Ibu saya meninggal sedangkan dia memiliki hutang shalat selama dua bulan karena disebabkan oleh kanker. Dia sudah berencana mengqadhanya. Demikian pula dia punya hutang puasa Ramadhan sebelum yang lalu, ketika dia masih sehat. Apa langkah yang benar terhadap ibadahnya. Perlu diketahui bahwa saya memiliki sejumlah saudara perempuan yang dapat saling membantu untuk mengqadhanya. Apakah sampai kepadanya pahala haji, karena dia belum pernah berhaji?
Meninggalkan Shalat Ketika Sakit, Kemudian Meninggal, Apakah Ahli Warisnya Harus Melakukan Sesuatu?
Pertanyaan: 145290
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Shalat merupakan rukun Islam yang paling besar setelah Syahadatain. Maka wajib bagi setiap muslim untuk menjaganya dan tidak gugur selama akalnya masih berfungsi.
Sebagai tambahan, silakan baca jawaban soal no. 95220
Kedua:
Anda tidak menyebutkan apakah ibu anda ketika itu tidak sadarkan diri atau tidak? Jika melihat zahir pertanyaan, tampaknya ibu anda masih sehat akalnya saat sakit, dengan dalil dia berniat untuk mengqadha shalat tersebut.
Secara umum, orang yang meninggalkan shalat saat sakit tidak sunyi dari dua kondisi;
- Meninggalkan shalat saat sakit, karena hilang akalnya. Dia juga tidak wajib qadha, jika ternyata kemudian sembuh kembali.
- Meninggalkan shalat saat saat sakit padahal akalnya masih sadar, namun dia tinggalkan dengan perkiraan bahwa shalat tidak diwajibkan dalam kondisi seperti itu. Orang seperti ini semoga mendapatkan ampunan Allah karena ketidaktahuannya. Meskipun yang wajib bagi seorang muslim, untuk belajar perkara agamanya.
Dalam kedua kondisi tersebut, tidak perlu diqadha untuknya, apabila dia meninggalkan setelah itu.
Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah, 25/257, “Jika orang tua ana saat sakit, hilang akalnya, tidak sadar sama sekali, maka shalat gugur baginya. Karena ketika itu dia bukan orang yang terkena kewajiban beban. Karena beban kewajiban shalat dikaitkan dengan akal, sementara dia telah hilang akal. Adapun jika akal dan kesadarannya tidak hilang, akan tetapi dia meninggalkannya karena tidak tahu bahwa dirinya tetap diwajibkan untuk melaksanakannya sesuai kemampuannya, semoga Allah memaafkan dan menerima uzurnya karena ketidaktahuannya dan tidak adanya orang yang menjelaskan hukum syar’i hingga akhirnya dia meninggal, semoga Allah merahmati dan mengampuninya. Dalam kedua kondisi tersebut, tidak boleh dilakukan shalat untuk orang tua anda. Karena shalat tidak boleh dilakukan untuk orang lain. Asalnya shalat tidak dapat diwakilkan.”
Ketiga:
Adapun qadha puasa, jika dia meninggalkan qadha tanpa uzur, maka disunahkan untuk melakukan puasa untuknya, berdasarkan riwayat Bukhari, no. 1952 dan Muslim, no. 1935, dari hadits Aisyah radhiallahu anha, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Siapa yang meninggal sedangkan dia memiliki tanggungan puasa, maka walinya melakukan puasa untuknya.”
Sebagai tambahan, lihat jawaban soal no. 130283 dan no. 130647
Dibolehkan mengqadha puasa untuk mayat dari ahli warisnya, sekali untuk setiap hari, boleh juga qadha dilakukan oleh beberapa ahli waris.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Masalah; Apakah jika kita katakan bahwa puasa tersebut (qadha untuk mayat) mencakup perkara wajib berdasarkan pokok syariat, atau wajib karena nazar, maka dia harus dilakukan seorang saja dari ahli warisnya, karena puasanya wajib atas satu orang? Beliau menjawab, tidak harus, karena beliau bersabda, “Hendaknya walinya berpuasa untuknya.” Dalam bentuk mufrad dan diidhafahkan (disandarkan), maka hal itu berarti berlaku umum untuk seluruh walinya yang menjadi ahli warisnya. Jika misalnya orang tersebut memiliki lima belas anak, dan setiap anak ingin melakukan puasa dua hari dari 30 hari hutang puasa mayat, maka hal itu boleh. Seandainya ahli warisnya ada 30 dan setiap orang berpuasa satu hari, maka hal itu boleh, karena mereka (keseluruhan) dianggap berpuasa 30 hari. Tidak ada bedanya apakah mereka berpuasa pada satu hari, atau jika salah seorang berpuasa hari ini, maka yang lain berpuasa esok harinya, hingga sempurna 30 hari.” (Asy-Syarhul Mumti’, 6/452)
Keempat:
Siapa yang pergi haji atau umrah untuk kedua orang tuanya, sedangkan sebelumnya dia telah melakukan haji untuk dirinya sendiri, maka pahala haji dan umrahnya itu akan sampai kepada kedua orang tuanya. Maka perbuatan anak tersebut merupakan salah satu bentuk bakti kepada kedua orang tuanya.
Imam Muslim no. 1939, meriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya radhiallahu anhu, dia berkata,
بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ ، فَقَالَتْ : إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ ، وَإِنَّهَا مَاتَتْ قَالَ ، فَقَالَ : وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ . قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي عَنْهَا . قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا
“Ketika kami duduk di sisi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, datanglah seorang wanita, dia berkata, ‘Sungguh aku telah bersadaqah seorang budak wanita kepada ibuku, lalu ibuku meninggal.’ Beliau berkata, ‘Pahalanya telah berlaku, dan kini dia dikembalikan kepada anda dalam bentuk waris.’ Dia berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, jika dia memiliki hutang puasa sebulan, bolehkah aku berpuasa untuknya?’ Beliau bersabda, ‘Berpuasalah untuknya’ Dia berkata lagi, ‘Sesungguhnya dia belum pernah menunaikan haji sama sekali, apakah aku menunaikan haji untuknya?’ Dia berkata, ‘Lakukanlah haji untuknya.”
Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah, 25/257, “Adapun haji dan umrah anda untuk kedua orang tua anda, maka itu termasuk bentuk bakti anda kepada kedua orang tua, juga jika anda bersadaqah kepadanya dari waktu ke waktu. Juga dengan anda mendoakannya dan memohonkan ampunan untuknya serta bersilarurahim kepada kerabatnya dan teman-temannya serta berbuat baik kepada mereka. Semua itu merupakan bentuk bakti kepada kedua orang tua anda setelah kematiannya. Baginya pahala yang banyak Insya Allah atas apa yang telah anda berikan di jalan itu.”
Sebagai tambahan, lihat jawaban soal no. 763 dan no. 104606
Wallahu a’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait