun tidak merugikan
pihak suami sama sekali, dan tidak seharusnya suami menyebarluaskan kejadian
tersebut bahkan sepatutnya dia menutupi aib istrinya, jika menurut dugaannya
sang istri jujur dalam mengutarakannya dengan penuh kejujuran dan
menampakkan keistiqomahannya, maka dia (suami) berkewajiban mempertahankan
pernikahannya. Namun jika sudah tidak ada lagi kecocokan maka pihak suami
boleh menceraikannya dengan tetap menutupi aibnya dan tidak menyebarluaskan
hal-hal yang menyebabkan fitnah dan keburukan.” (Fatawa Syekh Abdul Aziz bin
Baaz, 286-187/20)

Ketiga :

Jika seorang suami
mensyaratkan agar istrinya masih gadis lalu dia mendapatinya tidak sesuai
dengan apa yang ia harapkan, maka dia berhak menuntut Fasakh atau pembatalan
pernikahan. Bila hal demikian diketahuinya sebelum melakukan hubungan
suami-istri maka tidak ada sedikitpun mahar untuk istri. Namun jika dia
mengetahuinya setelah melakukan hubungan suami-istri dan pihak istrilah yang
mengelabuinya, maka dia berkewajiban mengembalikan semua maharnya. Apabila
wali dari istrinya atau orang lain yang mengelabuinya, maka mahar wajib
dibayarkan kepada sang suami.  

  Syekhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah mengungkapkan: Jika salah seorang dari suami
maupun istri mensyaratkan kepada pasangannya sifat-sifat tertentu, seperti
kesempurnaan, kecantikan, ketampanan, kegadisan dan lain sebagainya maka
yang demikian itu bisa dibenarkan. Dan yang memberikan syarat berhak
membatalkan pernikahan apabila tidak sesuai dengan kriteria syarat yang
diberikan. Ini merupakan salah satu riwayat yang paling benar dari Ahmad,
dan salah satu pendapat yang paling benar dari As Syafi’i, dan pendapat dari
mazhab Malik. Adapun pendapat yang lain menyebutkan, tidak berhak menuntut
pembatalan pernikahan, kecuali jika syaratnya masalah  merdeka dan kesamaan
dalam agama.” (Majmu’ Fatawa, 29/175)

Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata: Apabila mensyaratkan kesempurnaan fisik atau kecantikan, lalu ia
mendapatinya buruk rupa, atau mensyaratkan masih muda belia, padahal
kenyataannya sudah tua dan uban menyala di rambutnya, atau mensyaratkan
berkulit putih, lalu kenyataannya berkulit hitam, atau mensyaratkan masih
gadis, akan tetapi ia telah janda, maka dia (suami) boleh menuntut fasakh
(pembatalan pernikahan) terhadap itu semua.

Jika suami belum berhubungan
intim dengannya (apabila terjadi pembatalan pernikahan), maka tidak ada
mahar bagi istri. Adapun jika sudah behubungan suami-istri maka istri berhak
mendapat mahar yang telah ditentukan dan wali perempuan mendapat denda
apabila memang walinya mengelabui sang suami. Jika istri itu sendiri yang
mengelabuinya maka gugurlah kewajiban membayar mahar untuknya, atau suami
bisa menuntut istrinya dari kedustaan yang telah dilakukannya. Imam Ahmad
mengambil pendapat tersebut dalam salah satu riwayat dari beliau, karena
riwayat tersebut lebih mendekati kias dan lebih sesuai dengan ushul mazhab
beliau yaitu tentang jika suami yang memberikan syarat. (dari kitab “Zaadul
Ma’ad”,  5/184-185 )

Syekh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apabila kegadisan seorang
perempuan hilang karena berhubungan yang halal atau tidak halal, maka
bagaimana hukumnya dalam syari’at Islam jika seorang lelaki menikahinya
dengan menyertakan dua kondisi :

·
Kondisi pertama          : Apabila mensyaratkan kegadisan atau keperawanan.

·
Kondisi kedua              : Apabila tidak mensyaratkan kegadisan atau
keperawanan.

Apakah dia memiliki
kewenangan untuk meminta fasakh ataukah tidak?

Lalu beliau menjawab: Yang
sudah sama-sama dimaklumi di kalangan para ulama Fiqih adalah apabila
seseorang menikahi seorang wanita dengan penuh keyakinan bahwa dia masih
perawan, akan tetapi dia tidak menjadikan kegadisan sebagai syarat utama,
maka tidak ada pilihan baginya (tidak memiliki hak membatalkan pernikahan);
disamping karena bisa jadi kegadisan itu hilang sebab kurangnya kepedulian
seorang wanita terhadap dirinya sendiri, atau karena kecelakaan yang amat
kuat sehingga merobek keperawanan, atau disebabkan perzinaan di bawah
tekanan dan paksaan, maka selama kemungkinan-kemungkinan tersebut terjadi ;
tidak ada alasan bagi seorang suami untuk menuntut fasakh dengan
pernikahannya jika ia mendapati istrinya sudah tidak perawan lagi.

Adapun apabila suami
mensyaratkan wajibnya kegadisan sang istri dalam akad nikahnya, dan ternyata
dia mendapatinya sudah tidak perawan lagi, maka dia berhak memilih untuk
menuntut fasakh atau melanjutkan pernikahannya. (Dikutip dari kitab Liqoaat
Albab Al Maftuh, 67/soal no. 13).

Berdasarkan hal tersebut,
jika anda mensyaratkan pada saat akad nikah keharusan sebuah kegadisan atau
keperawanan, bagi anda berhak menuntut kembali mahar yang telah diberikan,
dan anda juga berhak menceraikannya jika memang anda berkehendak untuk itu
dan anda merasa tidak nyaman lagi hidup bersama istri anda. Adapun jika anda
tidak mensyaratkan kegadisan pada saat akad nikah, maka sama sekali anda
tidak berhak untuk menuntut kembali mahar yang telah diberikan. Nasehat yang
diberikan dalam hal ini adalah hendaknya anda tetap hidup bersama istri anda
dan menutupi aibnya jika memang dia telah bertaubat dengan taubat yang
sesungguhnya dan ada indikasi serta kemauan dia telah istiqomah dalam
menjalankan syari’at agama.

Wallahu A’lam..

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android