Unduh
0 / 0
723225/06/2008

Shalat Istikharah Untuk Menguatkan Di Antara Dua Pendapat

Pertanyaan: 112154

Apakah seorang muslim boleh istikharah untuk menguatkan salah satu dari pendapat para ulama? Misalnya jika kedua pendapat itu kuat dan dia ingin mengetahui mana keduanya yang benar, karena masing-masing berbeda.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Terdapat riwayat dari sebagian salaf bahwa mereka melakuakn
istikharah terhadap permasalah yang diperselisihkan, sebagaimana sebagian
mereka melakukan istikharah untuk menguatkan pendapat tentang nilai seorang
perawi yang diperselisihkan. Di antaranya,

1-Abdurrazzaq meriwayatkan dalam
Al-Mushannaf (10/301) dari Ibnu Musayyab, “Sesungguhnya Umar bin Khattab
menetapkan sebuah keputusan tentang (bagian waris) kakek dan kalalah
(Kalalah adalah seseorang mati
yang tidak meninggalkan ayah dan anak),
lalu dia istikharah kepada Allah Ta’ala dengan berkata, ‘Ya Allah, jika
Engkau tahu bahwa padanya terdapat kebaikan, maka berlakukanlah,’ Kemudian
saat dirinya ditikam, dia minta diambilkan tulisan keputusan tersebut lalu
menghapusnya. Tidak ada seorang
pun yang mengetahui apa yang terdapat di dalamnya. Lalu beliau berkata, ‘Aku
telah menetapkan (bagian waris) untuk kakek dan kalalah (Kalalah adalah

seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak),
lalu aku istikharah kepada Allah Ta’ala, lalu aku berpandangan untuk
meninggalkan kalian sesuai yang ada pada kalian.”

2-Imam Syafii
dikenal sebagai ulama yang paling sering istikharah dalam masalah ilmu.
Bahkan dia terus terang melakukan istikharah dalam kurang lebih empat belas
masalah. Dia antaranya adalah ucapannya dalam kitab Al-Umm (2/44), “Ada yang
berpendapat bahwa emas perhiasan harus dikeluarkan zakatnya. Permasalahan
ini termasuk yang saya istikharahkan kepada Allah Azza wa Jalla. Ar-Rabi
berkata bahwa dia telah istikharah dalam masalah ini. Telah menyampaikan
kepada kami Asy-Syafii, “Tidak ada zakat pada emas perhiasan.”

3-Demikian pula
halnya dengan Ibnu Hibban dari kalangan pakar hadits. Beliau istikharah
kepada Allah Ta’ala tentang para perawi yang samar bagi mereka kedudukannya.
Beliau sering berterus terang tentang hal itu dalam kitab-kitabnya,
khususnya dalam kitab Al-Majruhin. Di antaranya adalah perkataannya dalam
(1/194), “Bahaz bin Hakim bin Muawiyah bin Haidah Al-Qusyairi; Penduduk
Bashrah, dia meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya. Telah meriwayatkan
darinya Ats-Tsauri, Hamad bin Salamah. Dia sering keliru. Adapun Ahmad bin
Hambal dan Ishaq bin Ibrahim keduanya menjadikannya sebagai landasan dan
meriwayatkan darinya. Sejumlah tokoh ulama dikalangan kami meninggalkannya.
Kalau bukan karena hadits (Sesungguhnya kami mengambil separuh untanya,
karena keputusan diantara keputusan Tuhan kami), pasti saya masukkan
dikalangan para ulama’ terpercaya (tsiqoh).  Dia termasuk orang yang saya
beristikharah kepada Allah Ta’ala tentangnya.”

Banyak contoh para ulama yang melakukan
istikharah saat sebuah perkara tampak samar bagi mereka. Yang saya sampaikan
baru sebagian kecilnya saja untuk menunjukkan hal tersebut.

Akan tetapi, apakah makna ucapan para
ulama bahwa ‘Perkara tersebut termasuk yang saya istikharahkan?’ Yang tampak
adalah bahwa itu merupakan doa kepada Allah Ta’ala agar mereka diberi
petunjuk untuk menguatkan suatu pendapat. Dan yang benar diantara pendapat
dalam masalah atau perowi. Mereka bukan melakukan shalat istikharah dengan
shalat dan doa istikharah (yang dikenal). Karena hal itu tidak sesuai antara
doa dengan apa yang mereka inginkan. Dalam doa istikharah terdapat kalimat,
‘Takdirkan bagiku dan mudahkan bagiku serta berkahi aku di dalamnya.”
Bagaimana hal ini dapat berlaku dalam salah satu masalah fiqih atau tentang
kedudukan salah seorang perawi hadits?!

Yang nampak bahwa para imam memohon
kepada Allah Ta’ala taufik dan kebenaran dalam permasalahan ilmu, dimana
mereka tidak berdoa dengan doa istikharah disertai dengan shalatnya.

Tujuan dari istikharah adalah mencari
hidayah dari Allah Ta’ala untuk mendapatkan kebaikan dari dua perkara yang
masih samar dan membuatnya ragu. Karena hidayah dan taufiq dari Allah
Ta’ala, dia mengetahui sedangkan kita tidak mengetahui, Dia Maha Mengetahui
perkara yang gaib. Siapa yang bersandar hanya kepada dirinya maka dia akan
sesat, siapa yang berpedoman hanya kepada akalnya dan tidak minta tolong
kepada Tuhannya, dia akan binasa. Perkara utama yang wajib bagi seorang
hamba meminta tolong kepada Allah adalah dalam memahami agama yang benar dan
memilih pendapat yang paling benar dan istikharah merupakan salah satu
sarana untuk meraih hal itu, bahkan boleh jadi cara lebih kuat untuk memilih
salah satu di antara dua perkara yang dalil-dalilnya satu sama lain masih
samar. 
Tidak mengapa seorang imam
dan ahli fiqih ketika memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan taufiq pada
kebenaran dalam beberapa masalah, sebelumnya dia melakukan shalat. Mungkin
perbuatan ini yang sudah terlanjur dinamakan ‘istikharah’, atau disandarkan
kepada doanya bukan kepada shalatnya. Adapun shalat dan doa istikharah yang
telah dijelaskan dalam riwayat hadits Jabir yang masyhur, tidak mungkin itu
yang dimaksud dalam ucapan para ulama bahwa mereka beristikharah kepada
Allah Ta’ala dalam hal ini dan itu.

Terakhir:

Jangan dikira bahwa istikharah dalam
beberapa masalah ilmu bertentangan dengan apa yang Allah perintahkan untuk
mengikuti dalil dan bukti. Kembali kepada istikharah dilakukan apabila
dalilnya tidak ada atau tidak tampak atau ada dalil lain yang sederajat dan
bertentangan. Atau ketika masalah tersebut masih samar bagi seorang ulama
dan sulit memahaminya. Sama sekali bukan untuk meninggalkan dalil dan bukti.
Akan tetapi di dalamnya terdapat permohonan pertolongan kepada Allah Ta’ala
untuk memiliki pemahaman dan bersandar kepada al-haq. Nabi shallallahu
alaihi wa sallam telah meminta kepada Tuhannya agar dia diberi petunjuk
kepada kebenaran.

Dari Aisyah Ummul Mu’minin radhiallahu anha dia berkata, “Dahulu Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, biasanya jika shalat malam, beliau mengawali
shalatnya dengan membaca,

اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ ، فَاطِرَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ، أَنْتَ
تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ، اهْدِنِي
لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ
تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ) . رواه مسلم ( 770 )

“Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail,
Israfil, Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui perkara gaib dan tampak,
Engkau yang Maha menetapkan di antara hamba-Mu apa yang mereka perselishkan.
Berilah aku petunjuk apa yang mereka perselisihkan kepada kebenaran atas
izin-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Petunjuk siapa yang Engkau
kehendaki ke jalan yang lurus.” (HR. Muslim,
no. 770)

Lihat dalam shalat istikharah dan sebagian hukumnya dalam
jawaban soal no. 2217 dan 11981.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

answer

Tema-tema Terkait

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android