Aku masih memiliki pertanyaan terkait bersuci. Bagaimana seseorang tetap dalam kondisi suci, padahal aku telah membaca di website anda, bahwa najis itu bisa berpindah pada sesuatu yang basah, bukan sesuatu atau lapisan yang lembab. Bagaimana halnya dengan cairan-cairan yang lainnya seperti madu atau cream, apakah najis bisa berpindah dari sana? Aku merawat orang yang tidak bisa berjalan. Kewajiban aku adalah membersihkannya jika dia buang air besar, bagaimana hukumnya di sini? Kalau najis itu bisa berpindah dari sesuatu yang basah ke yang lainnya, apakah hal ini juga berlaku untuk semua jenis najis, baik yang terlihat maupun yang tidak? Apa mungkin najis itu berpindah dari tangan yang berkeringat? Bagaimana kalau umpamanya kaki aku dimasukkan dalam air yang najis (contoh air yang mengalir) kemudian aku keluarkan dan membiarkannya sampai mengering kemudian aku memakai kaos kaki, kemudian kakinya basah dan kaos kaki terkena keringat itu, apakah kaos kaki itu menjadi najis? Aku sangat bingung terkait dengan semua perincian ini? Mohon penjelasannya.
Beberapa pertanyaan seputar berpindahnya najis dari sesuatu yang kering atau yang basah
Pertanyaan: 196037
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Belum ada di website kami yang membedakan antara sesuatu yang basah dengan sesuatu yang lembab dari sisi hukum najisnya. Bahkan sesuatu yang basah dan lembab hukumnya sama, yang berbeda adalah antara yang basah (karena najis) dan yang kering.
Maka najis yang kering tidak akan berpindah dari tempatnya kalau dia bertemu dengan sesuatu yang kering sepertinya. Hal ini nampak secaya nyata, maka sesuatu yang kering tidak nampak sesuatu sifat najisnya. Warna, rasa dan baunya. Hanya sekedar bersinggungan dengan sesuatu yang sama keringnya.
As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Kaidah; Al-Qomuli dalam kitab Al-Jawahir berkata, “Ketika najis bertemu dengan sesuatu yang suci dan keduanya kering, maka itu tidak membuatnya najis.” (Al-Asybah wan Nazoir, 1/432).
Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah berkata, “Sesuatu yang najis namun kering tidak mempengaruhi tangan dan baju yang kering. Karena najis, baru berpengaruh dengan sesuatu yang basah.” (Fatawa Islamiyah, 1/194).
Jika najisnya basah maka umumnya najisnya dapat berpindah, baik itu terkena tempat yang basah atau yang kering.
Kedua:
Madu dan cream serta semisal itu adalah sesuatu yang cair, dia akan terpengaruh oleh najis kalau bercampur dengannya, bahkan dia membawa najis, dan najisnya akan berpindah dari sana. Apalagi kalau kadar benda itu sedikit, najis itu masuk meskipun sedikit akan menyebar di dalamnya. Sebab kalau banyak, najis itu hanya memengaruhi sekitar benda cair itu.
Dari Ibnu Abbas dari Maimunah sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaiahi wa sallam ditanya tentang tikus yang jatuh di minyak samin dan mati, maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam ditanya tentangnya, maka beliau bersabda, “Buang apa yang ada di sekitarnya dan makanlah.” (HR. Bukhari, no. 5538).
Sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam “Apa yang ada di sekatirnya” menjadi dalil bahwa apa yang ada di sekitar bangkai itu najis, bisa jadi terkena imbas najisnya. Hal ini tidak ada perbedaan di dalamnya. Justeru yang ada perbedaan itu selain yang ada sesudah benda cair dan sekitarnya yang terkena najis itu.
Intinya, yang menjadi perhatian kita adalah bahwa sesuatu yang cair itu terpengaruh dengan najis, sebagaimana terpenguhnya air, bahkan terhadap air lebih utama, karena dalam air itu ada kekuatan yang dapat mendorong najis itu lebih kuat dibandingkan dengan benda cairan lainnya.
Ketiga:
Tidak ada perbedaan dalam hal itu, baik najis yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Seperti najisnya air seni contohnya, selagi diketahui suatu tempat telah terkena najis atau tampak dari sifat di dalamnya, maka tempat itu menjadi najis dengan terlihatnya salah satu sifat di antara tiga sifat najis, warna, rasa atau baunya. Jika air seni mengenai baju, namun warna baju tersebut tidak tampak air seni itu, dalam hal ini bukan berarti baju itu tidak menjadi najis. Akan tetapi kalau najisnya itu sedikit, tidak terlihat oleh mata, seperti percikan air seni yang sedikit sekali dan semisalnya, di antara ahli ilmu ada yang berpendapat hal itu dimaafkan.
As-Syairozi rahimahullah berkata, “Kalau najis itu tidak diketahui ujungnya, maka dalam masalah ini ada tiga pendapat); Di antara ulama dalam mazhab kami ada yang berpendapat, tidak ada hukumnya (dimaafkan), karena tidak mungkin menghindar darinya, dia seperti debu pelana. Di antara mereka ada yang berkata, ‘Hukumnya seperti hukum semua najis, karena dia termasuk najis yang telah diyakini, maka dia seperti najis yang diketahui ujungnya.”
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang benar dan menjadi pilihan dari semua ini adalah air dan baju tidak menjadi najis. Hal ini ditegaskan oleh Al-Mahamili dalam kitab ‘Al-Muqni’ dan dinukil di kitabnya dari Abut Toyyin bin Salamah, dishahihkan oleh Al-Gozali dan pengarang kitab ‘Al-Uddah dan selain dari keduanya. Karena sulit dan beratnya menghindar darinya, Adapun Allah ta’ala berfirman:
وما جعل عليكم في الدين من حرج
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)
Wallahu a’lam. (Syarhul Muhazzab, 1/178).
Al-Mardawai rahimahullah berkata terkait najis yang ditolerir, “Di antaranya apa yang diucapkan dalam kitab ‘Ar-Ri’ayah: ‘Ditolerir cairan najis yang sedikit seperti darah dan semisalnya menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat yang dipilih adalah mentolerir sesuatu yang sedikit sesuatu jika tidak diketahui wujudnya. Syekh Taqiyuddin memilih pendapat yang mentolerir semua najis yang sedikit secara mutlak, baik berupa makanan ataupun yang lainnya, termasuk bangkai tikus. Dalam kitab ‘Al-Furu’ dikatakan, ‘maksudunya ini merupakan pilihan pendapat pengusun kitab An-Nazhom.’ Aku berkata, ‘Dalam kitab ‘Majma’ Al-Bahrain, aku berkata, ‘Lebih utama ditolerir pada baju dan makanan karena sangat kesulitan. Hal ini tidak diragukan orang berakal karena telah umum terjadi, terutama di pabrik, penggilingan gula, minyak. Sangat berat sekali menghindar dari bulu tikus, dari darah lalat atau semacam kotorannya. Mayoritas ulama dalam mazhab kami memilih pendapat (bahwa hal itu) suci.” (Al-Inshaf, 1/334).
Ada yang berpendapat, “Tidak ditolerir najis yang sedikit, meskipun tidak diketahui wujudnya. Silahkan lihat kitab ‘Kasyful Qana’. (1/190) .
Kelima:
Yang sesuai sunah, kalau seseorang itu terkena najis, hendaknya dia segera membersihkan najis itu, jangan biarkan sampai mengering. Berdasarkan hadits Anas bn Malik berkata,
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
رواه البخاري(221)
“Orang Badui datang dan kencing di pojok masjid, maka orang-orang menghardiknya, namun Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang (menghardiknya). Ketika dia selesai kencing, maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam minta dibawakan satu ember air kemudian disiram di atasnya.” (HR. Bukhari, no. 221).
Keenam:
Kalau kaki berkeringat, maka najis akan berpindah ke kaos kaki dan itu merupakan suatu kepastian. Karena jika najisnya basah –seperti sudah dijelaskan – maka dia akan berpindah ke yang lainnya, meskipun tempat yang dipindahi itu kering.
Wallahu a’lam
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam