Ada seorang wanita yang suaminya pemabuk sering menyakitinya secara fisik, hingga sang istri meninggalkannya menuju Amerika Serikat bagian utara, ia mengira bahwa secara otomatis telah terjadi talak; karena ada seseorang yang memberitahu bahwa jika ia kabur dari suaminya selama satu tahun, maka secara otomatis sudah jatuh talak. Ia bertemu dengan seorang muslim dalam pekerjaanya dan meyakinkannya bahwa dirinya dalam kondisi seperti itu belum jatuh talak, kemudian keduanya saling mengenal, dan saling mencintai hingga akhirnya terjerumus pada zina. Akhirnya wanita tersebut mendapatkan surat cerainya dan menyempurnakan masa iddahnya, masing-masing dari keduanya mulai menyesali perbuatannya dan tidak saling melihat, keduanya merasa berdosa dan bertaubat kepada Allah, keduanya juga mempersiapkan pernikahan dalam waktu dekat insya Allah.
Maka dari itu saya ingin mengetahui hukumnya, apakah pernikahan tersebut sah ?
Saya pernah mendengar sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika seseorang merusak rumah tangga seorang wanita, maka tidak boleh nantinya ia menikahi wanita tersebut, namun sebagian besar para ulama membolehkan pernikahan tersebut dan menganggap puasanya sah.
Laki-laki tersebut tidak yakin apakah pernikahannya boleh atau tidak ?
Karena pada dasarnya wanita tersebut sebelum bertemu dengan laki-laki tersebut sudah berniat untuk bercerai, laki-laki tersebut pengikut madzhab Hanafiyah, dan wanita tersebut mengikuti madzhad Syafi’i. Meskipun jumhur ulama menyatakan sah pernikahan tersebut, dan saya ingin mengetahui pendapat yang benar dalam masalah ini.
Seseorang Berzina Dengan Istri orang lain Yang Sedang Berseteru Dengan Suaminya, Apakah Ia Boleh Menikahinya Jika Ditalak Oleh Suaminya ?
Pertanyaan: 201510
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Jika seorang wanita meninggalkan suaminya, atau seorang suami meninggalkan istrinya dalam waktu satu tahun, kurang atau lebih dari satu tahun, maka pernikahannya tetap terjalin, hingga sang suami menjatuhkan talak secara terus terang. Selama hal itu belum dilakukan, sang suami pun belum mengucapkan talak pada istrinya, tidak juga menuliskan pernyataan dengan niat talak, maka wanita tersebut statusnya masih dalam tanggung jawabnya meskipun berpisah dalam waktu yang lama.
Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- pernah ditanya: “Kapan seorang wanita dianggap cerai ?, beliau menjawab:
“Seorang wanita dianggap telah jatuh talak, jika suaminya menjatuhkan talak kepadanya dalam keadaan sadar dan memang menjadi pilihannya, tidak ada halangan yang menghalangi jatuhnya talak, seperti: gila, mabuk atau yang lainnya. Dan pada saat itu istrinya sedang suci dari haid dan belum disetubuhi atau dalam keadaan hamil atau sudah menopause (tidak haid lagi)”. (Fatawa Thalaq: 1/35)
Kedua:
Zina adalah termasuk dosa besar, masuk dalam kategori dosa yang berat dengan siksa berlipat, jika wanitanya sudah pernah menikah, karena ia telah menodai ladang suaminya. Oleh karenanya hukuman seorang perjaka yang berzina dicambuk 100 kali, dan pezina yang sudah pernah menikah hukumannya dirajam sampai mati. Allah –ta’ala- berfirman:
( وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً )سورة الإسراء/32.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al Isra’: 32)
Syeikh as Sa’di –rahimahullah- berkata: “Larangan untuk mendekati zina lebih lebih berat dari pada larangan melakukannya, karena larangan mendekati itu juga termasuk pendahuluan dan penyebabnya, dan barang siapa yang mengembala (ternak) di daerah dekat perbatasan maka bisa jadi hampir keluar dari batasnya, apalagi dalam masalah ini yang menimbulkan kuatnya ketertarikan jiwa kepadanya.
Allah mensifati perzinaan dan menganggapnya jelek sebagai ( كان فاحشة )(sesuatu yang keji) keji dosanya secara syari’at, akal dan fitrah, karena mencakup keberanian melanggar hak Allah dan hak seorang wanita, keluarga dan suaminya, dan merusak hubungan pernikahan, nasabnya menjadi rancu dan lain-lain dari banyak kerusakan yang ditimbulkannya.
Firman Allah juga: ( وساء سبيلا ) yaitu; dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh adalah keberaniannya melakukan dosa besar tersebut”. (Taisir Karim Rahman fi Tafsir Kalam Mannan”, 1/457)
Maka menjadi kewajiban mereka berdua untuk bertaubat yang jujur dan kembali kepada Allah dan menjauhi penyebab terjadinya perzinaan tersebut, dan barang siapa yang bertaubat kepada Allah, maka Allah akan mengampuninya. Untuk penjelasan lebih lanjut dalam hal perzinaan dan taubat, maka bisa dilihat pada jawaban soal nomor: 47924 dan 138270.
Ketiga:
Hukum asal orang yang berzina tidak boleh menikahi wanita yang telah dinodainya, kecuali setelah bertaubat dengan sejujurnya, berdasarkan firman Allah –ta’ala-:
الزَّانِي لا يَنكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ ) النور/ 3
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. (QS. An Nur: 3)
Taubat itu terjadi dengan penyesalan dan bertekad untuk tidak kembali melakukan kemaksiatan, selama keduanya sudah bertaubat dan menyesal dengan apa yang telah terjadi sebelumnya, maka pernikahan keduanya adalah sah menurut mayoritas para ulama.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Jika seorang wanita telah melakukan zina, tidak dihalalkan bagi seseorang yang mengetahui hal tersebut untuk menikahinya kecuali dengan dua syarat:
Pertama : Masa iddahnya telah berakhir
Kedua : Ia bertaubat dari dosa zina
Jika kedua syarat di atas terpenuhi maka halal dinikahi baik bagi seorang laki-laki yang berzina juga atau tidak, menurut kebanyakan para ulama, di antaranya adalah: Abu Bakar, Umar, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Jabir, Sa’id bin Musayyib, Thawus, Jabir bin Zaid, ‘Atha’, al Hasan, ‘Ikrimah, Zuhri, ats Tsauri, Asy Syafi’i, Ibnul Mundzir dan para pendukung mazhab Hanafi (logika).
Dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, al Barra’ bin ‘Azib dan ‘Aisyah bahwa ia tidak menghalalkan bagi pezina laki-laki (untuk menikahinya) dalam keadaan bagaimanapun, mereka berkata: “Keduanya masih tetap berzina selama mereka berkumpul, karena keumuman ayat dan hadits.
Namun ada kemungkinan mereka maksud adalah sebelum bertaubat, atau sebelum pembebasan rahim (dengan masa iddah) maka menjadi seperti pendapat kami:
“Sedangkan pengharamannya secara mutlak, maka tidak sah, berdasarkan firman Allah:
( وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأموالكم (
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu…”. (QS. Al Nisa’: 24)
Karena wanita tersebut (yang sudah bertaubat) menjadi halal bagi laki-laki yang tidak berzina, ia pun menjadi halal baginya seperti wanita lain”. (Al Mughni: 7/108)
Ketiga:
Tidak boleh bagi seorang muslim merusak hubungan wanita dengan suaminya, karena akan menghancurkan rumah tangga mereka, meskipun terjadi pertengkaran yang sangat di antara mereka, sebagian ulama menganggap upaya merusak rumah tangga orang lain termasuk dosa besar. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امرَأَةً عَلَى زَوجِهَا ) . رواه أبو داود ( 2175 ) وصححه الألباني في " صحيح أبي داود ".
“Bukan termasuk golongan kami seseorang yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya”. (HR. Abu Daud 2175 dan dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih Abu Daud)
Abu Daud (5170) juga telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ خَبَّبَ زَوْجَةَ امْرِئٍ أَوْ مَمْلُوكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا ) ، وصححه الألباني في " صحيح أبي داود " .
“Barang siapa yang merusak istri orang lain atau merusak hamba sahayanya, maka bukanlah termasuk golongan kami”. (Dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih Abu Daud)
Syeikh Abdul Adzim Abadi –rahimahullah- berkata:
خبب “ adalah merusak atau menipu
امرأة على زوجها adalah menyebutkan keburukan suami di depan istrinya atau kebaikan laki-laki lain di depan wanita tersebut”. (‘Aun Ma’bud: 6/159)
Al Manawi –rahimahullah- berkata:
“Syeikh kami asy Sya’rawi berkata: “Termasuk dalam hal tersebut adalah jika seorang laki-laki didatangi istri orang lain yang sedang marah agar membantunya untuk memperbaiki hubungan rumah tangganya, dan orang tersebut justru mengajaknya makan, menambah pemberian dan lebih dermawan dari sebelumnya, meskipun kedermawanan tersebut juga ditujukan kepada suaminya, maka hal ini bisa jadi akan menjadikan wanita tersebut lebih cenderung kepada laki-laki lain tersebut dan mengharap apa yang dimilikinya, maka sudah masuk dalam hadits tersebut. Posisi seseorang yang mengetahui akan dibalas sesuai dengan yang semestinya, meskipun ia melakukannya secara tidak sengaja.
Ia berkata: “Saya selalu melakukan perangai seperti ini, saya mempengaruhi seorang wanita yang sedang marah, saya pun berpesan kepada keluarga saya untuk menjadikannya lapar, agar ia kembali merasakan dan mengetahui nikmat adanya suami”. (Faidhul Qadir Syarh al Jami’ as Shagir: 6/159)
Keempat:
Barang siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya, sampai benar-benar rumah tangganya hancur dan bercerai, kemudian laki-laki tadi menikahinya, maka nikahnya tidak sah dan keduanya wajib dipisahkan sesuai dengan pendapat yang dipilih oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahulla- dan merupakan madzhab Maliki, untuk pembahasan lebih lanjut dalam masalah ini dan maksud dari kata: “takhbib” (merusak), bisa dilihat pada jawaban soal nomor: 84849.
Atas dasar uraian di atas, jika laki-laki tersebut yang telah merusak rumah tangga wanita dengan suaminya sampai bercerai dengannya, maka laki-laki tadi tidak boleh menikahinya, apalagi ia sudah berzina dengannya. Dan telah dijelaskan sebelumnya tentang perbedaan tentang nikahnya laki-laki yang berzina dengan wanita dizinainya. Ada dua keburukan: Merusak rumah tangga dan berzina.
Adapun jika bukan dirinya yang merusak hubungan wanita dengan suaminya, sebagaimana yang nampak dalam pertanyaan di atas, akan tetapi ia mengetahuinya dan bertemu dengannya setelah ia bercerai dengan suaminya yang meninggalkannya karena rumahnya adalah milik suaminya, maka pernikahan laki-laki lain tadi dengan wanita tersebut adalah sah, jika statusnya sudah bercerai dengan suami sebelumnya, dengan syarat keduanya bertaubat kepada kepada Allah –ta’ala- dengan apa yang telah mereka lakukan sebelumnya.
Wallahu a’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam