Unduh
0 / 0
547511/06/2012

Jika Penduduk Setempat Dari Madzhab Hanafi Mengakhirkan Shalat Ied, Apakah Boleh Mendirikan Shalat Ied Sendiri?

Pertanyaan: 178782

Saya tinggal di salah satu desa di India dengan jumlah penduduk sekitar 5000 jiwa, semuanya muslim dan bermadzhab Hanafi, kecuali 50 orang yang mengikuti manhaj salaf. Saya adalah salah satu dari yang 50 orang di atas. Penduduk desa dari kalangan laki-laki yang jumlahnya sekitar 2000 orang mengakhirkan pelaksaan shalat idul Fitri dan Idul Adha sampai pukul 11.00 siang, cara shalat mereka pun berbeda. Sehingga kami yang berjumlah 50 orang bersepakat untuk mendirikan shalat id sendiri tidak bersama penduduk setempat. Bagaimanakah pendapat anda? Apakah keputusan kami ini benar? Atau apakah lebih afdholnya mengikuti penduduk desa tersebut, meskipun dengan cara yang bebeda. Mohon jawabannya dengan menyebutkan pendapat para ulama.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Kami memohon kepada Allah
Ta’ala, agar anda semua dikumpulkan dalam kebenaran dan kebaikan, dan
mudah-mudahan Allah menyetukan hati anda semua dalam ketaatan. Kami sangat
bahagia apabila melihat kaum muslimin semua mengikuti manhaj salaf dalam hal
akidah, hukum dan akhlak. Kami berpendapat bahwa semua kebaikan itu terletak
pada ittiba’ kepada manhaj salaf.

Menjadi suatu hal yang wajib
anda ketahui bahwa manhaj salaf tidak menghendaki perpecahan antar umat
Islam, bahkan persatuan shaf dan hati umat Islam menjadi salah satu (maqashidus
Syari’ah) tujuan utama dari syariat ini, Allah –subhanahu wa ta’ala-
berfirman:

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ
بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ
شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ١٠٣

“Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS.
Ali Imran: 103)

Persatuan dan bertemunya hati
dalam ayat di atas masih bisa ditoleransi ketika perbedaan itu menyangkut
masalah-masalah cabang dalam fiqh aplikatif. Sikap manhaj salaf dalam hal
ini sangat luas lebih dari sekedar masalah yang anda tanyakan. Mereka
membolehkan shalat di belakan imam yang berbeda pendapat tentang hal-hal
yang membatalkan wudhu seperti memakan daging unta, mereka juga membolehkan
shalat di belakang imam yang berbeda pendapat dalam rukun shalat, seperti
pendapat Hanafiyah bahwa membaca al fatihah bukan termasuk rukun shalat.
Mereka juga membolehkan berimam atau bermamkmum dengan yang berbeda pendapat
tentang basmalah apakah termasuk ayat dari surat al Fatihah atau bukan.
Demikian banyak masalah-masalah furui’yyah (cabang) yang tidak memungkinkan
untuk disebutkan semua saat ini, cukup beberapa contoh saja pada pada
kesempatan ini. Untuk lebih jelasnya silahkan anda lihat di jawaban soal
nomor: 59925, 12585,
66613.

Semua ini apabila masalah
yang anda tanyakan tentang waktu shalat ied ada perbedaan antara anda dengan
saudara-saudara dari madzhab Hanafiyah. Padahal sebenarnya tidak ada
perbedaan di antara anda sekalian dalam masalah tersebut.

Waktu shalat ied yang
dilakukan oleh saudara-saudara kita dari kalangan Hanafiyah adalah waktu sah
secara ijma’ untuk pelaksanaan shalat ied. Semua madzhab sepakat bahwa batas
akhir waktu shalat ied adalah tergelincirnya matahari ke arah barat yaitu
mendekati waktu dzuhur, meskipun mereka berbeda pendapat tentang awal mula
bolehnya shalat ied. Jumhur ulama madzhab Maliki, Hanafi dan Hambali
berpendapat bahwa awal mula bolehnya shalat ied adalah ketika matahari
meninggi dengan ukuran sekitar satu tombak, sementara madzhab Syafi’i
berpendapat bahwa awal mula bolehnya mendirikan shalat ied adalah awal
terbitnya matahari.

Disebutkan dalam “Mausu’ah
Fiqhiyyah” (27/243): Jumhul ulama fiqh dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah
dan Hanabilah bahwa awal masuknya shalat ied adalah ketika matahari mulai
meninggi sekitar setinggi satu tombak dengan penglihatan kasat mata, inilah
waktu awal bolehnya mendirikan shalat sunnah sampai mendekati tergelincirnya
matahari. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu shalat ied itu di antara
awal mula terbit matahari sampai tergelincir ke arah barat. Dalil mereka
adalah bahwa shalat ied merupakan shalat yang memiliki sebab tertentu dan
tidak berkaitan dengan waktu terlarang untuk shalat.

Dengan demikian, apa yang
dilakukan oleh saudara kita dari kalangan Hanafiyah boleh dilakukan dengan
tanpa ada perbedaan di antara para ulama. Mereka pun melakukannya sesuai
dengan tuntunan syari’at, akan tetapi untuk idul adha sebaiknya mereka
dinasehati agar mendirikannya lebih awal sehingga ada kesempatan untuk
menyembelih hewan kurban. Adapun shalat idul fitri tidak masalah untuk
diakhirkan; sehingga ada kesempatan untuk membagi zakat fitrah kepada yang
berhak menerimanya; karena sebaik-baik waktu pembayaran zakat fitrah adalah
di antara terbit fajar pada hari raya idul fitri sampai sebelum shalat idnya.

Ibnu Qudamah –rahimahullah-
berkata: “Disunnahkan untuk mensegerakan pelaksanaan shalat idul adha; agar
waktu penyembelihan hewan qurban lebih leluasa dan mengakhirkan pelaksanaan
shalat idul fitri; agar lebih leluasa untuk pendistribusiannya zakat fitrah,
ini merupakan pendapat madzhab Syafi’i. Setiap hari raya ada target
masing-masing. Target hari raya idul fitri adalah mengeluarkan zakat fitrah
dan itu dilakukan sebelum shalat id, sedangkan target hari raya idul adha
adalah penyembelihan hewan qurban dan itu dilakukan setelah shalat id.
Mengakhirkan shalat idul fitri dan mendahulukan shalat idul adha mempermudah
pencapaian target di atas”. (Al Mughni: 2/232)

Menjadi nasehat bagi anda
semua agar bersama-sama mendirikan shalat id dengan penduduk setempat dengan
satu imam dalam kedua shalat id, shalat jum’at dan shalat berjama’ah. Dan
janganlah kalian menjadi penyebab perpecahan dalam tubuh umat Islam.  Manhaj
salaf sangat tidak menginginkan pengikutnya menjadi penyebab perpecahan umat
Islam, namun juga tidak melarang kalian untuk menjelaskan yang sesuai sunnah
dalam ibadah mereka, akan tetapi harus dibedakan mana yang dibolehkan
berbeda pendapat dan mana yang tidak diperbolehkan. Syiar umat Islam yang
nampak dengan jelas seperti shalat jum’at dan shalar berjama’ah jangan
sampai menjadi pemicu perpecahan antara kalian dengan pengikut madzhab fikih
yang sepakati. Apa yang kami jelaskan di atas semoga menjadi jawaban yang
sangat jelas. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq dan menjaga kalian.

Wallahu A’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android