Seorang pelamar mendatangi bapak saya untuk melamar saya, setelah terjadi kesepakatan termasuk penentuan mas kawin, dia berkata kepada bapak saya dan ia berniat untuk menikahi saya: “Anda nikahkan putri anda sekarang dan saya akan membawanya sekarang dan pulang”. Bapak saya menjawab dengan bercanda: “Ambil saja, semoga keselamatan menyertai kalian”. Peristiwa tersebut terjadi di hadapan lima orang laki-laki dan beberapa orang wanita, setelah itu dia mengklaim bahwa saya sudah menjadi istrinya menurut syari’at, dan saya sudah tidak bisa lagi menikah dengan orang lain sampai dia menceraikan saya, dia berdalil dengan sebuah hadits:
اثنان جدهما جد وهزلهما جد : الزواج والطلاق
“Dua hal yang serius dan candanya tetap dianggap serius: pernikahan dan perceraian”.
Apakah benar demikian ?, sejauh mana tingkat shahihnya hadits tersebut ?, apakah ada perbedaan di antara para ulama ?
Pelamar Berkata: “Apakah Anda Mau Menikahkan Putri Anda ? “ Bapaknya Berkata Sambil Bergurau: “Ambil Saja ! “ Apakah Yang Demikian Sudah Dianggap Nikah ?
Pertanyaan: 131337
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Di antara yang termasuk rukun nikah adalah adanya ijab dan qabul, ijab adalah pernyataan dari wali: “Saya menikahkan putri saya…”, sedangkan qabul adalah jawaban dari mempelai laki-laki: “saya terima”.
Apa yang anda sebutkan terdiri dari tiga masalah:
1. Sahnya pernikahan tanpa dengan redaksi:
أنكحت و زوجت
“Saya nikahkan dan saya kawinkan…”
2. Penyebutan qabul dari mempelai laki-laki didahulukan dari pada ijab dari wali
3. Lafadz yang diucapkan oleh mempelai laki-laki bentuknya pertanyaan
Masalah Pertama:
Para ahli fikih berbeda pendapat, Hanaiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pernikahan itu juga dianggap sah tanpa harus dengan lafadz: أنكحت وزوجت , mereka merinci penjelasannya dalam masalah ini.
Pendapat yang kuat adalah pernikahan itu sah dengan lafadz apapun yang maknanya sudah mewakili. Pernyataan wali di atas: “Ambillah, semoga Allah memberikan keselamatan”, adalah lafadz yang menunjukkan adanya rasa setuju dan menerima (qabul). (asy Syarhul Mumti’ :2/38)
Masalah Kedua:
Mendahulukan qabul dari pada ijab tidak sah menurut Hanabilah, dan tetap sah menurut jumhur ulama.
Atas dasar inilah, maka kejadian tersebut tidak sah menurut Hanabilah, dilihat dari sisi mendahulukan qabul dari pada ijab atau ucapan mempelai laki-laki dahulu dari pada wali.
Ibnu Qudamah al Hambali –rahimahullah- berkata: “Jika qabul didahulukan dari pada ijab, maka tidak sah. Baik dengan redaksi lampau, contoh: “Saya telah menikahi putri anda”, maka wali menjawab: “Saya menikahkannya untukmu” atau dengan redaksi permintaan, contoh: “Nikahkanlah putri anda dengan saya”, wali menjawab: “Saya telah menikahkannya untukmu”.
Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i : Semua redaksi di atas adalah sah; karena sudah ada ijab dan qabul (serah terima) maka pernikahan tersebut sudah sah, demikian juga ketika ijab didahulukan.
Dan yang berpendapat tidak sah beralasan bahwa qabul itu ada karena adanya ijab, maka kalau qabul didahulukan itu bukan qabul namanya, karena secara makna sulit diterima, maka tidak sah. Demikian juga ketika didahulukan dengan redaksi pertanyaan”. (al Mughni: 7/61)
Masalah Ketiga:
Lafadz yang diucapkan bentuknya pertanyaan, maka ini menunai beberapa perbedaan:
Hanabilah menyatakan tidak sah
Syafi’iyyah menyatakan sah tapi dengan syarat mempelai laki-laki setelah wali mempelai wanitanya menjawab mengatakan: “Saya telah menikahinya”.
Hanafiyyah menyatakan dikembalikan kepada keadaan pada saat kedua mempelai berada di sana, jika majelis tersebut memang diperuntukkan untuk akad nikah, maka dianggap sah. Dan jika majelis tersebut untuk perjanjian saja, maka dianggap janji.
Dan di dalam “Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah” (41/293) disebutkan: “Adapun lafadz yang bentuknya pertanyaan, maka Hanafiyah berpendapat: Kalau jelas-jelas sebagai pertanyaan, maka difahami sesuai kondisinya. Disebutkan dalam “Syarh Thahaqi”: Kalau misalnya mempelai laki-laki berkata: “Apakah anda memberikannya kepadaku ?”, Lalu dijawab oleh wali: “Saya telah memberikannya”. Jika disebutkan dalam majelis janji, maka dianggap janji dan jika dalam majelis akad, maka itu dianggap pernikahan sah. Ar Rahmati berkata: “Maka kami meyakini bahwa yang dianggap adalah apa yang nampak dari pembicaraan dari keduanya bukan pada niat mereka, tidak anda melihat bahwa pernikahan itu bisa sah dengan bercanda, dan orang yang bercanda itu tidak berniat untuk menikah”.
Syafi’iyyah berkata: “Kalau suami berkata: “Apakah anda mau menikahkan putri anda ?”, dan walinya menjawab: “Saya menikahkanny kepadamu”, maka tidak sah, kecuali mempelai laki-laki mengucapkan setelah itu: “Saya telah menikahinya”.
Hanabilah berpendapat jika ijab didahulukan dengan lafadz pertanyaan, maka tidak sah.
Bisa dibaca pada: Hasyiyatu Ibni Abidin: (3/11), al Umm / Imam Syafi’i: (5/25), Raudhatut Tholibin: (7/39) dan Kasyful Qona: (5/40)
Karena mempelai laki-laki telah mengucapkan dengan bentuk pertanyaan, dan disebutkan dahulu sebelum wali. Jawaban wali mengatakan: “Ambillah, semoga Allah memberikan keselamatan”. Kejadian di atas bukanlah pernikahan yang sah menurut Hanabilah; karena qabulnya didahulukan dan bentuknya pertanyaan, dan karena walinya tidak menggunakan redaksi:
أنكحتك وزوجتك
Tidak sah juga menurut Syafi’iyyah; karena mempelai laki-laki tidak mengucapkan qabulnya setelah persetujuan wali: “Saya telah menikahinya”. Juga karena wali tidak menggunakan lafadz:
أنكحتك وزوجتك
Tidak sah juga menurut Hanafiyyah; karena kondisinya berada pada majelis khitbah (pinangan) dan janji bukan majelis akad nikah.
Atas dasar itu semua maka kejadian tersebut tidak sah sebagai pernikahan.
Adapun hadits yang disebutkan di atas adalah diriwayatkan oleh Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ثَلاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ : النِّكَاحُ ، وَالطَّلاقُ ، وَالرَّجْعَةُ ) رواه أبو داود (2194) والترمذي (1184) وابن ماجه (2039) واختلف العلماء في تصحيحه وتضعيفه ، وقد حسنه الألباني في “رواء الغليل” (1826) .
“Tiga perkara yang serius dan candanya tetap dianggap serius: pernikahan, talak dan rujuk”. (HR. Abu Daud: 2194 dan Tirmidzi (1184) dan Ibnu Majah (2039). Para ulama berbeda pendapat terkait shahih dan dho’ifnya hadits tersebut, namun telah dihasankan dalam “Irwa’ Gholil” : 1826)
Kalaupun sudah terjadi ijab dari wali, lalu qabul dari mempelai laki-laki, dan dengan redaksi bentuk lampau, dengan kata: أنكحتك وزوجتك , dihadiri juga oleh dua orang saksi, mempelai berdua sebenarnya hanya bercanda, atau salah satunya yang bercanda, maka pernikahannya adalah sah menurut jumhur ahli fikih dan sesuai dengan hadits di atas.
Bisa dilihat juga pada: Fathul Qadir: (3/199), al Mughni: (7/61), Kasyful Qona’: (5/40), Hasyiyatud Dasuqi: (2/221), Bulghotus Salik: (2/350), Nihayatul Muhtaj: (6/209) dan Raudhatut Tholibin: (8/54).
Wallahu a’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam