Pertanyaan-pertanyaanku adalah;
1- Apakah apa informasi pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa mereka memberikan syarat kepada suami saat akad nikah bahwa dia tidak boleh menikah dengan wanita yang lain. Bukankah hal tersebut merupakan bentuk pengharaman apa yang Allah halalkan?
2- Jika seoranag suami telah berjanji kepada isterinya agar tidak menikah lagi saat hubungan mereka masih sah sebagai suami isteri, apakah dia harus menepatinya? Ataukah dia masih berhak menikah lagi dengan wanita lain? Perlu diketahui bahwa janji tersebut telalu berlalu sekian tahun setelah pernikahan. Maksudnya tidak tertera dalam akad pernikahan.
3- Jika jawaban dalam soal kedua adalah ‘Ya’, apakah janji tersebut tergolong perkara yang harus ditepati walaupun terlaksana di bawah tekanan?
4- Apakah sang suami berdoa jika tidak memenuhi janjinya terhadap isteri pertama dengan melangsungkan pernikahan keduanya?
JIKA MEMBERIKAN SYARAT TIDAK MENIKAH LAGI, APAKAH HARUS DIPENUHI
Pertanyaan: 143120
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama.
Kalau wanita memberikan syarat kepada suaminya agar tidak kawin lagi, maka syarat ini sah dan harus dipenuhi. Kalau sang suami kawin lagi, maka sang wanita berhak menuntut fash (berpisah). Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, 2721 dan Muslim, 1418. Sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
“Syarat yang paling layak untuk dipenuhi adalah apa menyebabkan kemaluannya menjadi halal bagi kalian (syarat dalam pernikahan).”
Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ ، إِلا شَرْطًا حَرَّمَ حَلالا ، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا (رواه الترمذي (1352) وأبو داود (3594) وصححه الألباني في صحيح الترمذي)
“Orang Islam itu selalu berpedoman pada syaratnya, kecuali syarat yang mengharamkan halal atau menghalalkan haram.” (HR. Tirmizi, 1352. Abu Daud, 3594 dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih At-Tirmizi.
Syarat tersebut tidak mengharamkan yang halal, cuma membatasi wewenang laki-laki sehingga istri mempunyai hak untuk pisah. Persyaratan seperti ini sudah pernah terjadi pada masa shahabat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Karena seseorang menikahi wanita dengan syarat agar tidak kawin lagi, maka masalah itu diadukan kepada Umar. Lalu beliau berkata, “Hak-hak diputuskan sesuai persyaratan.”
Al-Fatawa Al-Kubro, 3/124.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Sekumpulan itu bahwa syarat dalam nikha dibagi menjadi tiga bagian, salah satunya adalah apa yang harus ditepati. Yaitu apa yang kembali kepada (wanita) kemanfaatan dan faedah. Seperti dia boleh mensyaratkan agar tidak dikeluarkan dari rumahnya, negara, atau agar tidak bepergian dengannya, tidak menikah dengannya atau berkumpul (berbulan madu) dengannya maka, ini harus dipenuhi. Kalau tidak melakukannya, dia (wanita) dapat menfasakh (membatalkan) pernikahannya. Ini diriwayatkan dari Umar bin Khottob radhiallahu’anhu, Saad bin Abi Waqqas, Muawiyah, Amr bin Ash radhiallahu’anhum. Ini termasuk pendapat Syuraikh, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thowus, Al-Auza’i, Ishaq. Sementara yang membatalkan syarat ini adalah Az-Zuhri, Qatadah, Hisyam bin Urwah, Malik, AL-Laits, Ats-Tsauri, Syafii, Ibnu AL-Munzir dan pengikut logika (rakyu). Selesai dari kitab ‘Al-Mugni, 9/483.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang lelaki menikah dengan wanita, sementara (wanita) mensyaratkan agar tidak kawin lagi, tidak dipindah dari rumahnya, bersama dengan ibunya dan dia menyetujuinya. Apakah dia diharuskan menepati janji. Kalau menyeleweng dari persyaratan ini, apakah istri diperbolehkan fash (pisah) atau tidak?
Beliau menjwab: “Ya. Syarat ini sah dan yang semaknanya dalam mazhab Imam Ahmad dan lainnya dari kalangan shahabat dan tabiin, seperti Umar bin Khottob, Amr bin Ash, Syuraikh AL-Qodhi, AL-Auza’i, dan Ishaq. Sementara mazhab Malik, kalau dia mensyaratkan ‘kalau kawin lagi’ atau berkumpul (berbulan madu) maka urusannya ada ditangannya (wanita) atau pendapatnya atau semisal itu. maka syarat itu sah juga. Dan wanita memiliki hak untuk pisah pada dirinya. hal itu semakna dalam mazhab Ahmad. Hal itu sebagaimana yang dikeluarkan dalam shohehain dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
( إن أحق الشروط أن توفوا به ما استحللتم به الفروج )
‘Sesungguhnya syarat yang paling berhak ditepati adalah apa yang menjadikan halal bagi kemaluan’
Umar bin Khottoba rahiallahu’anhu berkata: “Hak-hak diputuskan sesuai persyaratan.” Maka Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah menjadikan apa yang jadi halal untuk kemaluan yang mana ia merupakan bagian dari syarat itu lebih berhak untuk ditepati daripada yang lainnya. Selesai dari kitab ‘AL-Fatawa Al-Kubro, 3/90.
Kedua,
Syarat-syarat ini dianggap jikalau telah terjadi kesepakan dengan (wanita) waktu akad nikah. Kalau dia tanda tangan setelah akad, maka itu merupakan janji. Maka istri tidak diberi hak fasakh (pisah). Akan tetapi bagi suami diharuskan menepati janjinya. Dikarenakan keumuman dalil yang menyuruh untuk menepati janji. Seperti firman Allah ta’ala, ‘Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. SQ. Al-Israa’: 34. Dan sabda Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam,
(اضمنوا لي ستا من أنفسكم أضمن لكم الجنة : اصدقوا إذا حدثتم ، وأوفوا إذا وعدتم ، وأدوا إذا ائتمنتم ، واحفظوا فروجكم ، وغضوا أبصاركم ، وكفوا أيديكم) رواه أحمد (22251) وحسنه الألباني في صحيح الجامع برقم (1018)
“Jaminlah diriku enam hal dari diri kamu semua, maka saya akan jamin kamu semua dengan surga, jujurlah ketika berbicara, penuhi (janji) kalau berjanji, tunaikan (amanat) kalau diberi amanat, jagalah kemaluan, tundukkan pandangan dan tahan tangan kalian. HR. Ahmad, 22251. Dihasankan oleh Al-Bany di shoheh AL-Jami’ no. 1018.
Karena tidak menepati janji termasuk diantara sifatnya orang munafiq. Silahkan melihat soal jawab no. 30861.
Wallahu’alam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam