Unduh
0 / 0
921810/04/2012

Apakah Orang Awam Boleh Mengkafirkan Orang Yang Mencela Agama Tanpa Merujuk Kepada Para Ulama?

Pertanyaan: 178080

Apakah bagi orang awam, apabila mendengar ada seseorang yang mencela Allah dan agama, atau Rasulullah shallalalhu alaihi wa sallam, mereka boleh mengkafirkan orang itu, tanpa Merujuk Kepada Para Ulama?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Tidak diragukan lagi bahwa mencaci Allah Ta’ala, kita
berlindung kepada Allah dari perbuatan tersebut, atau mencaci Rasul-Nya dan
agama-Nya, merupakan kekufuran besar kepada Allah. Siapa yang melakukan hal
tersebut maka dia telah berbuat kufur besar yang dapat mengeluarkannya dari
agama. Jika dia mati dalam keadaan demikian sebelum bertaubat, maka dia
termasuk ahli neraka yang kekal selama-lamanya.

Syekh Ibn Baz rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa
seorang muslim, kapan saja dia mencela agama, atau melecehkannya, atau
mencela Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau meremehkannya, atau
menghinanya, maka dia telah murtad, kafir, halal darah dan hartanya.”

Fatawa Nurun Alad-Darb, Ibn Baz, hal. 139

Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah ditanya,

“Apa hukum orang yang mencela agama dan mencela Allah? Apa
kaffarahnya? Perlu diketahui bahwa orang itu telah berkeluarga, apakaha
dengan demikian haram baginya isterinya atau tertalak?

Beliau menjawab, “Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan
tersebut merupakan sikap murtad dari Islam dan kekufuran kepada Allah yang
berhak bagi pelakunya dikenakan hukuman mati atau dia bertaubat. Isterinya
diceraikan darinya dan terputuslah hubungannya kepada kerabatnya. Dia tidak
mewarisi dari mereka dan mereka tidak mewarisi darinya. Akan tetapi, jika
dia taubat, menyesal, mohon ampun serta mengakui kesalahannya, Allah akan
menerima taubatnya dan dia berhak rujuk kembali kepada isterinya jika belum
selesai masa iddahnya. Jika telah habis masa iddahnya, wanita tersebut
berhak atas dirinya, dan tidak halal baginya kecuali jika wanita itu ridha
(dinikahi kembali).”

Fatawa Islamiyah, 3/533

Kedua:

Siapa yang mendengar langsung dengan mata
kepala sendiri ada seseorang yang mencaci Allah secara terang-terangan, atau
telah jelas baginya berbagai bukti atas hal tersebut, maka tidak mengapa
dirinya meyakini kekafiran orang yang mengucapkannya. Karena itu bentuk
cacian yang paling nista, tidak ada yang berani melakukannya kecuali orang
yang benar-benar telah mencapai puncak kesesatan serta ditundukkan oleh
sifat tercela dengan kedudukan Allah yang Maha Agung. Atau orang yang
akalnya sudah tidak waras, tidak menyadari apa yang dia katakan.

Penghinaan seperti itu bukanlah masalah
yang tersembunyi sehingga membutuhkan ketetapan hukum dari para ulama atau
ijtihad atau pandangan. Tapi dia merupakan perkara yang tampak dan dapat
diketahui orang yang bodoh atau orang pandai dan dianggap tercela oleh anak
kecil maupun orang dewasa.

Akan tetapi, selayaknya dipertimbangkan
tujuan syariat dalam mengingkari hal tersebut dan mengecamnya. Intinya
adalah bagaimana menghilangkan kemungkaran tersebut atau mencegahnya dan
berusaha menarik pelakunya ke jalan taubat dan kembali kepada Tuhannya,
meskipun dia telah dianggap murtad dan keluar dari agama. Memintanya untuk
bertaubat merupakan perkara yang telah diketahui dan ditetapkan. Maka
seharusnya ada upaya untuk memberinya peringatan dan nasehat yang sesuai
dengan kondisinya serta menjelaskan buruknya perbuatannya dan
dipertimbangkan pula jalan yang ditempuh terhadapnya sesuai ketetapan syari
dan sesuai kondisinya.

Al-Lajnah Ad-Daimah berkata:

“Mencaci agama, kita berlindung kepada Allah dari perbuatan
tersebut, merupakan kekufuran yang nyata berdasarkan nash dan ijmak.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا
تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ  (سورة التوبة: 5-6)

“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah
beriman.” (QS. At-Taubah: 5-6)

Serta ayat lain yang semakna. Orang tersebut wajib dinasehati
dan diingkari perbuatannya. Jika dia menerima nasehat, alhamdulillah. Jika
tidak, maka tidak boleh memberikan salam kepada orang yang mencaci agama dan
tidak boleh menjawab salam jika dia memulainya. Undanganya tidak boleh
disambut dan dia wajib dijauhi secara total hingga dirinya bertaubat. Atau
dilaksanakan hukum Allah berupa hukum mati melalui keputusan pemerintah.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

  من بدل دينه
فاقتلوه ( خرجه البخاري في صحيحه، رقم 3017)

“Siapa yang mengganti agamanya, hendaknya
kalian membunuhnya.” (HR. Bukhari dalam
shahihnya, no. 3017.”

(Fatawa Allajnah Ad-Daimah, 2/12)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, jika
seseorang taubat dari dosa apa saja, walapun dosa karena mencaci agama, maka
taubatnya akan diterima selama semua syaratnya terpenuhi sebagaimana kami
sebutkan. Hendaknya perlu diketahui bahwa sebuah ucapan dapat dikatagorikan
kufur dan murtad, akan tetapi belum tentu yang mengucapkannya dianggap kufur
apabila ada faktor penghalang yang menghalanginya untuk ditetapkan kufur
terhadapnya. Seseorang yang dikatakan mencaci agama dalam keadaan marah,
maka kita katakan kepadanya, “Jika marah anda sangat besar, sehingga anda
tidak menyadari apa yang anda katakan, dan anda tidak menyadari apakah anda
berada di langit atau di bumi, dan anda mengucapkan kata-kata yang tidak
anda ingat dan anda kenal, maka ucapan tersebut tidak ada hukumnya, dan
orangnya tidak dapat dihukumi murtad, karena ucapan itu keluar tanpa
dikehendaki. Semua ucapan yang keluar tanpa dimaksud, maka Allah Ta’ala
tidak menghukumnya. Dia berfirman dalam masalah sumpah,

لَا يُؤَاخِذُكُمُ
اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ
قُلُوبُكُمْ  (سورة البقرة: 225)

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS. Al-Baqarah:
225)

(Fatawa Nurun Alad-Darb, 2/24)

Untuk mengetahui batasan dalam menetapkan
kufur, hendaknya diperiksa kembali jawaban soal no.
85102

Wallahu Ta’ala A’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

answer

Tema-tema Terkait

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android