0 / 0

Konsekwensi Hukum Wanita Yang Merawat Laki-laki Cacat Mental

Pertanyaan: 177015

Saya baru saja masuk Islam. Saya selalu berusaha mengumpulkan informasi dan petunjuk Insya Allah. Pertanyaan saya terkait dengan pekerjaan saya sebagai pengasuh rumah. Saya bekerja merawat seorang yang cacat mental yang mengalami kerusakan berat pada salah satu bagian otaknya saat kelahiran. Orang ini berusia 40 tahun. Aktifitas akalnya dan kemampuan geraknya tidak melampaui anak yang masih menyusui, dia tidak dapat mengontrol dalam segala hal dan tidak dapat melakukan sesuatu secara mandiri. Misalnya, dia tidak dapat membersihkan dirinya sendiri atau makan sendiri, bahkan termasuk mengenakan pakaian dalam. Diapun tidak dapat berjalan atau berbicara sama sekali. Dia bergerak dengan kursi roda. Saya telah sampaikan kepada keluarganya bahwa saya dapat merawatnya. Pertanyaan saya adalah apakah kedekatan saya dengannya membuat wudhu saya batal, karena saya selalu menyentuhnya sepanjang siang?

Teks Jawaban

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Kami mohon kepada Allah Ta’ala semoga anda diberikan keteguhan dalam agamaNya dan kami nasehatkan anda untuk selalu mempelajari agama dan mengamalkan ketaatan semampunya, karena hal itu akan membuat anda teguh dan dapat berdakwah di jalan Allah.

Kedua:

Adapun terkait dengan pekerjaan anda merawat orang yang mengalami cacat mental, itu adalah pekerjaan yang dibolehkan pada dasarnya. Di dalamnya terdapat beberapa hukum yang layak disebutkan di sini secara ringkat.

Pada dasarnya, aurat orang cacat tidak boleh dilihat dan disentuh tanpa penghalang. Karena itu, anda wajib menutupnya ketika membersihkannya dan tidak boleh melihatnya. Hendaknya dibersihkan dengan penghalang seperti sapu tangan. Disamping sarung tangan ini memberikan manfaat lain, yaitu tangan tidak kotor dengan najis.

Para ulama dalam Lajnah Daimah ditanya, “Bapakku mendapatkan tiga anak yang cacat mental. Ini adalah karunia Allah yang dikhususkan kepada hambanya yang beriman, Alhamdulillahi rabbil aalamin. Mereka bertiga adalah saudaraku. Mereka tentu saja karena cacat, tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Ibu mereka telah merawat mereka, makan dan minumnya serta mengenakan pakaian. Akan tetapi sekarang mereka sudah masuk usia dewasa, yang paling besar berusia 25 tahun. Apakah boleh bagi ibu saya membersihkan kakak saya yang paling besar dan memandikannya dan dapat terlihat auratnya. Karena mereka tidak tahu bagaimana membersihkan dirinya. Begitu pula halnya dengan saya?”

Mereka menjawab, “Kalian boleh membersihkan orang-orang cacat dengan memandikannya atau lainnya. Akan tetapi dengan tetap menutup aurat mereka dan membersihkannya dibalik penghalang baik dengan kain atau lainnya dengan mengengakan sesuatu di tangan seperti sarung tangan atau balutan kain yang dapat menghindarinya dari kotor najis. Hendaknya kalia bersungguh-sungguh merawat mereka, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang telah berbuat baik.”

Syekh Abdulaziz bin Baz, Syekh Abdulaziz Alu Syekh, Syekh Abdullah bin Ghudayyan, Syekh Shaleh Al-Fauzan dan Syekh Bakar Abu Zaid.

Fatawa Lajnah Daimah, 24/425-426

2. Orang cacat mental yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita, termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ (سورة النــور: 31)

“Atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)..” (QS. An-Nur: 31)

Di depan mereka, seorang wanita boleh membuka aurat sebagaimana mereka membuka aurat di depan mahramnya, yaitu yang biasanya boleh tampak, seperti kepala, wajah, tangan dan kaki.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Orang laki yang sudah hilang syahwatnya, karena tua renta atau impoten atau sakit yang tidak ada harapan sembuh, atau dikebiri, atau banci yang tidak ada syahwatnya, maka hukum mereka seperti hukum mahram. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ (سورة النــور: 31)

“Atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)..” (QS. An-Nur: 31)

Maksudnya adalah mereka yang tidak lagi bernafsu terhadap wanita. Ibnu Abbas berkata, “Dia adalah orang yang tidak bernafsu (kepada) wanita tidak malu kepadanya.” Juga diriwayatkan darinya, “Dia adalah banci yang tidak mampu ereksi.” (Al-Mughni, 7/462)

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (3/8), “Ulama kalangan mazhab Maliki, Syafii dan Hambali juga merupakan salah satu pendapat mazhab Hanafi bahwa hukum orang yang tidak memiliki syahwat adalah seperti hukum mahram dalam hal pandangan bagi wanita. Mereka dapat melihat tempat-tempat hiasan pada wanita, seperti rambut, kedua tangan. Hukum mereka dalam bercampur bersama wanita juga seperti hukum mahram, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ (سورة النــور: 31)

“Atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)..” (QS. An-Nur: 31)

Jika pekerjaan anda membuat anda harus melihat auratnya atau menyentuhnya, maka hal itu dibolehkan, karena itu merupakan kebutuhan dan mendesak, seperti halnya dokter butuh melihat aurat pasien atau menyentuhnya.

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (14/19) dikatakan, “Tidak ada khilaf di kalangan ahli fiqih bahwa melihat aurat orang lain adalah haram, selain pandangan suami isteri satu sama lain. Maka selain itu, tidak dihalalkan melihar aurat orang lain selama tidak ada kebutuhan mendesak, seperti dokter yang melihat pasiennya dan orang yang harus merawat pasien seperti untuk berwudhu atau istinja atau selainnya. Atau seperti bidan, maka dibolehkan baginya melihat bagian aurat yang dia butuhkan. Atau seperti berobat atau mengobati dan selainnya. Karena kondisi darurat membolehkan perkara yang terlarang, dan adanya kebutuhan diperlakukan seperti perkara darurat. Namun pandangan yang dibolehkan tersebut hanya sebatas kebutuhan. Karena apa yang dibolehkan berdasarkan darurat, digunakan secukupnya.”

1.Dalam kondisi anda harus menyentuh orang tersebut untuk tujuan membersihkan atau pengobatan, maka hendaknya dibedakan antara menyentuh aurat tanpa penghalang dan anggota badan lainnya. Menyentuh aurat tanpa penghalang adalah membatalkan wudhu, sedangkan menyentuh anggota badan lainnya, tidak membatalkan wudhu.

Terkait dengan masalah menyentuh aurat, para ulama yang tergabung Lajnah Daimah berkata, “Menyentuh aurat tanpa penghalang, membatalkan wudhu, baik yang disentuh adalah anak kecil atau orang dewasa. Berdasarkan riwayat yang tetap dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, ”

مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأ (رواه النسائي،  444 ، وابن ماجه ،  481 ، وصححه الألباني في صحيح النسائي)

“Siapa yang menyentuh kemaluaannya, maka hendaklah dia berwudhu.” (HR. Nasai, no. 444, Ibnu Majah, no. 481, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Nasa’i)

Menyentuh kemaluan orang lain, sama (hukumnya batal wudhunya) dengan menyentuh kemaluan sendiri.”

Syekh Abduaziz bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah Ghudayyan, Syekh Abdullah bin Quud.

(Fatawa Lajnah Daimah, 5/265)

Adapun masalah wanita menyentuh tubuh orang laki tidak dianggap membatalkan wudhu, hal tersebut telah kami jelaskan secara terperinci dalam jawaban soal no. 86115.

2.Akhirnya kami berpandangan bahwa seorang pasien wanita hendaknya dirawat oleh sesama jenisnya dari kalangan wanita, dan pasien pria dirawat oleh pria. Karena itu, jika mudah bagi anda mendapatkan pekerjaan merawat wanita, maka hal itu tidak diragukan lagi lebih utama bagi anda.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android