Unduh
0 / 0
2085113/12/2014

Seorang Ibu Muslimah Telah Melahirkan Anak Perempuan dari Suami Nasrani, Dia Menanyakan Hubungannya Dengan Ayahnya dan Dengan Saudari-saudarinya Yang Non Muslim

Pertanyaan: 220426

Saya seorang remaja muslimah yang tinggal di barat, sayangnya ibu saya telah menikah dengan laki-laki Nasrani (bapak saya) di mahkamah sipil, beliau tinggal bersamanya selama 20 tahun, beliau dari suami tersebut dikaruniai 7 anak, saya termasuk salah satu dari mereka, akan tetapi mereka berdua bercerai setelah dalam kurun waktu tersebut, saya bersyukur akan hal itu. Keluargaku telah memberikan pilihan agama kepada kita setelah nanti dewasa, segala puji bagi Alloh beberapa saudari saya masuk Islam, ada dua saudari saya yang memeluk agama nasrani. Mereka telah dibabtis setelah mereka baligh, mereka juga bersuamikan orang nasrani, saya tidak menghadiri resepsi pernikahan mereka berdua dan juga tidak pernah menghubungi mereka; karena saya tahu bahwa jika seorang ibu itu seorang muslimah maka secara otomatis anak-anaknya menjadi seorang muslim, atas dasar itulah maka jika mereka berdua telah dibabtis setelah usia baligh maka hal itu saya anggap murtad dari Islam, akan tetapi ibu dan saudari-saudari saya yang lainnya tetap berinteraksi dengan mereka berdua dengan lembut, mereka juga meminta bantuan kepada mereka kedua seakan-akan mereka berdua masih sebagai muslimah.

Oleh karenanya, saya mohon penjelasan dari hal-hal berikut ini:

Bagaimana seharusnya intersaksi saya dengan saudari-saudari non muslim saya yang sesuai dengan al Qur’an dan Sunnah ?

Apa saja kewajiban saya terhadap bapak saya yang non muslim ?

Apakah boleh meminta bantuan kepada saudari-saudari saya yang non muslim ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Pernikahan seorang muslimah
dengan laki-laki kafir hukumnya adalah haram sesuai dengan kesepakatan para
ulama, dan termasuk dosa besar yang menyebabkan kemurkaan Yang Maha
Mengetahui Keghaiban, Alloh –Ta’ala- berfirman:

( وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ

(

البقرة/ 221

“Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik
walaupun dia menarik hatimu”. (QS. Al Baqarah: 221)

Firman Alloh yang lain:

( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ
الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ
بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ
إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ )
الممتحنة/ 10
.

“Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”. (QS. Al Mumtahanah: 10)

Jika akad tersebut tetap
terjadi maka dianggap batil dan barang siapa yang mengetahui akan
keharamannya lalu menghalalkannya maka dia telah menjadi kafir tanpa ada
perbedaan di antara para ulama.

Silahkan dalam masalah ini
merujuk pada fatwa nomor: 170862.

Kedua:

Para ulama fikih menyatakan
bahwa seorang anak itu mengikuti yang paling baik agamanya dari kedua orang
tuanya, hal ini bisa tergambar pada beberapa kondisi di antaranya adalah:

Jika seorang muslim menikahi
wanita ahli kitab maka anaknya menjadi muslim, termasuk apa yang telah
disebutkan oleh seorang ulama Ibnu Zainal Abidin Al Hanafi: “Seorang anak
itu mengikuti agama salah satu dari orang tuanya yang paling baik, hal ini
tergambar jika kedua belah pihak baru saja masuk Islam dan sebelumnya mereka
berdua kafir lalu suaminya masuk Islam atau istrinya lalu dia mempunyai anak
sebelum keislamannya diketahui yang lainnya”. (Ad Durrul Mukhtar wa
Hasyiyatu Ibni Abidin: 3/196)

Disebutkan dalam Al Bahrul
Ra’iq Syarh Kanzid Daqa’iq (2/205):

“Salah satu dari kedua orang
tuanya masuk Islam, maka anaknya ikut menjadi seorang muslim, baik anak
tersebut termasuk yang cerdas atau tidak ; karena seorang anak itu mengikuti
orang tuanya yang paling baik agamanya”.

Jikalau telah terjadi –seorang
muslimah menikah dengan laki-laki kafir- maka meskipun pernikahan tersebut
batil namun anak-anaknya mengikuti agama ibunya, disebutkan dalam Bada’I’
Shanai’ fii Tartiibis Syara’I (7/139):

“Jika laki-laki murtad
menikahi wanita muslimah, lalu dia mempunyai anak atau laki-laki tersebut
berhubungan intim dengan budak wanita sampai mempunyai anak, maka anak
tersebut sebagai seorang muslim karena mengikuti agama ibunya dan tetap
mendapatkan warisan dari bapaknya karena nasabnya jelas. Namun jika ibunya
kafir maka anaknya tidak dianggap sebagai seorang muslim; karena salah  satu
dari kedua orang tuanya tidak ada yang muslim”.

