Fatwa yang aku inginkan boleh jadi agak aneh. Akan tetapi pelakunya membutuhkan ketetapan syar’i dalam masalah ini. Saya mohon anda tidak keberatan untuk memberikan jawaban, karena ini kejadian nyata. Seandainyapaun anda meragukan kejadiannya, kami mohon jawabannya. Perkaranya terkait dengan batalnya puasa orang yang terpaksa; Saya memiliki teman, sejak sekian tahun yang lalu menderita karena terkena sihir, padahal dia adalah orang yang hafal Al-Quran. Penderitaannya justeru dialami di bulan Ramadan dan dengan cara dipaksa pada sebagian besar hari-hari Ramadan. Hal tersebut terjadi karena perbuatan jin yang ditugaskan untuk melakukan sihir yaitu dengan cara memaksanya untuk membatalkan puasanya dengan cara dia mengeluarkan mani di siang hari bulan Ramadan dengan berbagai cara. Dia sudah bersungguh-sungguh untuk mencegah hal tersbut, namun tidak berguna. Hal ini terjadi pada sebagian besar hari-hari Ramadan dan telah berlangsung sekian tahun. Sementara sisa-sisa harinya dia berpuasa dan tidak berbuka. Untuk melakukan qadhapun dia tidak mampu, karena sihir tersebut tetap ada dan tidak berakhir.
Hukum Puasa Orang Yang Dipaksa Onani
Pertanyaan: 156864
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Sesungguhnya, jika kondisi orang tersebut sebagaimana yang anda sebutkan, maka hukumnya sama dengan orang yang dipaksa untuk berbuka. Dalam mazhab Syafiiah dan Hambali, orang yang dipaksa berbuka, seperti dipaksa berjimak, makan dan minum, jika dia lakukan dalam keadaan dipaksa, maka puasanya tidak batal dan tidak wajib baginya qadha, kecuali jika dia dipaksa untuk berzina menurut ulama Syafiiyah.
(Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, 28/58)
Pendapat ini lebih dekat (pada kebenaran), berdasarkan riwayat Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata,
إن الله تجاوز عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه ” أخرجه ابن ماجه (2045 ) وصححه الألباني في تخريج المشكاة ( 6248 )
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku yang kesalahan, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045, dishahihkan oleh Al-Albany dalam takhrijnya terhadap Misykatul Mashabih, no. 6248)
Karena dengan adanya pemaksaan, berarti tidak ada kebebasan. Perkara ini lebih berat dari lupa, padahal orang yang lupa tidak batal puasanya menurut pendapat yang kuat. Orang yang dipaksa berbuka kondisinya lebih ringan daripada orang yang dipaksa mengucapkan kalimat kufur. Padahal orang yang dipaksa mengucapkan kalimat kufur, dia tidak dianggap kufur.
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Siapa yang dipaksa melakukan perbuatan yang membatalkan, lalu dia lakukan, maka tidak ada dosa baginya dan puasanya tetap sah. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
Akan tetapi apa yang disengaja pada hati kamu semua. Dan sesungguhnay Allah itu Maha Pemaaf lagi Maha Penyayang.
Juga karena Allah tidak menghukumi kufur orang yang dipaksa dengannya. Maka apa yang berada di bawahnya lebih utama lagi (untuk dimaafkan).
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه “
“Allah memaafkan umatku yang kesalahan, lupa dan dipaksa.”
(Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 19/207)
Kami mohon kepada Allah Ta’ala semoga teman anda diberi kesembuhan. Kami nasehatkan dia agar terus menerus melakukan ruqyah dan banyak berdoa dan sadaqah. Karena pada hal tersebut terhadap sebab-sebab kesembuhan dan terangkatnya musibah. Ingatkan dia pula untuk bersabar dan mengharap pahala, karena Allah Ta’ala menguji hamba-Nya dengan apa yang Dia kehendaki sebagai jalan untuk menghapus dosa-dosanya atau mengangkat derajatnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ (رواه البخاري، رقم 5642 ومسلم، رقم 2573(
“Apa saja yang menimpa seorang muslim; letih, sakit, gundah, sendih, gangguan atau resah, termasuk jika ada duri yang tertancap, niscaya Allah akan hapuskan dengan sebab itu dosa-dosanya.” (HR. Bukhari, no. 542, Muslim, no. 2573)
Wallahuta’ala A’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam