Unduh
0 / 0
5313419/05/2010

JIKA TERJADI IJAB QABUL SAAT MELAMAR, APAKAH TELAH TERJADI PERNIKAHAN?

Pertanyaan: 147796

Mohon berikan saya fatwa tentang perkataan sebagian orang bahwa sekedar terjadi lamaran dan kesepakatan antara kedua belah pihak dengan mas kawin pihak laki-laki kepada wanita yang ingin menikah, misalnya, berjumlah 100 ribu real. Maka dengan demikian telah halal wanita tersebut bagi sang laki-laki termasuk halal dalam hubungan badan, karena akad nikah hanya sunah saja. Yang wajib adalah ijab qabul dan kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu adanya pihak laki-laki yang qabul (menerima) wali yang hendak menikahkan puterinya kepadanya. Bukan akad pernikahan seperti yang mereka katakan.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama

Ada perbedaan antara
khitbah (melamar) dengan akad nikah. Khitbah adalah menyampaikan keinginan
untuk menikahi seorang wanita. Umumnya sang wali tidak langsung
menikahkannya (ijab), dia akan menundanya dan menunggu pendapat sang wanita.
Kadang sang wali dapat berjanji untuk menikahkannya.

Adapun akad, dia
memiliki rukun dan syarat-syaratnya. Di antara rukun-rukunnya adalah, ijab
dan qabul. Ijab berasal dari wali atau wakilnya, sedangkan qabul dari suami
atau wakilnya.

Jika walinya adalah
bapaknya, maka dia berkata, ‘Aku nikahkan engkau dengan puteriku yang
bernama …….. Sedangkan sang suami berkata, ‘Aku terima nikahnya fulanah.

Dikatakan dalam kitab
Kasyaful Qana’, 5/37, ‘Pernikahan tidak terlaksana kecuali dengan adanya
ijab qabul. Ijab adalah ucapan yang besumber dari wali atau siapa yang
berperan dengan perannya seperti wakilnya.”

Sebagian ahli fiqih
seperti kalangan Hambali memberikan syarat agar ijab didahulukan dari qabul.
Lihat Al-Mughni, 7/61

Termasuk syarat
sahnya akad nikah adalah adanya dua orang saksi muslim. 

Kedua:

Sebagian pernikahan
terjadi tanpa khitbah. Langsung terjadi ijab qabul sementara sang wanita
ridha dan ada kehadiran dua orang saksi. Pernikahan seperti itu sah. Hal ini
sudah ada sejak dahulu, dan hingga kini pun masih ada.

Tidak dikatakan bahwa
akad adalah sunnah, sedangkan yang wajib adalah ijab dan qabul. Justeru ijab
qabul itulah akad nikah, dan itu terlaksana dengan ucapan. Tidak disyaratkan
ditulis atau dicatat. Pencatatan hanya diperlukan untuk memelihara hak.
Tidak disyaratkan pula pernikahan harus melalui petugas pernikahan. Akan
tetapi cukup terjadi ijab qabul dari pihak wali dan suami.

Ketiga:

Jika terjadi ijab
qabul saat khitbah (melamar), lalu keduanya berjanji untuk melaksanakan akad
di  lain waktu, maka pernikahan tidak terlaksana kecuali ketika akad. Karena
hal tersebut berarti penyataan bahwa apa yang terjadi saat khitbah bukan
akad.

Adapun jika terjadi
ijab qabul dalam khitbah, namun keduanya tidak berjanji melaksanakan akad di
lain waktu dan mereka tidak menyebutkannya. Apabila adat atau kebiasaan yang
berlaku bahwa hal tersebut dapat dianggap janji dan pengantar akad nikah,
maka hal tersebut tidak dikatakan akad nikah. Akan tetapi jika adat yang
berlaku adalah bahwa hal tersebut dianggap akad, maka dia dianggap akad.

Syekh Olaisy
Al-Maliki rahimahullah, “Apa pendapat anda tentang seseorang yang mengutus
orang lain kepada sesorang untuk melamar puterinya yang pertama, atau kepada
puteranya. Lalu orang tersebut melakukan ijab dan berjanji untuk
melaksanakan akad pada malam pengantin. Orang tersebut mengirim untuknya
sejumlah bahan pakaian. Kemudian dia meminta keluarganya untuk
mempersilahkannya berjumpa dengannya, lalu keluarga wanita tersebut
menyiapkan acara pengantin. Kesimpulannya kemudian orang tersebut tinggal
bersama dan melakukan hubungan badan dengan sang wanita, tanpa akad dan
saksi. Dia mengira bahwa keduanya sudah dia dapatkan dari kedua orang
tuanya.

Beliau menjawab,
“Laki-laki dan wanita tersebut harus dipisah. Tidak dikatakan bahwa
pernikahannya batal, karena belum terjadi akad pada mereka. Dan wajib
dipastikan bebasnya rahim dari wanita tersebut (dari kemungkinan mengandung
benih dari sang laki-laki).

Al-Allamah At-Tawadi
dalam Syarh At-Tuhfah berkata, Abu Salim Ibrahim Al-Jalaly ditanya tentang
kebiasaan yang terjadi apabila ada seseorang yang melamar seorang wanita
untuk dirinya atau untuk anaknya, lalu pihak keluarganya menjawabnya dengan
sikap menerima dan mereka berjanji akan melakukan akad pernikahan pada malam
perkawinan. Kemudian pihak laki-laki mengirim hinna dan berbabagai
perlengkapan. Lalu kaum wanita membunyikan suara saat terjadi lamaran
sehingga terdengar oleh orang lain dan para tetangga. Kemudian mereka
berkata, si fulan telah menikahi fulanah… lalu kemudian mungkin terjadi
kematian, atau pertikaian…

Beliau menjawab:
“Jika adat yang berlaku di masyarakat tersebut bahwa jika terjadi lamaran
kemudian telah dinyatakan qabul (penerimaan) menganggapnya sebagai mukadimah
bagi pernikahan yang syar’i pada malam pengantin nanti, dan tidak ada hal
yang bersifat mengikat di antara mereka, akan tetapi sebatas isyarat adanya
keinginan pelakunya, maka tidak mengapa jika hal tersebut tidak dianggap
sebagai akad nikah dan tidak memiliki konsekwensi apa-apa terkait dengan
pernikahan.

Adapun jika adat yang
berlaku bahwa hal tersebut dapat dianggap sebagai akad pernikahan dengan
segala konsekwensinya, maka tidak mengapa jika hal itu dianggap sebagai akad
antara keduanya, dan berlaku bagi keduanya hukum pernikahan.

Jika kondisinya tidak
dapat diketahui, sekiranya mereka bertanya, Apakah yang mereka maksud adalah
berjanji atau menyepakati, lalu tidak ada jawaban pasti di antara keduanya,
maka yang difatwakan oleh Al-Mazdagi bahwa hal tersebut dianggap sebagai
akad nikah dan berlaku konsekwensi hukumnya. Sedangkan Al-Baqqini
berpendapat bahwa tidak terjadi akad dalam semua kondisi. Kemudian At-Tawadi
berkata, ‘Kesimpulannya, jika adat yang berlaku bahwa jika saat melamar
mendapatkan jawaban persetujuan dianggap sebagai akad, walaupun dari orang
yang mewakilkannya, baik dari suami atau wali, dan hal tersebut diketahui
oleh suami dan isteri, serta mereka ridha dengan hal itu, maka pendapat yang
kuat bahwa telah terjadi akad nikah dan berlaku konsekwensi hukumnya. Adapun
jika adat yang berlaku bahwa persetujuan tersebut hanya sebatas penerimaan
saja, atau dia diam atau menjanjikan, maka tidak dianggap sebagai akad.
Wallahua’lam.”

Pertimbangan adat
berlaku apabila tidak ada pernyataan yang jelas. Adapun jika ada pernyataan
janji bahwa akad syar’I akan dilaksanakan pada malam pengantin, maka tidak
ada pertimbangan adat. Karena hal itu berarti menghapus pertimbangan adat
yang dapat menyimpalkan bahwa hal itu merupakan akad.”

Fatawa Syaikh Olaisy,
1/420. Lihat Syarah At-Tawadi, 1/17, Syarah Mubarat Ala Tuhfatil Hukkam,
1/155.

Umumnya sekarang
orang membedakan antara lamaran dan akad pernikahan.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android