Unduh
0 / 0
1314410/03/2011

Apakah Menjadi Hak Saya Untuk Meminta Mahar Dikembalikan Setelah Saya Menggagalkan Lamaran ?

Pertanyaan: 160721

Saya sudah menikah, sebelum menikah dengan istri saya saat ini, saya pernah melamar seorang wanita, atas permintaan bapaknya saya tidak mengunjunginya, namun saudari saya mengusulkan kepada saya untuk membayar mahar sebelum akad nikah; karena bapaknya tidak ingin saya mengunjunginya setiap waktu atau mengajaknya keluar bersama, keinginan bapaknya adalah tidak ada ikatan kecuali setelah dekatnya waktu akad nikah dan saya siap segalanya. Setelah itu, terus terang saya tidak suka dengan aturan bapaknya yang menurut saya juga tidak ada nash-nash syari’at. Pertanyaan saya: Apakah saya mempunyai hak untuk mengambil mahar saya, padahal saya telah memberikan kepada bapaknya sebelum akad berlangsung, bahkan saya belum pernah melihat anaknya kecuali pada saat tunangan dan via telepon yang dibolehkan oleh bapaknya, maka kami mohon fatwanya semoga Allah membalas kebaikan anda semua.

Keterangan: Saya sekarang sudah menikah, akan tetapi jika mahar itu masih menjadi hak saya, kenapa saya tidak mengambilnya !!??

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Jika akad nikah belum
disempurnakan dengan rukun-rukun yang disyari’atkan, masalahnya juga terjadi
pada saat tunangan, kemudian pihak pelamar (laki-laki) sudah memutuskan
untuk menggagalkannya, maka ia boleh mengambil kembali semua yang telah
dibayarkan dari maharnya, baik penggagalan tersebut dari pihaknya atau dari
pihak perempuannya. Hal tersebut tidak ada perbedaan di antara para ulama,
karena mahar dan konsekuensi hukumnya berkaitan dengan pernikahan, baik
dengan akad nikah dan telah berjima’(berhubungan badan) dengannya atau
dengan akad nikah namun belum berjima’ dengannya, tentu hukum mahar akan
berbeda dengan kedua kondisi tersebut. Jadi mahar itu kaitannya dengan akad
nikah bukan dengan bertunangan.

Ibnu Abidin –rahimahullah-
berkata: “Apa yang diberikan setelah tunangan sebagai mahar, bisa diminta
kembali jika berupa barang meskipun sudah berubah karena bekas dipakai atau
senilai dengan mahar itu jika sudah habis terpakai; karena mahar itu
diberikan berdasarkan ijab dan qabul, namun belum terjadi, maka boleh
diambil kembali”. (Raddul Muhtar: 3/153)

Beliau –rahimahullah- juga
berkata dengan menukil dari sebagian kitab-kitab fatwa dari madzhab hanafi:

“Sesuatu yang diberikan
sebagai mahar setelah tunangan, baik masih ada atau sudah habis, maka bisa
diminta kembali”. (Raddul Muhtar: 4/574)

Dan yang serupa dengan itu
perkataan Ibnu Hajar al Haitsami –rahimahullah-: “Seseorang yang telah
melamar wanita, kemudian ia mengirimkan atau memberinya sejumlah harta
sebelum akad tanpa syarat tertentu dan tidak berniat sebagai hadiah,
kemudian masing-masing dari pihak laki-laki atau perempuan menggagalkannya,
maka semua yang diberikan sebelumnya harus dikembalikan; karena ia
memberikan kepadanya dengan akan diadakannya hubungan pernikahan”. (Tuhfatul
Muhtaj: 7/421)

Syeikh Hasan Abu ‘Aqrub
berkata pada sebuah artikel tentang: “al ‘Uduul ‘anil Khithbah”:

“Jika yang melamar telah
memberikan mahar kepada tunangannya sebelum akad nikah, kemudian salah satu
dari mereka menggagalkan pertunangannya atau meninggal dunia, maka
bagaimanakah hukumnya menurut syari’at tentang mahar yang sudah dibayarkan
sebelumnya ?

Madzhab Hanafi secara
tekstual berpendapat bahwa bagi pelamar hendaknya mengambil kembali mahar
yang telah dibayarkan sesuai dengan harga mahar tersebut jika berupa barang
atau diganti jika sudah habis terpakai atau sudah dikonsumsi.

Saya tidak mendapatkan secara
tekstual dalam masalah ini dari beberapa madzhab yang lain, namun bisa
difahami dari perkataan mereka setelah mempelajari definisi mereka tentang
mahar, bahwa menurut mereka hukumnya adalah hendaknya tidak menyelisihi
pendapat Hanafiyah dalam hal ini.

Mahar menurut Malikiyah
adalah termasuk rukun akad, tidak lah ada antara laki-laki dan wanita yang
sudah bertunangan hubungan tertentu dan tidak dihalalkan bagi wanita
setengah  mahar kecuali setelah berlangsungnya akad nikah, dan baru
dihalalkan semuanya setelah digauli oleh suaminya; kalau tidak maka hal itu
termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Dengan adanya
pembatalan dari salah satu pihak dan tidak terjadinya akad nikah, maka
wanita tersebut tidak berhak dengan mahar tersebut, ia pun hendaknya
mengembalikannya kepada pihak laki-laki.

Sedangkan Syafi’iyyah
berpendapat bahwa mahar itu adalah apa yang diwajibkan karena akad nikah
atau jima’ atau menggaulinya secara paksa dan para saksi menarik kembali
persaksiannya”. Inilah beberapa keadaan yang menjadikan mahar wajib
dibayarkan, bukanlah pertunangan termasuk di dalamnya, maka (jika belum
terjadi demikian) tidak dihalalkan bagi wanita mengambil mahar tersebut
bahkan ia wajib mengembalikannya kepada pihak laki-laki.

Sedangkan mahar menurut
Hanabilah adalah permberian yang disebutkan di dalam akad nikah. Dan tidak
ada kedua calon mempelai yang sudah bertunangan yang diwajibkan untuk
membayar mahar atau setengah dari mahar.

Demikianlah semua pendapat
para ahli fikih bertemu pada satu titik yang penting, yaitu; bahwa mahar itu
tidak wajib kecuali setelah adanya akad nikah, dan saat pertunangan tidak
ada akad nikah tersebut. Seorang wanita yang bersi keras mengambil mahar
yang telah dibayarkan setelah salah satu pihak membatalkan pertunangannya
adalah mengambil harta dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ia wajib
mengembalikannya kepada pemiliknya”.

Silahkan anda buka link di
bawah ini:


http://www.aliftaa.jo/index.php/ar/research/show/id/2

Bisa dibaca juga tentang
hukum hadiah ketika terjadi pembatalan pertunangan pada jawaban soal nomor:
101859 dan 149744.

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android