Ketiga:

Jika telah terjadi bahwa
seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir, jika keduanya
meyakini akan sahnya pernikahan mereka, tidak tahu kalau hal itu diharamkan
menurut syari’at Alloh, maka nasabnya tetap dianggap sah; karena akad yang
mengandung syubhat dan diyakini kebenarannya oleh keduanya. Namun jika
keduanya mengetahui bahwa pernikahan mereka sebenarnya haram hukumnya, maka
nasab (anak) nya tidak dianggap sah.

Ibnu Qudamah –rahimahullah-
berkata:

“Jika ada laki-laki menikahi
wanita yang masih berada dalam masa iddahnya, keduanya mengetahui hal itu
dan mengetahui kalau diharamkan namun tetap mensetubuhinya, maka keduanya
dianggap telah berbuat zina, maka harus ditegakkan sangsi zina bagi keduanya,
wanita tersebut tidak berhak mendapatkan mahar dan nasabnya juga tidak sah.
Namun jika keduanya tidak tahu masa iddahnya atau tidak tahu kalau
diharamkan, maka nasabnya tetap sah, had (dera) tidak bisa ditegakkan,
maharpun wajib dibayarkan. Tetapi kalau suaminya yang tahu hukumnya, maka
wajib ditegakkan had kepadanya, dan membayar mas kawin, namun nasab tidak
disandarkan kepadanya. Jika istrinya yang tahu hukum di atas, maka wajib
ditegakkan had kepadanya, dan tidak berhak mendapatkan mas kawin, nasabnya
diikutkan kepada suaminya, kenapa demikian !?; karena pernikahan seperti ini
telah disepakati kebatilannya karena serupa dengan menikahi maharim (wanita
yang haram dinikahi)”. (Al Mughni: 8/127)

Baca juga: Kasyful Qana’
(13/44), cetakan al wizarah, Mathalib Ulin Nuha (5/579).

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-
pernah ditanya:

“Bagi seseorang yang telah
mentalak istrinya tiga kali (sekaligus), lalu diberi fatwa oleh seorang
mufti bahwa hal itu tidak jatuh talak, kemudian suami tersebut mengikutinya
dengan tetap berjima’ dengan istrinya setelah kejadian itu, dan sampai lahir
seorang anak, sebagian orang mengatakan anak tersebut adalah anak zina ?

Beliau menjawab:

“Barang siapa yang mengatakan
demikian maka merupakan bentuk kebodohan, menyesatkan dan menentang Alloh
dan Rasul-Nya. Sungguh umat Islam telah bersepakat bahwa setiap akad nikah
yang diyakini oleh seorang suami sebagai pernikahan sah, maka jika dia
berjima’ dengan istrinya maka anak yang dihasilkan nantinya  nasabnya tetap
dinisbatkan kepadanya, keduanya pun saling mewarisi sesuai dengan
kesepakatan kaum muslimin; meskipun pernikahan tersebut pada saat yang sama
batil juga menurut pendapat kaum muslimin, baik suami tersebut sebagai kafir
atau seorang muslim. Seorang Yahudi jika menikahi anak perempuan dari
saudaranya, maka nasab anaknya tetap dinisbatkan kepadanya, mewarisinya
sesuai dengan kesepakatan umat Islam, meskipun pernikahan tersebut batil
sesuai dengan kesepakatan umat Islam juga…”. (Fatwa lengkapnya bisa dibaca
di: Majmu’ Fatawa: 34/13 dan seterusnya.

Abu Hanifah berpendapat bahwa
nasab itu diberlakukan secara umum, meskipun kedua suami istri keduanya
mengetahui akan haramnya pernikahan tersebut, karena ada proses akad, hal
ini berbeda dengan pendapat kedua sahabatnya.

Baca juga: (Al Mabsuth
karangan As Sarkhosi: 17/133, Ahkamudz Dzimmiyyin wal Musta’minin fii Daaril
Islam karangan DR. Abdul Karim Zaidan: 291-292)

Keempat:

Dari penjelasan sebelumnya
diketahui bahwa kedua saudarimu yang telah memilih agama Nasrani dan telah
dibabtis maka sudah menjadi murtad dari Islam, orang yang murtad tidak boleh
disayangi dan tidak boleh loyal kepadanya, bahkan harus dibenci dan
membebaskan diri dari semua amalannya, berdasarkan firman Alloh –Ta’ala-:

( لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا
آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمْ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ )
المجادلة/22

“Kamu tidak akan mendapati
sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih
sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun
keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang
datang daripada-Nya”. (QS. Al Mujadilah: 22)

Alloh –Ta’ala- juga berfirman
tentang Nuh dan anaknya yang kafir:

( وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ
أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ قَالَ يَا
نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا
تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ
الْجَاهِلِينَ )هود / 45 ، 46

“Dan Nuh berseru kepada
Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk
keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau
adalah Hakim yang seadil-adilnya. Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya
dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan),
sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah
kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya.
Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk
orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Huud: 45-46)

Alloh –Ta’ala- juga berfirman
tentang Ibrohim –‘alaihis salam-:

( وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ
مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ
لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ ) التوبة/114.

“Dan permintaan ampun dari
Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu
janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi
Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri
daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya
lagi penyantun”. (QS. At Taubah: 114)

Namun dibolehkan bagi anda
untuk berbuat baik kepada keduanya dengan tujuan untuk melembutkan hatinya
agar kembali kepada Islam, dengan syarat anda merasa aman dari fitnah
sehingga cenderung kepada mereka atau kepada kebatilan mereka.

Telah disebutkan dalam Fatawa
Lajnah Daimah (2/67):

“Tidak boleh mengasihi
orang-orang kafir, juga tidak berbaur dengan mereka jika justru akan
menimbulkan fitnah, adapun makan bersama mereka, berbaur, berbuat baik
kepada mereka untuk mendekatkan mereka kepada Islam maka tidak apa-apa jika
aman dari fitnah dan tidak ada rasa cinta kepada mereka”.

Baca juga jawaban soal nomor:
169985 dan 115165.

Kelima:

Adapun berkaitan dengan bapak
anda secara khusus maka menjadi kewajiban anda untuk menemaninya dengan baik,
Alloh –Tabaraka wa Ta’ala- berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ
وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي
وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
.

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ) لقمان/ 14 ، 15
.

“Dan Kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan”. (QS. Luqman: 14-15)

Ibnu Katsir –rhimahullah-
berkata:

“Maksudnya adalah jika
keduanya berusaha keras agar anda mengikuti agamanya mereka, maka janganlah
anda menerimanya, namun hal itu tidak menghalangi anda untuk menemani
keduanya di dunia dengan baik, yaitu; berbuat baik kepada keduanya,

( وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ )

Yaitu; mereka orang-orang
yang beriman”. (Tafsir Ibnu Katsir: 6/337)

Hal ini menunjukkan bahwa
masih boleh menjalin hubungan dengan orang tua yang kafir, seperti yang
diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:

“Pada saat ibu saya
mengunjungi saya dalam keadaan musyrik pada masa Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam-, maka saya menanyakannya kepada beliau: “Sungguh ibu saya
telah mendatangi saya karena suatu keperluan, maka apakah saya tetap
menjalin hubungan dengannya ?”, beliau menjawab: “Ya, sambunglah
silaturrahim dengannya”. (HR. Bukhori: 2477 dan Muslim: 1003)

Anda juga hendaknya berusaha
untuk mendakwahinya kepada Islam dan melembutkan hatinya untuk menerima
Islam.

Baca juga jawaban soal nomor:
95588 dan 27196.

Keenam:

Meminta bantuan kepada orang
kafir baik dia sebagai kerabat atau bukan, maka perlu perincian:

Jika tidak dihawatirkan ada
kecenderungan dan rasa sayang kepadanya; karena kebaikannya maka tidak
masalah untuk meminta bantuannya dan menerimanya, adapun jika dihawatirkan
adanya kecenderungan atau menimbulkan fitnah karena kebatilannya, maka di
sini tidak boleh menerima bantuan mereka tidak juga memintanya, sebaiknya
meminta bantuan kepada saudara-saudaranya dari kalangan umat Islam, Syeikh
Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah- pernah ditanya:

“Bagaimanakah hukumnya
meminta bantuan dari orang-orang kafir dan menerimanya ?”

Beliau menjawab:

“Dalam masalah ini harus
dirinci, jika meminta bantuan kepada mereka dan menerimanya tidak
dihawatirkan akan membahayakan agama yang meminta dan menerima bantuan
mereka, maka tidak masalah.

Namun jika akan menimbulkan
bahaya, maka tidak boleh meminta dan menerima bantuan mereka, sebagai bentuk
pengamalan dari dalil-dali syari’at yang menunjukkan adanya kewajiban
waspada dari apa yang diharamkan oleh Alloh dan menjauhi kemurkaan Alloh.

Telah diriwayatkan dari Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau telah menerima beberapa hadiah
dari orang-orang musyrik, dan tidak menerima dari yang lainnya, hikmah dari
hal itu adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan, seperti halnya yang
telah disebutkan oleh para ulama.

Dan Alloh Maha Pemberi taufik

Semoga Alloh tetap
bershalawat kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Diambil dari websitenya
Syiekh –rahimahullah- pada link berikut ini:

http://www.binbaz.org.sa/mat/2055

Wallahu A’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android