Apa hukumnya berpuasa satu hari sebagai rasa syukur kepada Allah ?, apakah ibadah tersebut wajib atau sunnah ?
Apakah Dibolehkan Melakukan Ibadah Dan Pendekatan Diri Kepada Allah Seperti Puasa, Shadaqah Sebagai Rasa Syukur Kepada Semua Nikmat-Nya
Pertanyaan: 154245
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata: “Menurut madzhab ahlus sunnah wal jama’ah bahwa rasa syukur itu dibuktikan dengan keyakinan, perkataan dan perbuatan”. (Majmu’ Fatawa : 11/135)
Pernyataan di atas menjadi penjelasan bahwa madzhab ahlus sunnah wal jama’ah dalam bab syukur, tidak hanya bersyukur kepada Allah di dalam hati dan lisan saja, namun harus dibuktikan dengan amal perbuatan, dan yang ketiga inilah merupakan bentuk syukur yang tertinggi. Allah –ta’ala- berfirman:
( اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ) سبأ/13
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba’: 13)
Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:
“Yaitu; dan kami katakan kepada mereka berbuatlah sebagai bukti syukur atas semua nikmat-Nya kepada kalian baik nikmat dunia maupun nikmat agama. Kata “syukron” adalah masdar tanpa kata kerja, atau sebagai maf’ul bihi, dilihat dari kedua susunan kalimat di atas bahwa rasa syukur harus dibuktikan dengan perbuatan, termasuk juga dengan perkataan dan niat, sebagaimana dikatakan:
أفَادَتْكُمُ النّعْمَاء منِّي ثَلاثةً … يدِي، ولَسَاني، وَالضَّمير المُحَجَّبَا
“Tiga hal yang akan memberikan manfaat bagi semua kenikmatan dariku… Tanganku, lisanku dan perasaanku yang tersembunyi”
Abu Abdir Rahman al Hubli berkata:
“Shalat adalah bentuk syukur, puasa adalah syukur, semua kebaikan yang anda lakukan adalah bentuk syukur kepada Allah. Sebaik-baik syukur adalah pujian”. (HR. Ibnu Jarir)
Beliau dan Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab al Quradzi berkata: “Rasa syukur adalah bentuk taqwa kepada Allah dan amal shaleh”. (Tafsir Ibnu Katsir: 6/500, juga Tafsir as Sa’di: 676)
Kami telah memikirkan tentang hukum-hukum dalam syari’at, maka kami telah mendapatkan banyak ibadah dan bentuk taqarrub kepada Allah yang telah Dia syari’atkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai rasa syukur kepada-Nya atas segala nikmat-Nya yang besar, di antara ibadah-ibadah tersebut adalah:
1.Sujud syukur
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Termasuk petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan petunjuk para sahabatnya adalah sujud syukur ketika mendapatkan nikmat baru yang membahagiakan atau tercegah dari bahaya tertentu, sebagaimana dalam “al Musnad” dari Abi Bakrah bahwa ketika Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mendapatkan perkara yang membahagiakan, beliau menyungkur kepada Allah dan sujud syukur kepada-Nya.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas bahwa ketika Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- diberi kabar gembira dari apa yang menjadi keinginannya, beliau menyungkur dan bersujud kepada Allah”. (Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khoiril ‘Ibad: 1/360)
2. Shalat qiyamul lail
Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melaksanakan shalat malam sampai kedua kakinya bengkak”. Maka ‘Aisyah berkata: “Kenapa anda melakukan semua ini wahai Rasulullah ?, padahal Allah telah mengampuni dosa sebelum dan sesudahnya. Beliau menjawab:
(أَفَلَا أَكُونَ عَبْدًا شَكُوراً) رواه البخاري ( 4557 ) ومسلم ( 2820(
“Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang bersyukur”. (HR. Bukhori: 4557 dan Muslim: 2820)
Al Mubarakfuri –rahimahullah- berkata:
“Ibnu Hajar al Makky berkata: “Seseorang yang bertanya telah menduga bahwa sebab sabarnya seseorang dalam melaksanakan ibadah adalah takut akan dosa atau mengharap ampunan, justru sebenarnya ada sebab yang lain yang lebih sempurna, yaitu; rasa syukur atas kemampuannya melaksanakan ibadah tersebut disertai ampunan dan agungnya nikmat Allah”.
أفلا أكون عبداً شكوراً )) yaitu;dengan semua nikmat Allah kepadaku, melalui ampunan-Nya pada semua dosa-dosaku, dan semua bentuk nikmat Allah kepadaku”.
(Tuhfatul Ahwadzi: 2/382)
3.Puasa pada tanggal 10 Muharram (puasa asyura’)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Pada saat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tiba di kota Madinah, beliau mendapati mereka (orang Yahudi) mengagungkan hari tersebut dan berpuasa, maka beliau bertanya kepada mereka, mereka pun menjawab: Pada hari tersebut adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari kejaran Fir’aun, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( نحن أحقُّ منكم بموسى )
“Kami lebih berhak kepada Musa dari pada kalian”
Maka beliau juga berpuasa dan menyuruh para sahabat juga berpuasa, sebagai pengakuan dan penguatan keagungannya. Beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga mengabarkan bahwa beliau dan umatnya lebih berhak kepada Musa dari pada orang-orang Yahudi, maka jika Musa berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk syukurnya kepada Allah, maka kami (Rasulullah dan para sahabat) lebih berhak berqudwah kepada beliau dari pada orang-orang Yahudi. Apa lagi jika kita berkata bahwa syari’at sebelum kita adalah syari’at kita juga, selama tidak bertentangan dengan syari’at kita”. (Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad: 2/70-71)
4.Zakat fitrah
Syeikh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:
Apa maksud dari zakat fitrah ?, apakah memiliki sebab tertentu ?
Beliau menjawab:
“Zakat fitrah itu berupa satu sha’ dari makanan yang dikeluarkan seorang muslim setelah selesai bulan Ramadhan, sebabnya adalah menampakkan rasa syukur akan nikmat Allah –ta’ala- pada seorang hamba karena hari raya dan telah menyempurnakan puasa pada bulan Ramadhan. Oleh karenanya dinamakan “صدقة الفطر “ (sedekah hari raya) atau “زكاة الفطر “ (zakat fitrah); karena dinisbahkan kepada fitrah (hari raya), inilah latar belakangnya yang syar’I”. (Majmu’ Fatawa Syeikh Utsaimin: 18/257)
5. Sembelihan hewan dari yang berhaji tamattu’
“Dam” (denda) ini telah dinamakan dengan “dam syukran” (denda sebagai bentuk rasa syukur).
Syeikh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:
“Saya seorang yang sedang mukim di Saudi Arabi, saya ingin menunaikan haji ifrad, denda yang berupa sembelihan bagi yang berhaji qiran dan tamattu’ apakah sebuah keutamaan atau sebuah denda dari adanya kekurangan dalam ibadah ?, dan apakah saya yang akan berhaji ifrad juga wajib membayarnya ?
Beliau menjawab:
“Sembelihan itu adalah keutamaan, sebagai bentuk syukur kepada Allah; karena pelaku haji tamattu’ dan qiran keduanya mendapatkan dua ibadah dalam satu kali perjalanan, maka sebagai wujud rasa syukur mereka kepada Allah keduanya menyembelih binatang. Dan pelaku haji ifrad ia tidak perlu menyembelih binatang, sedangkan pelaku tamattu’ disertai sembelihan menjadi lebih utama”. (Majmu’ Fatawa Syeikh Utsaimin: 24/172)
6. Aqiqah
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Sembelihan pasca kelahiran bayi adalah bermakna qurban, sebagai rasa syukur, fida’ (pengganti), shadaqah dan memberikan hidangan ketika mendapatkan kebahagiaan yang agung sebagai bentuk syukur kepada Allah dan dalam rangka menampakkan nikmat-Nya yang merupakan tujuan dari sebuah pernikahan”. (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud: 30)
Selanjutnya….
Inilah sebagian ibadah dan beberapa bentuk pendekatan diri kepada Allah yang bisa kami sampaikan, yang semua itu disyari’atkan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah –ta’ala-, dan dari sinilah kita bisa mengambil pelajaran bahwa dibolehkan bagi seorang hamba untuk bersyukur kepada Allah –ta’ala- dengan sebuah ibadah tertentu sebagaimana yang dijelaskan di atas atau dengan bentuk ibadah yang lain. Kami dapat melihat hal tersebut dari perbuatan para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- yang disetujui oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- , di antaranya adalah:
1.Ka’ab bin Malik dan Abi Lubabah telah bershadaqah dengan hartanya sebagai wujud rasa syukur mereka kepada Allah –ta’ala- yang telah menerima taubatnya.
Dari Ka’ab bin Malik –radhiyallahu ‘anhu- saya berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ مِنْ تَوْبَتِي أَنْ أَنْخَلِعَ مِنْ مَالِي صَدَقَةً إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ( أَمْسِكْ عَلَيْكَ بَعْضَ مَالِكَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ) قُلْتُ : فَإِنِّي أُمْسِكُ سَهْمِي الَّذِي بِخَيْبَرَ .
رواه البخاري ( 2606 ) ومسلم ( 2769(
“Wahai Rasulullah, sebagai bentuk taubatku saya akan menshadaqahkan semua harta ku kepada Allah dan Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau bersabda: “Tahanlah olehmu sebagian hartamu maka hal itu lebih baik bagimu”. Saya menjawab: “Saya menahan bagianku yang di Khoibar”. (HR. Bukhori (2606) dan Muslim (2769))
Abu Lubabah bin Abdul Mudzir berkata kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
إِنَّ مِنْ تَوْبَتِي أَنْ أَهْجُرَ دَارَ قَوْمِي الَّتِي أَصَبْتُ فِيهَا الذَّنْبَ وَأَنْ أَنْخَلِعَ مِنْ مَالِي كُلِّهِ صَدَقَةً قَالَ ( يُجْزِئُ عَنْكَ الثُّلُثُ.رواه أبو داود ( 3319 ) وصححه الألباني في " صحيح أبي داود " .
“Adalah termasuk bentuk taubatku, saya akan berhijrah dari daerah yang saya telah berbuat dosa di dalamnya, dan melepaskan semua hartaku sebagai shadaqah”. Beliau bersabda: “Hal itu boleh kamu lakukan akan tetapi maksimal 1/3 saja dari hartamu”. (HR. Abu Daud (3319) dan dishahihkan oleh al Baani dalam “Shahih Abu Daud”)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Pernyataan Ka’ab: “Wahai Rasulullah, sebagai bentuk taubatku saya akan menshadaqahkan semua harta ku” adalah dalil disunnahkannya shadaqah ketika bertaubat dengan harta yang ia tentukan”. (Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad: 3/585-586)
Beliau juga berkata: “Hadits di atas tidak menjelaskan bahwa Ka’ab dan Abu Lubabah telah bernadzar sebelumnya, akan tetapi mereka berdua hanya berkata: “Sungguh termasuk bagian dari taubat kami, kami akan menshadaqahkan semua harta kami”. Pernyataan ini bukan sebagai nadzar, tetapi sebuah azam dan tekad untuk bershadaqah dengan kedua harta mereka, sebagai bentuk syukur kepada Allah karena telah diterima taubatnya. Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengabarkan bahwa hal itu boleh dilakukan dengan sebagian harta saja dan tidak perlu menginfaqkan semua hartanya. Demikian juga yang disabdakan kepada Sa’d yang telah minta izin kepada beliau, bahwa dia berwasiat akan menginfaqkan semua hartanya, maka beliau hanya mengizinkan 1/3 hartanya saja”. (Zaadul Ma’ad: 3/588)
2.Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- memerdekan hamba sahayanya sebagai bentuk syukur kepada Allah begitu sesampainya beliau kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Ketika saya mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ditengah perjalanan saya berkata:
يَا لَيْلَةً مِنْ طُولِهَا وَعَنَائِهَا *** عَلَى أَنَّهَا مِنْ دَارَةِ الْكُفْرِ نَجَّتِ
قَالَ : وَأَبَقَ مِنِّي غُلَامٌ لِي فِي الطَّرِيقِ قَالَ فَلَمَّا قَدِمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَايَعْتُهُ فَبَيْنَا أَنَا عِنْدَهُ إِذْ طَلَعَ الْغُلَامُ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( يَا أَبَا هُرَيْرَةَ هَذَا غُلَامُكَ ) فَقُلْتُ : هُوَ حُرٌّ لِوَجْهِ اللَّهِ ، فَأَعْتَقْتُهُ ) رواه البخاري ( 2394)
“Wahai malam yang panjang dan melelahkan, bahwa akhirnya menyelamatkan dari kekufuran”.
Ia berkata: “Hamba sahayaku telah menjagaku selama perjalanan, maka setelah saya bertemu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka saya membaiatnya. Dan pada saat saya berada di hadapan beliau, seraya hamba sahaya tadi muncul, dan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepadaku: “Wahai Abu Hurairah, apakah ini budakmu ?. Saya menjawab: “Saya sudah memerdekakannya, ia sekarang bebas karena Allah”. (HR. Bukhori: 2394)
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata- :
“Dalam hadits di atas adalah anjuran untuk memerdekakan (budak) ketika sudah sampai pada tujuannya dan berhasil dari sesuatu yang menakutkan”. (Fathul Baari: 5/163)
Atas dasar inilah, maka tidak masalah melakukan shadaqah, umrah, puasa atau shalat sebagai bentuk syukur atas nikmat yang telah Allah berikan kepadanya dan melindunginya dari musibah. Yang lebih utama bagi seorang hamba adalah langsung melakukan sujud syukur seketika setelah merasakan nikmat tertentu, kemudian baru setelah itu ia melakukan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah dengan amalan yang telah disyari’atkan, namun perlu diingat bahwa semua itu bukanlah sebuah kewajiban akan tetapi hukumnya sunnah. Inilah beberapa penjelasan sebagian para ulama:
1.Ibnu Rajab al Hambali berkata ketika menjelaskan derajat bentuk syukur:
Derajat kedua dari rasa syukur adalah bentuk syukur yang sunnah, yaitu: jika seorang hamba setelah melaksanakan kewajiban dan menjauhi semua yang diharamkan ia tambah dengan melaksanakan ibadah sunnah, ini adalah derajat orang-orang terdahulu yang dekat kepada Allah. Hal inilah yang juga dianjurkan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam banyak hadits yang telah disebutkan sebelumnya, demikian juga bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersungguh-sungguh dalam melaksanakan shalat sampai kedua kakinya bengkak, dan jika dikatakan kepadanya: “Kenapa anda sampai melakukannya seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa anda sebelum dan sesudahnya ?, beliau pun menjawab: “Tidakkah boleh aku menjadi hamba-Nya yang bersyukur ?!”. (Jami’ Ulum wal Hikam: 2/246)
2. Syeikh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin –rahimahullah- berkata: ketika menjelaskan hadits: “Tidakkah boleh aku menjadi hamba-Nya yang bersyukur ?!”.
“Hadits ini menunjukkan bahwa rasa syukur itu adalah dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan bahwa manusia setiap kali bertambah taat kepada Rabbnya, maka ia telah menambah rasa syukurnya kepada-Nya. Bukanlah rasa syukur itu dengan ucapan seseorang: “Saya bersyukur kepada Allah”, “Saya memuji Allah”. Ini ungkapan rasa syukur dengan lisan, namun semua penjelasan di atas mengenai rasa syukur dengan perbuatan, yaitu: dengan melaksanakan ketaatan sesuai dengan kemampuannya”. (Syarah Riyadh Shalihin: 2/71)
Disebutkan dalam “Al Mau’su’ah al Fiqhiyah” (26/181)
“Di antara bentuk rasa syukur itu adalah dengan melaksanakan pendekatan diri kepada Allah dengan berbagai macam ibadah, di antaranya adalah: menyembelih hewan atau mengundang untuk jamuan hidangan”.
Lebih jelasnya bisa dibaca pada jawaban soal nomor: 154245
Wallahu a’lam .
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait