Unduh
0 / 0
535321/03/2010

Kondisi-Kondisi Dimana Seorang Suami Diperbolehkan Menjadikan Istrinya Merasa Terhimpit Agar Dia Mengembalikan Maharnya

Pertanyaan: 146100

Apakah menjadikan istri merasa terhimpit itu diharamkan secara muthlak ? Dan apakah diperbolehkan bagi suami menjadikan istrinya sengsara, merasa terhimpit dan mengganggunya agar dia menuntut khulu’ dan mengembalikan mahar kepada suaminya karena diketahui istrinya memiliki akhlak dan perangai yang buruk dan tidak menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang istri ? Dan bagaimana pula menggabungkan pemahaman antara ayat- ayat berikut :

Antara firman Allah Ta’ala :

( وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ )

“Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata ”.

dan firman Allah Ta’ala :

)وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا * وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا ) النساء 21/ -20.

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An Nisaa’ / 20-21).

Dan firman Allah Ta’ala :

( ولا تمسكوهن ضراراً لتعتدوا )

“Dan janganlah kalian mempertahankan dan merujuki mereka – para istri – untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka…” QS Al Baqarah : 231.

Dan bagaimanakah memberikan alasan kepada orang yang mengatakan bahwasannya seorang suami tidak memiliki hak untuk menuntut kembali mahar yang telah dibayarkan kepada istrinya karena hal itu sama dengan mengambil hak istri setelah dia mendapatkan kehalalan darinya yang pada mulanya diharamkan atasnya ( yaitu kemaluannya )? Dan mengapa dihalalkan bagi suami mengambil mahar yang telah diberikan setelah dihalalkannya sesuatu yang sebelumnya diharamkan ??

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

.. 

Pertama :

Yang dimaksud dengan menyusahkan istri adalah
menjadikannya terhimpit kehidupannya dan tidak nyaman agar dia menebus dari
suami dengan menyerahkan maharnya, dan maksud dari menyengsarakan ini ada
perinciannya :

Diperbolehkan menjadikan kehidupan istri
terhimpit apabila istri melakukan kekejian, atau membangkang dalam
meninggalkan yang wajib, atau dia melakukan perlawanan terhadap suami dan
tidak mentaatinya, maka dijadikanlah kehidupannya terhimpit agar dia
melakukan gugatan khulu’ dan menebus dari suaminya dengan menyerahkan
maharnya. Dan diharamkan penyusahan ini jika sama sekali istri tidak
melakukan hal tersebut diatas. 

Allah Ta’ala berfirman :


يَا
أَيُّهَا
الَّذِينَ
آمَنُوا
لَا

يَحِلُّ
لَكُمْ

أَنْ

تَرِثُوا
النِّسَاءَ
كَرْهًا
وَلَا

تَعْضُلُوهُنَّ
لِتَذْهَبُوا
بِبَعْضِ
مَا

آتَيْتُمُوهُنَّ
إِلَّا

أَنْ

يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ
مُبَيِّنَةٍ
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
فَإِنْ

كَرِهْتُمُوهُنَّ
فَعَسَى
أَنْ

تَكْرَهُوا
شَيْئًا
وَيَجْعَلَ
اللَّهُ
فِيهِ

خَيْرًا
كَثِيرًا )

النساء/19

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan
keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. An
Nisaa’ / 19. 

Dan yang dimaksud kekejian adalah : zina
secara umum, membangkang dan melakukan kemaksiatan, dan ucapan yang buruk
atau jelek sebagaimana yang akan diterangkan.

Ibnu Katsir Rahimahullah meriwayatkan dari
Zaid bin Aslam, dalam firmannya :

“(

لا

يَحِلُّ

لَكُمْ

أَنْ

تَرِثُوا

النِّسَاءَ

كَرْهًا
)

tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa. Terkait ayat tersebut : dahulu penduduk Yatsrib di masa
jahiliyyah apabila meninggal seorang lelaki dari mereka, orang atau ahli
waris yang mewarisi harta benda si mayyit tersebut akan mewarisi istrinya,
lalu dia membuat sengsara kehidupan istri si mayyit sehingga dia bisa
mewarisi hartanya, atau dia menikahkan wanita tersebut dengan orang yang ia
kehendaki, dan dahulu penduduk Tihamah kaum lelakinya sangat buruk
prilakunya terhadap istrinya hingga ia menceraikannya, dan mensyaratkan
kepada istrinya agar ia tidak menikah lagi kecuali dengan lelaki yang ia
kehendaki, sehingga dia menebus dari suaminya dengan sebagian harta yang
telah diberikan suaminya kepadanya, maka Allah Ta’ala melarang yang demikian
dari orang-orang beriman. Hadits riwayat Ibnu Abi Hatim ”.  

Kemudian Ibnu Katsir berkata : “ Dan firman
Allah :

(

وَلا

تَعْضُلُوهُنَّ

لِتَذْهَبُوا

بِبَعْضِ

مَا

آتَيْتُمُوهُنَّ
)

“ dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya ”. maksudnya adalah : Janganlah kalian menyusahkan mereka dalam
mempergauli istri kalian dengan tujuan agar dia meninggalkan kepada anda
maharnya atau sebagian dari maharnya atau salah satu hak dari hak-haknya
kepada anda, atau sesuatu dari itu semua dengan cara kekerasan, paksaan atau
penekanan. 

Dan Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu
Abbas, yang dimaksud dengan firman Allah :

(

وَلا

تَعْضُلُوهُنَّ
)

“ dan janganlah kalian menyusahkan mereka ”
adalah : dan janganlah melakukan kekerasan kepada mereka (

لِتَذْهَبُوا

بِبَعْضِ

مَا

آتَيْتُمُوهُنَّ
) karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian
berikan kepadanya”, maksudnya adalah : seorang lelaki memiliki istri dan dia
amat tidak menyukai perangai dan pergaulan istrinya tersebut, padahal dia
memiliki kewajiban untuk membayar mahar bagi sang istri, maka dia
menyusahkan istrinya agar dia menebus dirinya dari suaminya dan demikian
juga sebagaimana yang dikatakan oleh ad Dlohhaak, Qatadah dan bukan hanya
seorang selain mereka, dan pendapat ini yang diambil oleh Ibnu Jarir at
Thobari. 

Adapun firman Allah Ta’ala :

(

إِلَّا

أَنْ

يَأْتِينَ

بِفَاحِشَةٍ

مُبَيِّنَةٍ )

“kecuali bila mereka melakukan kekejian yang
nyata”, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id bin al Musayyab, As Sya’bi, Hasan al
Bashri, Muhammad bin Shalih, As Suddi, Zaid bin Aslam dan Sa’id bin Abi
Hilal mereka semua mengatakan maksud dari kekejian dalam ayat tersebut
adalah : perbuatan zina, yaitu : apabila seorang istri melakukan perbuatan
zina maka anda memiliki hak untuk meminta kembali mahar yang telah anda
berikan kepadanya, yaitu dengan cara anda menyusahkan dan menjadikan dia
terhimpit sehingga dia menuntut khulu’ kepada anda dan meninggalkan maharnya
untuk anda, sebagaimana Firman Allah Ta’ala dalam surat Al Baqarah tersebut
:  

(

وَلا

يَحِلُّ

لَكُمْ

أَنْ

تَأْخُذُوا

مِمَّا

آتَيْتُمُوهُنَّ

شَيْئًا

إِلا

أَنْ

يَخَافَا

أَلا

يُقِيمَا

حُدُودَ

اللَّهِ

فَإِنْ

خِفْتُمْ

أَلا

يُقِيمَا

حُدُودَ

اللَّهِ

فَلا

جُنَاحَ

عَلَيْهِمَا

فِيمَا

افْتَدَتْ

بِهِ
)

الآية[البقرة:229

 Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari
sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya. Al Baqarah / 229. 

Ibnu Abbas, ‘Ikrimah dan Ad Dlohhaak berkata
: maksud dari perbuatan keji yang nyata adalah : Perbuatan membangkang,
melawan dan melakukan kemaksiatan kepada suami.

Dan Ibnu Jarir berpendapat bahwasannya
kekejian tersebut menyangkut semuanya yaitu : Zina, melakukan kemaksiatan,
menentang suami, omongan yang kotor lagi jorok dan lain sebagainya.

 Ibnu Katsir menafsirkan : maksudnya adalah
sesungguhnya semua semua perbuatan ini melegalkan menjadikannya susah dan
terhimpit sehingga dia membebaskan dari hak-haknya, atau sebagiannya dan
berpisah darinya, dan hal ini lebih baik. Wallahu A’lam. Dari Tafsir Ibnu
Katsir ( 2 / 240 ). 

Dan didalam kitab “ Zaadul Mustaqni’”
disebutkan : “ Maka jika menjadikannya susah itu karena kedzaliman agar dia
menebus dirinya, dan bukan karena ia telah melakukan perbuatan zina, atau
karena dia telah membangkang, atau karena meninggalkan kewajiban yang
sifatnya fardlu ain, atau karena dia masih belia, atau karena hilang akalnya,
atau karena sifat kekanak-kanakannya atau kerena dia seorang budak yang
tidak diizinkan oleh tuannya maka dalam hal ini khulu’ dianggap tidak sah
”. 

As syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah
mengatakan dalam penjelasannya tentang ungkapan
: “ولم

يكن

لزناها

أو

نشوزها”(Dan
bukan karena zina dan pembangkangan), maka jika istri Khulu’ dalam kondisi
semacam ini tidak dianggap sah khulu’nya ; karena sesungguhnya suami telah
menanggungkan denda pada istrinya, dan sungguh Allah Ta’ala telah berfirman

(

وَلا

تَعْضُلُوهُنَّ

لِتَذْهَبُوا

بِبَعْضِ

مَا

آتَيْتُمُوهُنَّ

إِلا

أَنْ

يَأْتِينَ

بِفَاحِشَةٍ

مُبَيِّنَةٍ
)

 “ dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata ” an
Nisaa’ / 19
.

Maka jika dia melakukan perbuatan selain
sebab ini sebagaimana seseorang yang – kita berlindung kepada Allah dari
sifat seperti ini – sangat rakus yang tidak takut kepada Allah, dan tidak
memiliki rasa kasih sayang kepada sesama makhluk, tidak mencintai istrinya,
dan dia mengatakan : tidak mungkin hartaku hilang sia-sia dan jadilah dia
mulai menyusahkan istrinya dan menghalang-halangi hak-hak istrinya ;
menjauhkannya dari tempat tidur agar nantinya pada akhirnya istrinya menebus
dirinya dari suaminya, kami mengatakan : hal semacam ini haram bagi anda
melakukannya karena Allah melarang dari hal tersebut.  

Dan ungkapan :
ولم

يكن

لزناها(Bukan karena zina), maka jika
dia melakukan selain perbuatan zina, seperti keleluasaannya dalam
bercengkrama dengan anak-anak muda, berbicara dan menghubungi mereka melalui
hand phone dan yang sejenisnya, maka apakah kami mengatakan : sesungguhnya
hal semacam ini merupakan prilaku yang buruk yang memberikan peluang bagi
suami untuk diperbolehkannya menyusahkannya agar istri menebus dirinya dari
suaminya ? 

Kami menjawab : benar, dan kami menjadikan
ungkapan : [

لزناها ] umum
mencakup seluruh perbuatan zina seperti zina ; lisan, pandangan, pendengaran,
gerak tangan, langkah kaki dan lain-lain sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
Alaihi Wasallam :

أن

العين

تزني،

والأذن

تزني،

واليد

تزني،

والرجل

تزني

“ sesungguhnya mata itu berzina, telinga
berzina, tangan berzina dan kaki berzina ” dan suami ini mengatakan : saya
sudah tidak sabar lagi dengan perempuan ini, dengan kondisinya yang seperti
ini, maka jadilah dia menyusahkan istrinya agar dia menebus dirinya dari
suaminya, maka hal semcam ini diperbolehkan.

