Saya tinggal di salah satu desa di India dengan jumlah penduduk sekitar 5000 jiwa, semuanya muslim dan bermadzhab Hanafi, kecuali 50 orang yang mengikuti manhaj salaf. Saya adalah salah satu dari yang 50 orang di atas. Penduduk desa dari kalangan laki-laki yang jumlahnya sekitar 2000 orang mengakhirkan pelaksaan shalat idul Fitri dan Idul Adha sampai pukul 11.00 siang, cara shalat mereka pun berbeda. Sehingga kami yang berjumlah 50 orang bersepakat untuk mendirikan shalat id sendiri tidak bersama penduduk setempat. Bagaimanakah pendapat anda? Apakah keputusan kami ini benar? Atau apakah lebih afdholnya mengikuti penduduk desa tersebut, meskipun dengan cara yang bebeda. Mohon jawabannya dengan menyebutkan pendapat para ulama.
Jika Penduduk Setempat Dari Madzhab Hanafi Mengakhirkan Shalat Ied, Apakah Boleh Mendirikan Shalat Ied Sendiri?
Pertanyaan: 178782
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Kami memohon kepada Allah Ta’ala, agar anda semua dikumpulkan dalam kebenaran dan kebaikan, dan mudah-mudahan Allah menyetukan hati anda semua dalam ketaatan. Kami sangat bahagia apabila melihat kaum muslimin semua mengikuti manhaj salaf dalam hal akidah, hukum dan akhlak. Kami berpendapat bahwa semua kebaikan itu terletak pada ittiba’ kepada manhaj salaf.
Menjadi suatu hal yang wajib anda ketahui bahwa manhaj salaf tidak menghendaki perpecahan antar umat Islam, bahkan persatuan shaf dan hati umat Islam menjadi salah satu (maqashidus Syari’ah) tujuan utama dari syariat ini, Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ١٠٣
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imran: 103)
Persatuan dan bertemunya hati dalam ayat di atas masih bisa ditoleransi ketika perbedaan itu menyangkut masalah-masalah cabang dalam fiqh aplikatif. Sikap manhaj salaf dalam hal ini sangat luas lebih dari sekedar masalah yang anda tanyakan. Mereka membolehkan shalat di belakan imam yang berbeda pendapat tentang hal-hal yang membatalkan wudhu seperti memakan daging unta, mereka juga membolehkan shalat di belakang imam yang berbeda pendapat dalam rukun shalat, seperti pendapat Hanafiyah bahwa membaca al fatihah bukan termasuk rukun shalat. Mereka juga membolehkan berimam atau bermamkmum dengan yang berbeda pendapat tentang basmalah apakah termasuk ayat dari surat al Fatihah atau bukan. Demikian banyak masalah-masalah furui’yyah (cabang) yang tidak memungkinkan untuk disebutkan semua saat ini, cukup beberapa contoh saja pada pada kesempatan ini. Untuk lebih jelasnya silahkan anda lihat di jawaban soal nomor: 59925, 12585, 66613.
Semua ini apabila masalah yang anda tanyakan tentang waktu shalat ied ada perbedaan antara anda dengan saudara-saudara dari madzhab Hanafiyah. Padahal sebenarnya tidak ada perbedaan di antara anda sekalian dalam masalah tersebut.
Waktu shalat ied yang dilakukan oleh saudara-saudara kita dari kalangan Hanafiyah adalah waktu sah secara ijma’ untuk pelaksanaan shalat ied. Semua madzhab sepakat bahwa batas akhir waktu shalat ied adalah tergelincirnya matahari ke arah barat yaitu mendekati waktu dzuhur, meskipun mereka berbeda pendapat tentang awal mula bolehnya shalat ied. Jumhur ulama madzhab Maliki, Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa awal mula bolehnya shalat ied adalah ketika matahari meninggi dengan ukuran sekitar satu tombak, sementara madzhab Syafi’i berpendapat bahwa awal mula bolehnya mendirikan shalat ied adalah awal terbitnya matahari.
Disebutkan dalam “Mausu’ah Fiqhiyyah” (27/243): Jumhul ulama fiqh dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah bahwa awal masuknya shalat ied adalah ketika matahari mulai meninggi sekitar setinggi satu tombak dengan penglihatan kasat mata, inilah waktu awal bolehnya mendirikan shalat sunnah sampai mendekati tergelincirnya matahari. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu shalat ied itu di antara awal mula terbit matahari sampai tergelincir ke arah barat. Dalil mereka adalah bahwa shalat ied merupakan shalat yang memiliki sebab tertentu dan tidak berkaitan dengan waktu terlarang untuk shalat.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh saudara kita dari kalangan Hanafiyah boleh dilakukan dengan tanpa ada perbedaan di antara para ulama. Mereka pun melakukannya sesuai dengan tuntunan syari’at, akan tetapi untuk idul adha sebaiknya mereka dinasehati agar mendirikannya lebih awal sehingga ada kesempatan untuk menyembelih hewan kurban. Adapun shalat idul fitri tidak masalah untuk diakhirkan; sehingga ada kesempatan untuk membagi zakat fitrah kepada yang berhak menerimanya; karena sebaik-baik waktu pembayaran zakat fitrah adalah di antara terbit fajar pada hari raya idul fitri sampai sebelum shalat idnya.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Disunnahkan untuk mensegerakan pelaksanaan shalat idul adha; agar waktu penyembelihan hewan qurban lebih leluasa dan mengakhirkan pelaksanaan shalat idul fitri; agar lebih leluasa untuk pendistribusiannya zakat fitrah, ini merupakan pendapat madzhab Syafi’i. Setiap hari raya ada target masing-masing. Target hari raya idul fitri adalah mengeluarkan zakat fitrah dan itu dilakukan sebelum shalat id, sedangkan target hari raya idul adha adalah penyembelihan hewan qurban dan itu dilakukan setelah shalat id. Mengakhirkan shalat idul fitri dan mendahulukan shalat idul adha mempermudah pencapaian target di atas”. (Al Mughni: 2/232)
Menjadi nasehat bagi anda semua agar bersama-sama mendirikan shalat id dengan penduduk setempat dengan satu imam dalam kedua shalat id, shalat jum’at dan shalat berjama’ah. Dan janganlah kalian menjadi penyebab perpecahan dalam tubuh umat Islam. Manhaj salaf sangat tidak menginginkan pengikutnya menjadi penyebab perpecahan umat Islam, namun juga tidak melarang kalian untuk menjelaskan yang sesuai sunnah dalam ibadah mereka, akan tetapi harus dibedakan mana yang dibolehkan berbeda pendapat dan mana yang tidak diperbolehkan. Syiar umat Islam yang nampak dengan jelas seperti shalat jum’at dan shalar berjama’ah jangan sampai menjadi pemicu perpecahan antara kalian dengan pengikut madzhab fikih yang sepakati. Apa yang kami jelaskan di atas semoga menjadi jawaban yang sangat jelas. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq dan menjaga kalian.
Wallahu A’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait