Unduh
0 / 0

Apakah Fitnah Kubur Terus Menerus Selama Tujuh Hari? Apakah Kita Memberi Makan Untuknya Di Hari-hari itu?

Pertanyaan: 172392

Seberapa jauh keabsahan atsar ini “Sesungguhnya para mayat di fitnah di dalam kuburannya selama tujuh hari, dan mereka menganjurkan memberi makan untuk mereka di hari-hari itu.” Apakah dapat dijadikan dalil dibolehkan memberi makan di rumah orang yang ditimpa musibah? Terima kasih

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama,

Atsar yang ada dalam
pertanyaan diriwayatkan oleh Imam Ahmad di kitabnya ‘Az-Zuhdu’ sebagaimana
yang ada dalam kitab ‘Al-Mathalibul Aliyah Bizawaidi Al-Masanid
Ats-Tsamaniyah, 5/330. Dia berkata, kami diberitahukan oleh Hasyim bin
Qosim, kami diberitahukan oleh Al-Asyja’i dari Sofyan berkata, Towus
berkata:

إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا,
فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

“Sesungguhnya para mayat
difitnah dalam kuburannya selama tujuh hari. Dan mereka menganjurkan memberi
makanan untuk mereka pada hari-hari itu.”

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim
di kitab ‘Hilyatul Auliya’, 4/11 dari jalan Imam Ahmad.

Dari hasil penelitian dalam
kitab Al-Mathalib, sanad perawinya terpercaya. Hanya saja sanad antara
Sofyan dan Thowus terputus, maka dia lemah. Selain terputus, riwayat ini
juga mursal (tidak disebutkan nama shahabat). Maka, kedua sebab itu membuat
hadits ini tidak dapat dijadikah hujjah.

Atsar ini mencakup masalah
keyakinan ghaib. Dan (masalah lain) fikih amaliyah. Keduanya tidak ada dalam
nash wahyu shahih yang menguatkannya. As-Suyuthi rahimahullah berijtihad
dengan menganggap atsar ini shahih lalu menyimpulkan  kandungan isinya dalam
dua permasalahan, sampai beliau mengarang buku tersendiri dengan judul
‘Tulu’ At-Tsuroyya Biidhari Ma Kana Khofiyyah’.

Beliau rahimahullah
mengatakan, “Hadits ini mencakup dua masalah, salah satunya masalah aqidah,
yaitu fitnah orang yang meninggal dunia selama tujuh hari. Yang kedua, hukum
cabang agama yaitu anjuran bershodaqah dan memberi makan untuk mereka selama
tujuh hari itu sabagaimana dianjurkan meminta ketetapan sesaat setelah
penguburan.

Kedua masalah itu berdasar
dari sanad  yang mursal, karena tabiin mengucapkan secara umum, dan tidak
ada penyebutan shahabat yang sampai pada beliau. Sehingga dapat diterima
bagi yang berpendapat menerima (hadits) mursal secara umum. Sedangkan bagi
kelompok yang menerima (mursal) dengan syarat, hadits ini dianggap kuat 
dengan adanya (riwayat) dari Mujahid dan dari Ubaid bin Umair.’ (Thulu
At-Tsuroyyah Biidhari Ma Kana Khafiyya, hal. 124, 125. Tahqiq (telaah) Dr.
Jabir Zayid As-Sumairi)

Yang kami
putuskan bahwa atsar ini tidak shahih.
Dan tidak sah mengatakan
permasalah yang mencakup di dalamnya. Sedangkan atsar dari Mujahid dan Ubaid
bin Umair tidak dapat menguatkan atsar Towus. Karena atsar Mujahid tidak ada
asalnya. Sementara atsar Ubaid bin Umair bukan dalam masalah memberi
makanan. Meskipun ia lebih layak dibandingkan dengan atsarnya Thawus. Akan
tetapi riwayat tersebut tidak layak untuk menetapkan masalah ghaib, apalagi
jika bertentangan dengan syariat, seperti dalam kasus ini yang  akan
dijelaskan nanti.

Ini penjelasan terkait dengan
dua atsar yang disebutkan oleh As-Suyuthi dari Mujahid dan Ubaid bin Umair.

1.
Diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dalam Kitab ‘Al-Mushannafnya’ sebagaimana di
dalam ‘Al-Hawi Lil Fatawa’ karangan As-Suyuti, 3/266 dari Harits bin Abi
Harits dari Ubaid bin Umair berkata:

يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فأما المؤمن
فيفتن سبعا, وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا

“Dua orang,
(dari kalangan) mukmin dan munafik terkena fitnah.
Sementara orang
mukmin difitnah selama tujuh (hari), dan orang munafik difitnah selama empat
puluh (hari).” (Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Mushannafnya, 3/590).

Akan tetapi ada kesalahan nama padanya dimana nama Ubaid bin Umair menjadi
Abdullah bin Umar. Dan telah disebutkan kebanyakan (ulama) (nama) yang benar
–ditambahi penukilan Suyuti tadi- diantaranya Ibnu Abdul Bar Al-Maliki dalam
ucapannya, “Dahulu Ubaid bin Umair sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Juraij dari Harits bin Abi Harits darinya mengatakan, “Dua orang, (dari
kalangan) mukmin dan munafik terkena fitnah.
Sementara orang mukmin
difitnah selama tujuh (hari), dan orang munafik difitnah selama empat puluh
(hari).” (At-Tamjid Lima Fil Muwatto’ Min Ma’ani Wal Asanid, 22/252)

2.
Sementara apa yang diriwayatkan dari Mujahid bin Jabr tidak ada ketentuan
hari fitnah kubur bagi orang mukmin. Tidak ada juga (memberi) makan atau
shadaqah untuknya.
Di samping itu,
ia tidak ada sanadnya agar dapat dinilai derajatnya. As-Suyuti rahimahullah
mengatakan, “Disebutkan Ibnu Rajab dalam kitab Al-Kubur dari Mujahid bahwa,
“Ruh-ruh itu dalam kubur selama tujuh hari sejak dikuburkan tidak berpisah
dengan jasadnya.”
Saya tidak dapatkan sanadnya.” (Ad-Dibaj Ala Muslim, 2/490)

Kesimpulannya,

1.Atsar
Thowus tidak shahih bahwa orang mukmin difitnah tujuh hari di kuburannya
setelah pemakaman.
Karena itu
hendaknya memberi makanan untuknya pada hari-hari itu.
Sanadnya lemah dan terputus.
Masalah ghaib tidak dapat diambil kecuali dari nash-nash syariat. Atau dari
para shahabat yang shahih dan memiliki derajat marfu (sampai kepada Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam).

Disamping itu
juga ia berlawanan dengan apa yang terdapat  ketetapan dari nash shahih
dimana fitnah orang mukmin hanya sekali setelah di kubur. Maksud dari fitnah
kubur adalah pertanyaan dua Malaikat Munkar dan Nakir. Ibnu Abdul Bar
rahimahullah berkomentar, “Atsar yang sampai kepada Nabi (Marfu) kesemuanya
menunjukkan bahwa fitnah –wallahu’alam- hanya sekali saja.” (At-Tamhid Lima
Fi Al-Muwatto’ Minal Ma’ani Wal Asanid, 22/251)

Kemudian membari
makanan untuk mayat selama tujuh hari, termasuk sesuatu yang seyogyanya
terkenal di kalangan para shahabat yang mulia, dan hal ini yang tidak kita
jumpai dalam biografi dan sejarah mereka. Bahkan yang terkenal itu, membuat
makanan untuk keluarga mayat. dikarenakan kesibukan mereka dari membuat
makanan. Dan itu wasiat Nabi sallallahu alaihi wa sallam.

2.Atsar
Mujahid rahimahullah tidak ada dasar asalnya dalam kitab sunnah. Di dalamnya
juga tidak ada ketentuan waktu fitnah kubur bagi orang-orang mukmin. Tidak
ada memberi makanan dan shadaqoh bagi mayat.

3.
Adapun riwayat dari tabiin yang mulia Ubaid bin Umair, nampaknya sanadnya
itu shahih. Tapi di dalamnya tidak ada (ajaran memberi) makanan sebagai
sadaqah atas nama mayat. Ajaran memberi shodaqah untuk mayat hanya bersumber
dari perkataan Ibnu Juraij rahimahullah ketika mengomentari atsar beliau,
dia mengatakan, “Saya katakan bahwa ada yang mengatakan, ‘Kami tidak lihat
orang yang lebih lengah dibanding mereka yang kehilangan seseorang selama
tujuh hari tanpa memberikan shadaqoh kepadanya.” Penentuan waktu, masih
perlu ditinjau ulang. Karena shadaqoh untuk mayat, mayoritas ulama
membolehkannya.

Dalam atsar
Ubaid bin Umar, hanya membatasi fitnah kubur berlaku bagi orang mukmin dan
munafik. Hal ini menunjukkan bahwa orang kafir tidak difitnah dalam
kuburannya. Kesimpulan ini terdapat dalam nash (jelas) riwayat Abdur razzq
As-Shan’ani dalam ‘Mushonnafnya’, di dalamnya terdapat pernyataan,
“Sesungguhnya yang mendapatkan fitnah adalah dua, orang Mukmin dan Munafik.

Orang mukmin mendapatkan fitnah selama tujuh hari, sementara orang munafik
mendapatkan fitnah empat puluh hari. Adapun orang kafir tidak ditanya
tentang Muhammad, karena dia tidak mengenalnya.”

Perkataan itu dijadikan landasan pendapat sebagian imam, yang terkenal
diantara mereka adalah Al-Hafidz Ibnu Abdul Bar rahimahullah, beliau
mengatakan, “Atsar yang tetap (shahih) dalam bab ini, menunjukkan bahwa
fitnah dalam kuburan hanya berlaku bagi orang mukmin dan munafik. (Tentang
orang munafik) karena dia di dunia dimasukkan (secara zahir) sebagai ahli
kiblat dan muslim,  dimana darahnya terlindungi secara zahir karena
persaksiaannya (bersahadat). Sementara orang kafir adalah pembangkang dan
membatalkan (syahadah), dia tidak termasuk yang ditanya tentang tuhan, agama
dan nabinya.
Yang ditanya tentang hal ini adalah orang Islam.” (At-Tahmid Lima Fi
Al-Muwattha Minal Ma’ani Wal Asanid, 22/252)

Para ulama yang
meneliti masalah ini memberikan bantahan, Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
mengomentari atsar ‘Umair binUbaid rahimahullah. (atsar) ini mauquf (hanya
sampai kepada shahabat). Sementara hadits-hadits secara tegas menunjukkan
bahwa orang kafir (juga) ditanya, (adalah) hadits marfu (sampai kepada Nabi)
disamping banyaknya jalur periwayatan yang shahih, maka itu lebih utama
diterima untuk diterima.”

(Fathul Bari,
3/239)

Ibnu Qayim
menukilkan perkataan Ibnu Abdul Bar kemudian beliau mengomentari, “Al-Qur’an
dan Sunah menunjukkan berbeda dengan pendapat ini. Bahwa pertanyaan untuk
orang kafir dan mukmin. Allah berfirman:

يثبت الله الذين آمنوا بالقول الثابت
في الحياة الدنيا وفي الآخرة ويضل الله الظالمين ويفعل الله ما يشاء  (سورة
إبراهيم: 27)

“Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu
dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang
yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)

Terdapat
ketetapan dalam (hadits) shahih (ayat) ini turun terkait dengan azab kubur
ketika ditanya (siapa tuhanmu, apa agamamu dan siapa nabimu). Dalam shahih
Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam
beliau bersabda:

إن العبد إذا وضع في قبره وتولى عنه
أصحابه إنه ليسمع قرع نعالهم

“Seorang hamba
ketika diletakkan di kuburan, maka ketika orang-orang kembali,  dia
mendengar (suara) jejak sandalnya.”

Disebutkan kelanjutan
haditsnya. Bukhori menambahkan

وأما المنافق والكافر فيقال له: ما كنت تقول في
هذا الرجل فيقول: لا أدرى كنت أقول ما يقول الناس فيقال لا دريت ولا تليت ويضرب
بمطرقة من حديد يصيح صيحة يسمعها من يليه إلا الثقلين.

“Sementara orang munafik dan
kafir dikatakan kepadanya, “Apa yang anda katakan terhadap orang ini, maka
dia mengatakan, Saya tidak tahu, dahulu saya mengatakan apa yang dikatakan
oleh orang-orang. Dikatakan, “Anda tidak tahu dan tidak membacanya. Lalu dia
dipukul dengan palu dari besi sampai berteriak-teriak hingga terdengar siapa
yang ada di sekitarnya kecuali dua tsaqalain (manusia dan jin).”
Begitu
redaksi di Bukhori (Sementara orang munafik dan orang kafir) dengan memakai
kata sambung ‘dan’.

Perkataan Abu
Umar rahimahullah, “Adapun orang kafir pembangkang dan merusak (sahadat)
termasuk yang tidak ditanya tentang tuhan dan agamanya.” Dikatakan
kepadanya, “Tidak demikian, bahkan dia termasuk orang yang ditanya dan lebih
utama ditanya dibandingkan yang lainnya.
Allah telah memberitahukan
bahwa orang kafir akan ditanya pada hari kiamat.

Allah berfirman:

ويوم يناديهم فيقول ماذا أجبتم
المرسلين  (سورة القصص: 65)

“Dan
(ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata: “Apakah
jawabanmu kepada para rasul?” (QS. Al-Qasas: 65)

فوربك لنسألنهم أجمعين عما كانوا.
يعملون  (سورة الحجر:  92-93)

“Maka
demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah
mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr: 92-93)

Firman
Allah lainnya,

“Maka
sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul
kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul
(Kami),” (QS. Al-A’raf: 6)

Kalau
mereka ditanya pada hari kiamat, bagaimana mungkin mereka tidak ditanya di
kuburnya. Maka, apa yang disebutkan oleh Abu Umar rahimahullah tidak tepat.”

(Kitab Ar-Ruh, hal. 84-86) 

4.
Yang shahih
dalam Sunnah nabawiyah dan atsar para shahabat radhiallahu anhum dan
generasi setelahnya adalah membuat makanan untuk keluarga mayat, sebagai
tindakan mengikuti wasiat Nabi sallallahu alaihi wa sallam akan hal itu.

Dikalangan mereka tidak
dikenal memberi makanan atau memberi shadaqoh pada waktu tertentu setelah
penguburan mereka. Tidak dikenal juga bahwa keluarga mayat membuat makanan
untuk mereka. 

Imam Syafii
rahimahullah berkata, “Saya menyukai untuk tetangga mayat atau kerabatnya
melakukan untuk keluarga mayat di hari kematian dan waktu malamnya untuk
membuat makanan agar mengenyangkan mereka.
Karena hal itu
merupakan sunnah dan ungkapan yang mulia, serta termasuk prilaku orang
dermawan sebelum dan sesudah kita. Karena ketika datang orang yang memberi
belasungkawa, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Masaklah
untuk keluarga Ja’far makanan, karena mereka disibukkan dengan urusannya.”

(HR. Abu
Dawud dan TIrmizi, Ibnu Majah dengan sanad hasan.” (Kitab Al-Umm, 1/278)

Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sementara keluarga mayat
membuat makanan dan mengundang orang-orang, hal ini tidak dianjurkan dan
merupakan perbuatan bid’ah.”

Bahkan
Jarir bin Abdullah mengatakan, “Kami menganggap berkumpul di keluarga mayat
serta mereka membuat makanan untuk orang-orang termasuk niyahah (ratapan).
Akan tetapi yang dianjurkan, ketika ada seseorang meninggal dunia, agar
memasakkan makanan untuk keluarganya sebagaimana sabda Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam ketika ada orang yang memberi belasungkawa
kepada Ja’far bin Abu Tholib, “Masaklah makanan untuk keluaga Ja’far, karena
telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkannya.” (Majmu Fatawa,
24/316).

Wallahu’alam .

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android
at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android