Meskipun ada orang yang mengatakan :
Sesungguhnya firman Allah :

(

إِلَّا

أَنْ

يَأْتِينَ

بِفَاحِشَةٍ

مُبَيِّنَةٍ) “kecuali bila mereka
melakukan kekejian yang nyata” dan obrolan atau pandangan bukanlah tergolong
dari perbuatan-perbuatan keji, maka kami menjawab : memang benar akan tetapi
ini semua merupakan sarana menuju kepada perbuatan keji, kemudian
sesungguhnya banyak orang yang dia memiliki kecemburuan, jika istrinya
berbincang-bincang dengan para lelaki atau bercengkrama dengan mereka. 

Dan ungkapan :
أو

نشوزها
“atau pembangkangannya”, yaitu kemaksiatan yang dilakukan oleh istri kepada
suaminya dalam hal-hal yang wajib atasnya untuk taat kepada suami, maka jika
istri menolak untuk taat pada suami lalu kemudian suami menyusahkannya dan
membuat sulit kehidupannya agar dia menebus dirinya maka hal semacam ini
diperbolehkan. 

Ungkapan :

أو

تركها

فرضا
“ atau dia meninggalkan yang
diwajibkan ” seperti dia meninggalkan shalat meskipun tidak sampai pada
tingkatan kafir, atau meninggalkan puasa wajib, atau meninggalkan zakat
dengan tidak membayarkannya atau meninggalkan segala macam yang diwajibkan,
atau meninggalkan hijab, dengan mengatakan : saya akan keluar rumah dengan
wajah terbuka, maka bagi suami diperbolehkan membuatnya susah jika tidak
memungkinkan lagi mentarbiyahnya, adapun apabila masih ada kemungkinan untuk
melakukan pembinaan kepada istrinya dan masih menyukainya maka tidak ada
larangan untuk tetap tinggal bersamanya, sebagaimana disebutkan dalam “ As
Syarkhul Mumti’ ” ( 12 / 462 ). Maka menjadi jelaslah kapan seorang suami
boleh menjadikan istrinya susah agar dia mengajukan khulu’ kepada suaminya
lalu kemudian dia menebus dirinya dari suaminya dengan mahar dan lainnya. 

Kedua :

Tidak ada pertentangan antara ayat ini dan
ayat setelahnya yaitu firman Allah Ta’ala :

)وَإِنْ
أَرَدْتُمُ
اسْتِبْدَالَ
زَوْجٍ

مَكَانَ
زَوْجٍ

وَآتَيْتُمْ
إِحْدَاهُنَّ
قِنْطَارًا
فَلَا

تَأْخُذُوا
مِنْهُ

شَيْئًا
أَتَأْخُذُونَهُ
بُهْتَانًا
وَإِثْمًا
مُبِينًا
*
وَكَيْفَ
تَأْخُذُونَهُ
وَقَدْ

أَفْضَى
بَعْضُكُمْ
إِلَى

بَعْضٍ

وَأَخَذْنَ
مِنْكُمْ
مِيثَاقًا
غَلِيظًا )

النساء
21/ -20.

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan
istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya
barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu
akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An Nisaa’ / 20-21).  

Bahkan ayat ini menegaskan akan diharamkannya
harta istri, dan sesungguhnya harta tersebut tidak diperkenankan untuk
mengambil dan merebutnya, maksudnya adalah : Apabila salah seorang dari
kalian menghendaki untuk berpisah dengan istrinya dan menggantikannya dengan
perempuan atau istri yang lain, maka hendaknya dia tidak mengambil sesuatu
apapun dari apa yang telah diberikan kepada istrinya, meskipun hanya sedikit
dari tumpukan harta bendanya. Maka mahar merupakan hak milik sang istri yang
tidak halal mengambilnya kembali, melainkan jika dia memberikannya dengan
kerelaan dirinya sendiri, atau dia menebus dirinya dengan harta tersebut
dalam kondisi yang diperbolehkan bagi suami untuk menjadikannya terhimpit
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, atau dalam kondisi dimana dia
tidak memungkinkan lagi mempertahankan dan tetap hidup bersama suaminya –
dengan tanpa ada intimidasi dari suami – sebagaimana firman Allah Ta’ala : 

فَإِنْ

خِفْتُمْ

أَلا

يُقِيمَا

حُدُودَ

اللَّهِ

فَلا

جُنَاحَ

عَلَيْهِمَا

فِيمَا

افْتَدَتْ

بِهِ
)

الآية[البقرة:229
)

Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. QS
Al Baqarah : 229. 

Dan hal ini ada sebagai penegasan dari firman
Allah Ta’ala :  

21/

وَكَيْفَ

تَأْخُذُونَهُ

وَقَدْ

أَفْضَى

بَعْضُكُمْ

إِلَى

بَعْضٍ

وَأَخَذْنَ

مِنْكُمْ

مِيثَاقًا

غَلِيظًا
)

النساء )

 Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian
yang kuat. (QS.An Nisaa’ / 21). 

Dan yang dimaksud “ Al Ifdlo’ ” di sini
adalah hubungan suami istri, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas dan yang
lainnya, dan maksudnya ; sesungguhnya mahar merupakan pengganti dari apa
yang dihalalkan bagi suami untuk menikmati kehormatan istrinya, maka
bagaimanakah dia akan mengambil maharnya kembali setelah terpenuhi keinginan
dan hasratnya. 

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata : “
Maksudnya : Dan bagaimanakah kalian semua akan mengambil mahar dari istri
kalian, padahal anda telah menggaulinya dan dia telah bercampur dengan anda
”. 

Ibnu Abbas, Mujahid, As Suddy dan bukan hanya
mereka saja berkata : yang dimaksud Ifdlo’ adalah hubungan suami
istri atau Jima’.

Dan telah disebutkan dalam shahih Bukhari dan
shahih Muslim sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda
kepada sepasang suami – istri yang saling melontarkan pelaknatan satu sama
lain setelah mereka berhenti dari pelaknatan tersebut :

(

الله

يعلم

أن

أحدكما

كاذب.

فهل

منكما

تائب
)

“ Allah Maha mengetahui bahwasannya salah
seorang di antara kalian berdua telah berdusta. Maka adakah di antara kalian
berdua yang bertaubat ” hal ini beliau ulang-ulang sampai tiga kali. Maka
berkatalah sang suami : Wahai Rasulullah harta bendaku – maksudnya adalah
bagaimana dengan harta bendaku atau mahar yang telah aku berikan kepadanya –
beliau menjawab :  

(

لَا

مَالَ

لَكَ

،

إِنْ

كُنْتَ

صَدَقْتَ

عَلَيْهَا

فَهُوَ

بِمَا

اسْتَحْلَلْتَ

مِنْ

فَرْجِهَا

،

وَإِنْ

كُنْتَ

كَذَبْتَ

عَلَيْهَا

،

فَذَاكَ

أَبْعَدُ

لَكَ

 ( Tidak ada lagi harta bagimu, jika engkau
telah memberikannya sebagai mahar baginya maka hal itu sebagai pengganti
dari apa yang telah dihalalkan bagi anda farjinya atau kemaluannya, dan jika
engkau telah berdusta padanya, maka yang demikian itu semakin jauh dan
merupakan kerugian bagimu ). 

Ketiga :

Adapun Firman Allah Ta’ala :

(

وَإِذَا

طَلَّقْتُمُ

النِّسَاءَ

فَبَلَغْنَ

أَجَلَهُنَّ

فَأَمْسِكُوهُنَّ

بِمَعْرُوفٍ

أَوْ

سَرِّحُوهُنَّ

بِمَعْرُوفٍ

وَلَا

تُمْسِكُوهُنَّ

ضِرَارًا

لِتَعْتَدُوا
)

البقرة/231

Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu
mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang
makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. QS Al Baqarah : 231.

Yang dimaksud disini adalah pelarangan agar
tidak menahan dan merujuk kembali istri yang telah diceraikan pada masa
iddah mereka jika memang tujuannya hanya untuk meniksa dan menyakiti mereka.

Ibnu Abbas, Mujahid, masruuq, Qatadah, Adl
Dlohhaak, Ar Rabi’, Muqatil bin Hayyan dan bukan hanya mereka saja berkata :
Dahulu seorang suami menceraikan istrinya, maka jika dia telah mendekati
masa penghabisan atau dipenghujung iddahnya sang suami merujuknya kembali
dengan tujuan menyakitinya, agar sang istri tidak pergi dan menikah dengan
suami yang lain, kemudian suami menceraikannya kembali, maka jika dia telah
mendekati masa penghabisan atau dipenghujung iddahnya sang suami
menceraikannya agar iddahnya semakin lama, maka Allah Ta’ala melarang yang
demikian. Dari “ Tafsir Ibnu Katsir ”. 

Keempat :

Ucapan orang yang mengatakan : “ Tidak layak
dan tidak berhak bagi seorang suami yang meminta kembali mahar yang telah
dibayarkannya kepada istrinya, karena yang demikian itu sama halnya dia
mengambil kembali haknya ketika dia telah dihalalkan dari istrinya sesuatu
yang sebelumnya diharamkan atasnya ” hal ini secara umum dianggap shahih,
dan dikecualikan dari hal tersebut apa yang disebutkan oleh Allah Ta’ala
dalam ayat : 


يَا
أَيُّهَا
الَّذِينَ
آمَنُوا
لَا

يَحِلُّ
لَكُمْ

أَنْ

تَرِثُوا
النِّسَاءَ
كَرْهًا
وَلَا

تَعْضُلُوهُنَّ
لِتَذْهَبُوا
بِبَعْضِ
مَا

آتَيْتُمُوهُنَّ
إِلَّا

أَنْ

يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ
مُبَيِّنَةٍ(

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan
keji yang nyata. 

Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, dan dikecualikan juga : jikalau seorang istri yang meminta untuk
berpisah dari suaminya karena ada hal yang tidak ia sukai dari suaminya,
sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits tentang istrinya Tsabit
bin Qais bin Syamas Radliallahu Anhu ; Sungguh dia mendatangi Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam seraya berkata : 

يا

رسول

الله

،

ثابت

بن

قيس

لا

أعيب

عليه

في

خلق

ولا

دين

،

ولكن

أكره

الكفر

في

الإسلام
.

فقال

لها

النبي

صلى

الله

عليه

وسلم
:

أتردين

عليه

حديقته

؟ .

وكان

قد

أصدقها

حديقة
.

قالت
:

نعم
.

فقال

النبي

صلى

الله

عليه

وسلم
: (

اقبل

الحديقة

،

وفارقها
)

أخرجه

البخاري
(5273

Wahai Utusan Allah, Tsabit bin Qais, saya
tidak mencela akhlak dan agamanya, akan tetapi saya tidak menyukai kekufuran
setelah datangnya Islam, lalu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda
kepadanya : apakah engkau mau mengembalikan ladang kepadanya ?
Dimana Tsabit
bin Qais telah memberikan
mahar berupa sebidang ladang kepada istrinya. Istri Tsabit menjawab,
“Ya. Lalu Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam bersabda kepada Tsabit : ( Ambillah ladangmu, dan ceraikan dia).
HR. Bukhari ( 5273 ). 

Jadi meskipun keberadaan mahar sebagai bentuk
pengganti dihalalkannya kehormatan seorang wanita, tidak ada larangan
dikembalikan lagi kepada suami dalam kondisi semacam ini, karena memang ada
bukti nyata yang bisa dijadikan acuan di dalam syariat dan juga dalam
perspektif yang benar.

Wallahu A’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android